RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT

in #aceh6 years ago


Pertempuran di Gunung Aceh (Pertempuran Glee Tarom) siaran Propaganda Belanda berjudul Atchin Driemaal Begraven

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT


Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, setiap orang juga pasti memiliki penyesalan, sekurang-kurangnya satu. Begitu pula aku memiliki satu, yang bila aku mengingat-ingat maka jatuh air mataku, mengenang kegagalanku sebagai seorang prajurit. Hari dimana dimana aku kehilangan orang yang sangat kuhormati, Sang Singa Aceh, Ibrahim Lamnga gugur.

Glee Tarom, akhir Juni 1878.

“Adinda, aku tak bisa tidur sekarang. Tadi aku memimpikan terbang diatas buraq1). Apakah itu pertanda buruk?” Tanya Panglima Ibrahim.

Aku duduk diatas urat kayu, tertawa. “Gunung ini adalah tempat burung cempala kuneng2) berkumpul, mungkin Tuanku hanya terbawa suasana. Belanda tidak memahami kita, cara hidup kita, senda gurau kita, mereka tak mungkin tahu tipu daya kita.”


“Perasaanku was-was adinda, bukankah juga Habib seharusnya sudah datang. Kemana dia? Apakah dia berbalik kepada Belanda?”

Habib Abdurrahman Az-Zahir, pernah diangkat menjadi wali Sultan dan mantan duta besar Aceh untuk Utsmani. Baru-baru ini gagal mempertahankan benteng Krueng Raba, dia dengan mudah melepaskan posisi yang pernah direbut dengan berdarah-darah oleh pejuang muslimin. Seorang ulama keturunan Rasulullah, lelaki Malabar3) bercelak yang bergaya kearab-araban, terus terang aku tak suka dia, tapi, “mungkin dia terhambat, bukankah kita menjulukinya si Habib terlambat!” Kami tertawa, tak lama kemudian kami tidur nyenyak.

Malam itu aku salah membaca suasana, ternyata Jenderal van der Heyden telah bergerak secara kilat. Selagi kami tidur, pegunungan telah dikepung KNIL, kemudian meletuslah senapan pertama dan disusul meriam Belanda, kami kocar-kacir. Segala penjuru dihujani mortir dan meriam bersimpang siur di udara.

Kami berjumlah seratus orang, teman-teman seperjuangan telah berkalang satu persatu menjadi mayat-mayat, paya-paya telah bersimbah darah. Seraya mencari musuh yang tak ketahui disekeliling, mencari-cari dan berserulah aku kepada Tuanku Ibrahim Lamnga. “Larilah Tuanku! Berlindunglah, jika Tuan lalai kita akan binasa! Beta akan melindungi Tuan membuka jalan ke Timur, kembalikah ke Montasik segera!”

Tapi Tuanku Ibrahim Lamnga sudah pasrah, syahid di depan mata. “Tak mungkin lagi bagiku untuk pergi Ahmad! Tampak jelas bagiku arti mimpi tadi, sekarang telah menjadi kenyataan. Kita terkepung! Dengan kain sarung ini aku akan menemui Allah S.W.T.”

Selagi Tuanku Ibrahim Lamnga berkata, senapan serdadu Belanda menembus kepala saudaranya yang lebih tua, Teuku Ajat. Ia memeluk, kemudian berteriak, “Allahu Akbar!” Seketika kepalanya ditembak, dengan gerakan lambat aku melihat kepala yang agung itu pecah. Tak ada waktu bersedih, wakil panglima Nyak Man rubuh diterjang peluru. Semua seolah tidak nyata, para orang-orang hebat yang ku hormati itu rubuh satu demi satu, sungguh nasib buruk aku menjadi orang yang menyaksikan petaka ini, seandainya aku mati lebih dulu, mungkin lebih baik itu bagiku.

Aku menyaksikan berhamburan serdadu Belanda datang mendekat, aku terus menembaki mereka dengan sisa peluru yang kumiliki, jika aku harus mati hari ini maka matilah! Tapi kematianku harus dihargai mahal, harus lebih banyak serdadu kafir mati ditanganku. Dengan pergerakan mundur, aku terus menembak.

Dari sudut-sudut pepepohonan aku menyaksikan mereka bermaksud membawa ketiga jenazah pahlawan Aceh itu, tak akan kubiarkan! Peluru-peluru Belanda terus berdesing kearahku, sungguh keajaiban sampai saat ini aku masih hidup.

Mereka sudah berhasil mendekati ketiga jenazah itu, ketika tiba-tiba petir menggelegar, hujan turun deras sederasnya. Amukan hujan, ditambah sisa-sisa perlawanan yang masih ada membuat mereka mundur. Halilintar masih melantak, Aku bersandar di pohon menangis sejadi-jadinya, ini semua salahku! Tuhan mengapa bukan aku saja yang kau ambil? Mengapa harus Tuanku. Aku berteriak sekuatnya dalam angin kencang itu.

Ketika Subuh datang hujan telah rintik-rintik, aku mendekati mayat para pahlawan itu. Aku memeluk, memangku lalu mengalangkan kepala syahid itu satu persatu, tiba-tiba lenganku ditepuk. Lima orang prajurit hidup masih berdiri dengan luka-luka. Dari seratus orang pasukan tinggal kami berenam, sungguh kekalahan yang sangat telak!

