Wartawan dan Virus Jahanam: Sebuah Jalan Tengah

in #1001mediaonline4 years ago


Izinkan sesekali aku menulis virus jahanam sebagai ganti nama virus corona alias COVID-19, yang telah mewabah sambil menebar kematian paling ngeri, bahkan ketakutan paling tragis bagi seluruh manusia di dunia.

Virus jahanam tak tampak, telah merasuki tubuh bahkan merengut nyawa seluruh bidang pekerjaan yang ada di dunia. Kepanikan dibuatnya tanpa mengecualikan presiden, menteri, dokter, perawat, bahkan aparat keamanan yang biasanya sedikit istimewa dalam menjalankan profesinya.

Wartawan sama saja. Kartu pers yang biasa tergantug di leher mereka, yang membuat akses masuk -untuk liputan- bebas ke mana saja, tak berdaya. Ini kemudian melahirkan banyak teori baru dalam peliputan, sebagian organisasi profesi wartawan dan perusahaan media mencoba merancang sebaik mungkin protokol keamanan liputan di tengah wabah corona demi melidungi para pewarta.

Dan ini beda dengan protokol meliput perang dan bencana, kendati sama-sama mengagungkan kata “Tidak Ada Berita Seharga Nyawa”. Kata itu saya dengar pertama kali dari Stanley Adi Prasetyo, saat pembekalan jurnalis meliput konflik di Jakarta, April 2004.

http://

Prolog 1

Sejak virus dari Wuhan, China ini merambah Indonesia, pemerintah mengeluarkan ragam kebijakan untuk menghambat penyebarannya. Di antaranya rajin mencuci tangan, menjaga kesehatan sampai menjaga jarak yang diteruskan dengan kebijakan meliburkan sekolah dan mengatur jadwal kerja di kantor-kantor.

Work from Home (WFH) kemudian didengungkan dimana-mana. Sebagian perusahaan media menyambut anjuran ini, meminta wartawan untuk bekerja di rumah saja, tentu dengan pengawasan ketat. Berita tetap harus ada.

Sebagian wartawan bisa bekerja mudah dengan WFH itu, terutama media online dan cetak. Menghubungi narasumber dengan ponsel dan selalu rajin memantau media sosial yang beredar dengan informasi tak karuan. Disiplin verifikasi tetap menjadi penekanan.

Sebagian wartawan yang bekerja di media televisi maupun pewarta foto mustahil menerapkan WFH, mereka perlu gambar, perlu suasana. Alhasil, sebagian mereka tetap berada di lapangan. Di sini, diperlukan kepatuhan untuk pencegahan COVID-19 yang dikeluarkan pemerintah, organisasi profesi maupun kantor tempat mereka bekerja. Tak patuh, berarti konyol hingga dapat terjangkit virus, selanjutnya sembuh atau mati.

Prolog 2

Sebuah pesan masuk ke handphone, akhir Oktober 2004, dari Dandhy Dwi Laksono, bos redaksi salah satu media online tempat aku menulis sehari-hari. Saat itu Darurat Sipil karena konflik, sedang berlaku di Aceh. Aku mengingat persis perintah itu, karena penting sebagai pembelajaran. Begini kira-kira bunyinya: “Dapat info tadi dari aktivis, ada warga ditembak di tengah malam di Gampong Manggra (Aceh Besar), tolong dicek.”

Aku langsung melakukan penyelidikan dengan menghubungi jaringan sana-sini. Belum ada satu pun media yang menulisnya, aparat berwenang belum merilisnya. Seperti biasa, yang seperti ini jarang disampikan ke media.

Begitu mendapat info benar kejadian tersebut, aku menghubungi Dandhy. “Benar bos, tapi yang ditembak dan meninggal itu GAM, ditembak aparat,” kataku sambil berharap tak disuruh mengecek ke lokasi. Dalam bayanganku, kedua pihak itu bertikai dan wajar saja menjadi korban.

Aku menawarkan membuat berita tanpa harus ke lokasi. “Itu masuk dalam extra judicial killing, kalau memungkinkan kamu coba cek ke lokasi,” kata Dandhy. Ini kemudian membuatku terperangah, kubayangkan membuat laporan dari hasil wawancara dengan para pihak bertikai, bisa saja dibumbui kebohongan. Belum lagi perang opini yang mereka mainkan, bakal menenggelamkan praktik jurnalisme damai yang sedang kami mainkan.

Gampong Manggra di Kabupaten Aceh Besar, memang mengerikan kala itu. Berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh, kerap menjadi medan perang. Dan aku harus berangkat ke sana seorang diri, menempuh jalan dengan pandangan mata warga yang curiga, bertanya di mana rumah warga yang meninggal lalu dibalas tanya. Dan akhirnya, aku berhasil mendapatkan keterangan dari orangtua almarhum dan menuliskannya dari sisi warga, tentang perang yang kejam dan harapan pada damai.

Sebagai wartawan lapangan yang tinggal dan besar di Aceh, aku telah melewati dua masa sulit, perang dan bencana. Liputan tentang keduanya telah kujalani, disertai dengan puluhan kelas pelatihan dari berbagai organisasi, termasuk internasional.

Kala konflik Aceh masih mendera, aku bebas masuk ke mana saja. Hari ini berada di markas tentara, besoknya berada di markas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Keluar masuk kampung setelah kontak, melihat mayat korban perang, melihat orang-orang dipukul, terjebak swepping kedua pihak bertikai, dan bahkan sempat dicurigai sebagai mata-mata. Banyak teori kudapat di lapangan, menghindar dan sebunyi dengan selalu mengedepankan jurnalisme damai, yang diajarkan para guru.

