Truth Telling Sebuah Keharusan (KKR Aceh)

in #aceh8 years ago

IMG_20170915_081529[1].jpg

Oleh : Afrizal Sukon
Konflik vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI), sudah lama “berakhir” dengan ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU)/nota kesepahaman di Helsinki Firlandia tahun 2005 silam, dengan kata lain perdamaian atas konflik senjata telah terwujud dengan berbagai kesepakatan yang kemudian “wajib” dipenuhi bersama.

Dalam perhelatan konflik senjata (1976-2005), sudah tentu menimbulkan korban baik materi maupun nyawa manusia yang berada dalam wilayah konflik, warga sipil yang seharusnya dilindungi malah cenderung menjadi korban, dalam cacatan sejarah Aceh rejim orde baru di bawah kendali Soeharto terdapat banyak dosa atas hilangnya nyawa manusia, kemudian dilanjutkan oleh beberapa presiden penggantinya dalam upaya pemberangusan separatis yang katanya “demi NKRI”, sedangkan warga sipil kian dijadikan objek kejahatan aparat negara, yang tujuannya untuk memberikan tekanan psikologi bagi kelompok separatis GAM.

Diantara banyaknya kasus kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu di Aceh, terdapat beberapa kasus besar yang bisa dikategorikan kejahatan luar biasa (extra judicial killing hingga genosida), diantaranya kasus penyiksaan dan eksekusi tanpa peradilan di Rumoh Geudong (Pidie), Penyerangan warga sipil di Simpang KKA (Aceh Utara), pembunuhan massal warga sipil di Jamboe Keupok (Aceh Selatan), penyerangan disertai pembunuhan Ulama Aceh Tgk. Bantaqiah dan Santri (Nagan Raya), Penghilangan Paksa era Daerah Operasi Militer (DOM), dan terdapat banyak kasus lain yang tidak terpublish dalam buku sejarah kurikulum pendidikan di negara Indonesia.

Pemutusan Siklus Konflik

Sejarah kediktatoran rejim Junta Militer Argentina mulai tahun 1976 hingga 1983 (http://www.dw.com/id), mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM (diantaranya penghilangan secara paksa, penyiksaan dan lain sebagainya), namun pasca runtuhnya kedikdayaan kekuasaan militer justru membuka kesempatan dan peluang bagi kalangan korban dan keluarga korban, dalam upaya pencarian keadilan melalui proses pengungkapan kebenaran peristiwa pelanggaran HAM, pemenuhan hak-hak korban, memorialisasi dan pengadilan yang adil bagi pelaku kejahatan HAM, keberhasilan tersebut bisa dirasakan walaupun membutuhkan upaya advokasi dan kampanye menyeluruh dalam rentan waktu yang lama.

Bagaimana dengan Aceh, yang dalam MoU Helsinki kemudian diperkuat oleh regulasi hukum posisitif negara RI (UU No.11/2006), yang memberi perintah bagi penguasa untuk mewujudkan keadilan bagi korban dan atau keluarga korban kejahatan kemanusiaan masa lalu di Aceh melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), selanjutnya diperkuat lagi pengaturannya secara teknis melalui Qanun (perda) No. 17/2013, yang tujuannya adalah untuk mengungkap kebenaran peristiwa dan mendeteksi korban dan pelaku, sehingga tidak lagi saling curiga-mencurigai antara masyarakat, justru akan berdampak baik bagi pelaku dan korban, bukan semata untuk membuka aib negara atau memancing dendam masa lalu, justru akan menambah kekuatan dalam menjaga perdamaian yang telah terwujud.

Sejauh ini, Komisioner KKR Aceh (eksekutif lembaga KKR) sudah terbentuk, namun belum terlihat keseriusan negara dalam mewujudkan keadilan bagi korban, hal ini terlihat dari belum masifnya pendiskusian isu KKR Aceh baik di kalangan pemerintah Aceh dan Pemerintah Nasional, belum lagi regulasi yang sering diperdebatkan dibanyak kalangan yakni regulasi tentang KKR Nasional (sebelumnya pernah ada UU No. 27/2004, yang pada tahun 2007 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi).

Secara prinsip, tujuan lahirnya UU KKR adalah truth telling (pengungkapan kebenaran) dan healing (penyembuhan) atas pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lampau, namun oleh Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang bersifat ultra petita (mengabulkan melebihi apa yang diminta dalam gugatan pemohon) (sumber: hukumonline.com).

Nah, alasan klasik inilah yang dijadikan tameng oleh negara dalam “menjegal” upaya penyelesaian kasus kejahatan masa lalu di Aceh, belum lagi ada alasan politis yang bertujuan “melindungi tuan” dari jeratan hukum atas peristiwa kejahatan HAM di Aceh.

Dikala banyak kalangan yang pesimis atas berhasilnya perjuangan KKR di Aceh, dalam hal ini penulis merasa sangat optimis walaupun dengan mengerahkan energi ekstra, rentang waktu yang lama, kerja keras tiap golongan masyarakat, dukungan dan pemasifan isu KKR perlu dilakukan demi penguatan lembaga KKR itu sendiri.

Lembaga KKR yang statusnya resmi sebagai lembaga negara (berkedudukan di Aceh), legalitasnya adalah undang-undang, tidak akan berjalan secara progresif selama tidak dibarengi oleh dukungan publik, terutama pemerintah Aceh dan Nasional, Alim Ulama, tokoh masyarakat, pemuda, mahasiswa/pelajar, politisi dan lain sebagainya, kesendirian para korban dan atau keluarga korban jangan dibiarkan, sudah saatnya meraka didampingi dan didukung dalam upaya perjuangan atas keadilan.

Hentikan Dentuman Peluru, Maka suara Mereka akan Terdengar (zapatista)

Koetaraja, 04 Oktober 2017
Penulis adalah Aktivis HAM Aceh, berdomisili di Jakarta