Cerita Foto: Lanskap Banda Aceh Sekasatan Mata

in #ocd4 years ago

IMG_20200809_192804_587.jpg

PERTAMA SEKALI aku tinggal di Banda Aceh pada tahun 2003. Ini tahun pertama aku kuliah, dan setelah bertahun-tahun selesai, aku memutuskan tetap tinggal di kota ini meski dengan syarat: gonta-ganti rumah kontrakan.

Ada banyak perkara yang membuatku punya keputusan untuk tinggal di sini, tapi satu alasan terbesarnya adalah bersebab kontur alamnya. Kota ini dibelah oleh sebilah sungai--Krueng Aceh, yang berhulu di Cot Seukek (kecamatan?) Kabupaten Aceh Besar dan mulut hilirnya adalah bibir Kuala Lampulo dan Gampong Jawa, menganga menghadap satu kelokan jalur laut tersibuk; Selat Malaka dan Samudera Hindia.

Oleh sebab Banda Aceh berada di ujung barat sudut paling lancip Pulau Sumatera, dari ketinggian, lanskap kota ini tampak dikelilingi sebilah dinding raksasa. Sekilasan, tiga puncak gunung di Pulo Weh di utara, gugusan Pulo Nasi dan Pulo Breueh di barat laut, bentang perbukitan Goh Leumo sebelah barat yang menyambung dengan perbukitan lainnya di bagian barat daya hingga ke selatan, adalah penegas bahwa kota ini menyempil di antara bentangan benteng alam yang kokoh, yang pintu masuknya hanya berupa selat kecil antara Pulo Weh, Pulo Breueh dan Pulo Nasi. Selebihnya, di timur, puncak Seulawah Agam yang bertengger di ketinggian 1800-an mdpl terus menerus mengawasi kota ini dengan ketenangan dan keheningannya yang mistis.

IMG_20200809_192804_586.jpg

IMG_20200809_154322.jpg

Dengan lanskap dasar begitu rupa, tak berlebihanlah jika orang-orang terdahulu, dalam kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya menjadikan tempat ini menjadi kota, ibukota, pusat peradaban yang di sela-selanya berkecamuk pelbagai kepentingan hingga memicu banyak fase perang. Dan, memang. Kota Banda Aceh tercatat sebagai salah satu kota tua di sekujur Sumatera. Umurnya, sebagaimana dicatat oleh ahli sejarah, berkisar 800-an tahun lebih. Kurun waktu cukup panjang untuk diisi dengan jutaan tragedi, lelucon, skandal, seteru, persekongkolan jahanam, pembantaian atau bahkan pemusnahan.

Kota Banda Aceh bergeming untuk segala wujud petaka. Aku terkesima pada kebergemingannya, pada kebisuannya, kebutaannya, ketuliannya. Juga pada aura tak karuannya, aura yang agak susah untuk dijabarkan dalam deret kalimat. Namun kontur alam yang melingkupinya seakan menegaskan bahwa segala petingkah orang-orang yang mendiaminya, dari generasi ke generasi, tak pernah luput dari penglihatannya, pendengarannya, dan dari tahun ke tahun ia merasakan ketulian, kebutaan, dan kebisuannya kian sempurna.

IMG_20200807_102701.jpg