Saat bencana juga, kendati lebih mudah, selalu berada di lapangan dengan risiko apa pun sambil menolong mengangkat mayat yang berserak, menyalurkan bantuan, menghibur anak-anak korban bencana kendati diri sendiri juga terdampak, sambil terus mencatat. Bagi sebagian jurnalis di Aceh saat itu, istilah “meliput sambil menolong” menjadi roh yang mampu menggerakkan raga membantu para korban bencana.

Epilog

Meliput berita di tengah wabah virus corona tak bisa dibandingkan dengan liputan perang dan bencana lainnya. Virus tak tampak, tak bisa diwawancarai. Kedatangannya sama seperti gempa dan tsunami, tak bisa diprediksi. Tapi sialnya, dia berlanjut hari ke hari, menyapa seluruh penjuru bumi. Bukan pada satu atau dua lokasi seperti perang dan bencana alam.

Kenyataan ini membingungkan, menjelma panik dalam menyusun rencana liputan. Virus jahanam seperti menggeser sebuah proses mendapatkan berita akurat, lalu sebuah pertanyaan muncul: bisakah jurnalis bekerja di rumah saja?

Secara umum, kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran, selanjutnya loyalitas pertamanya kepada warga, dan roh jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Begitu setidaknya tiga hal utama yang diajarkan Bill Kovach dalam bukunya “The Element of Journalism”.

Mengukur kebenaran memang membingungkan kita. Kendati berita adalah fakta maupun opini yang dibentuk oleh para narasumber, tapi berita bukanlah kebenaran. Karena ‘benar’ adalah subjektif, terlalu rumit untuk dikejar. Bagaimana wartawan sampai kepada kebenaran yang diyakininya? Mereka menjawab -apa yang diberitakan- berdasarkan hasil omongan presiden, gubernur, wawancara narasumber, kutipan pidato, hasil publikasi lembaga negara, hasil penelitian kampus, omongan warga kampung A sampai mengutip dari dokumen rahasia.

Sejatinya, kebenaran jurnalistik lebih dari sekadar akurasi dan disiplin verifikasi. Ini pekerjaan mengumpulkan dan memilah dari cerita pertama sampai interaksinya di tengah publik. Terus berkembang dari waktu ke waktu, tak berhenti sampai kebenaran mendekati keinginan publik. Ingat, loyalitas pertama jurnalisme kepada warga.

Belum kutemukan satupun teori, wartawan yang biasa menjalankan tugasnya di lapangan, dapat bekerja di rumah saja. Bahkan di tengah wabah corona, anjuran umum yang ditujukan kepada mereka adalah mematuhi SOP, dari menjaga jarak sampai memakai Alat Pelindung Diri (APD). Pada akhirnya, jika dinilai sangat berbahaya maka batalkan liputan, karena “tidak ada berita seharga nyawa.”

Di tengah wabah virus jahanam ini, beberapa media membatasi aktivitas di kantor, mengizinkan wartawannya di rumah saja mengandalkan teknologi untuk menyapa sumber. Ini adalah kebijakan baik demi keamanan jurnalis, tapi tak semua media memungkinkan melakukan ini, terutama televisi.


Bagi wartawan yang mungkin bekerja di rumah saja, jangan lupa bahwa perkerjaan kita adalah kewajiban pada kebenaran, yang berkembang terus menerus. Mencatat komentar narasumber sambil mengingat tentang kemungkinan kebohongan dilakukan, menjadi bijak untuk membuktikannya di kemudian hari, saat virus jahanam telah pergi, saat kita tak lagi di rumah.

Bagi sebagian yang menganggap jurnalis sebagai jalan hidup, bukan sekadar pekerjaan, beraktivitas di rumah dalam segala bentuk bencana, adalah mustahil. Ada ikatan nurani yang tak bisa dituliskan kata ketika melihat mereka tetap bekerja bertaruh nyawa di tengah wabah virus corona. Bukankah dalam kondisi darurat apapun itu, wartawan bersama dokter, perawat, TNI/Polri dan para relawan lainnya selalu berada di garda depan?

Mengutip Buku Protokol Keamanan Liputan dan Pemberitaan COVID-19 yang disusun Aliansi Jurnalis Independen (AJI), di tengah situasi krisis ini, media sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi yang akurat dan mendidik ke publik, selain juga melakukan tugas sebagai watchdog untuk mengawal penanggulangan krisis dengan baik. Namun di sisi lain, pekerja media, khususnya yang bertugas di lapangan, termasuk rentan terpapar virus corona. Dengan latar itulah, organisasi ini menyusun SOP sebagai panduan bagi jurnalis.

Jalan tengah adalah jawaban bagi profesi ini. Tetap melakukan liputan di lapangan jika memungkinan, dengan mematuhi segala aturan yang dikeluarkan pemerintah maupun organisasi. Secara umum, selalu mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, mengindari keramaian, dan tanpa APD lengkap jangan mendekati lokasi yang menurut nalar kita berbahaya. Sekali lagi sebagai pengingat, “tak ada nyawa seharga berita”. []

Note: tulisan ini tayang pertama di acehkini.id


Posted from my blog with SteemPress : http://adiwarsidi.com/wartawan-dan-virus-jahanam-sebuah-jalan-tengah/