“Wahai teman-teman yang masih hidup, berdukalah kita, ia telah syahid. Ibrahim Lamnga!” Mereka terdiam, lalu memandangku dengan tatapan nanar dan kosong.

“Tak ada waktu menguburkan mereka yang syahid semua, Belanda pasti akan kembali segera, dan kita tak ada tenaga membawa semua saudara kita. Melalui gunung Mundam, kita bawa jenazah Tuanku Ibrahim Lamnga ke Montasik.”

Kami bermufakat mengangkat jenazah Tuanku Ibrahim Lamnga kepegunungan, disana kami membuat tandu. Perjalanan menuju Montasik itu, tiga hari tiga malam lamanya. Maha suci Allah S.W.T yang tidak membiarkan kafir menodai jenazah pahlawan Sabil.

29 Juni 1878, Ibrahim Lamnga telah gugur.

XXX


Montasik, tiga hari kemudian.

Menyambut usungan itu, seisi kampung berhamburan. Tak lama kemudian nampaklah Cut Nyak Dien, matanya nanar karena menangis menanti kabar. Aku mengangguk dan menunjuk usungan, “beliau telah syahid!”

Ia menatap aku dengan tajam, aku menunduk. Plaaak, ia menampar aku. “Bukankah sudah kukatakan kau jaga dia! Berani-beraninya kau pulang dalam keadaan hidup sedang kekasihku dalam keranda!” Terima kasih Cut Nyak, tamparanmu sedikit mengobati hatiku, sungguh aku tak layak menjadi orang kepercayaanmu menjaga suamimu.

Maka datanglah ayah Cut Nyak Dhien, “Sabarkanlah hatimu anakku! Teguhkan iman! Ia telah syahid memenuhi panggilan tugas!” Ia mengenggam tangan, menanggung rasa pedih.

Cut Nyak Dhien adalah seorang pejuang yang keras hati, tapi dia juga adalah seorang istri, seorang kekasih yang hari ini menyaksikan orang yang paling dicintai olehnya, Ibrahim Lamnga menjadi gugur. Dunianya runtuh, tangisnya makin menjadi-jadi, lalu ia bersimpuh ditanah. Dipangku kepala suaminya, ia ciumi dengan penuh kasih sayang.


Cut Nyak Dhien menciumi dengan kasih sayang kepala suaminya, Ibrahim Lamnga telah wafat. 29 Juni 1878, Ibrahim Lamnga telah gugur.

Dengan sedu sedan ia berkata, “setelah dia tiada, setelah suamiku pulang ke rahmatullah, tunjukkan kepadaku ayah! Kemanakah aku menyanggakan diri? Kemanakah aku akan bergantung? Dan jika aku terpaksa memilih suami lagi, diantara sekian orang laki-laki Aceh, tak akan ada yang akan pernah kucintai sebagaimana aku mencintainya! Dia adalah cintaku yang pertama dan terakhir, dan jika aku akan dapat memilih diantara seratus orang lelaki, yang layak menjadi suamiku, tapi ia tak akan dapat diganti! Tidak mungkin! Hanya kepada bang Ibrahim yang ini cintaku akan melekat, suamiku oh kekasihku!” Kami semua terdiam, kebencian kepada Belanda di kampung menyala-nyala hari itu.

Maka bermufakatlah sekalian petinggi negeri dan keluarlah keputusan, “segera kita makamkan jenazah Tuanku Ibrahim Lamnga!” Maka berhimpunlah seluruh kampung, menyertai pemakaman pahlawan itu. Tidak ada seorangpun yang tinggal dirumah. Makam Ibrahim Lamnga di dekat Masjid Montasik, dianggap suci, demikianlah pendapat masyarakat saat itu.

Keesokan harinya, aku dipanggil oleh Cut Nyak Dhien. Ia mengeluarkan dua pucuk surat, “Satu surat kepada Umar, dan satu surat untuk Nyak Makam, sampaikan!” Perintahnya.

Dengan takzim aku menerimanya.

“Durjana, kau telah mengecewakan aku!” Dia menatapku entah dengan kebencian atau kesedihan, aku tak paham, aku pasrah. “Beta tak layak memohon maaf, dan beta akan terus menyesali kejadian malam itu sepanjang hidup.”

“Pergilah! Aku tak mau melihat mukamu dalam masa berkabung. Jangan sampai kebencianku pada kafir Belanda berpindah padamu!”

Aku beranjak pergi dengan cepat, Umar di Barat dan Nyak Makam di Timur. Darimana aku harus mulai?

|Bersambung|

XXX

Sakit sungguh sakit hatiku patah
Tertindih karena cinta
Sedih sungguh sedih harapan sirna
Aku hancur hati kecewa
Kemanakah akan kucari obat luka
Segala harapan telah karam
Kupikir kita bisa bersama
Sayang segala harapan tak sampai

Index Catatan Kaki:

  1. Buraq = Sebuah burung mistis berkepala manusia, dipercayai ditunggangi oleh Rasullullah S.A.W dalam perjalanan Isra’ Mi’raj;
  2. Cempala Kuneng = Burung Kucica Ekor Kuning (Trichixos Pyrropygus); Bagi orang-orang Aceh pada masa lampau sebagai tamsil kecerdikan, kelihaian dan kebaikan;
  3. Malabar = Sebuah kepulauan wilayah India sekarang;


Posted from my blog with SteemPress : https://tengkuputeh.com/2018/08/01/risalah-sang-durjana-bagian-dua-puluh-empat/