Jalan Damai Kakek

in #cerpen6 years ago

PicsArt_01-21-05.37.36.jpg

Gambar di ambil dari dan diedit dengan PicsArt

Angin berhembus perlahan, meniup helai-helai dedaunan di bawah sinar rembulan. Pohon-pohon terlihat menari-nari saat hembusannya bertambah kencang. Semakin kencang hingga menderu dan berbisik keras di telinga, “Hai, kuganggu sebentar saja perjalananmu, tak apa kan?”. Angin cepat itu menerpa tubuhnya sebentar saja, hanya sekejap seperti engkau meneguk segelas air. Din berjalan kembali ditemani sepoi angin yang menenangkan.

Lentera perjalanannya belum dinyalakan. Percuma saja menggunakan cahayanya bila purnama bersinar begitu terang. Pada setiap langkah kaki yang diayunkan, Din dapat melihat jelas rerumputan bergoyang-goyang. Begitu tipisnya membuat mereka melambai-lambai hanya dengan udara yang bergerak sedikit saja. Din yakin kalau ia tak akan bosan dengan perjalanan malamnya kali ini. Pemandangan terlalu indah baginya hingga lelah tak mungkin terasa begitu cepatnya. Suasana terlalu nyaman untuk dirasa, hingga peluh wajah dan tubuhnya mungkin tak kan terasa. Din akan berjalan semalaman tanpa sadar karenanya.

Perjalanan panjang di malam yang terang mengingatkan Din pada kampung halamannya. Tempat yang ia tuju itu berada jauh di utara. Kini terpisahkan dengannya oleh hutan hijau membentang, pegunungan batu yang menjulang, dan permadani rerumputan yang luas terhampar. Ini adalah malam ketiga puluh perjalanannya, dan kakinya tengah menyebrangi hamparan permadani itu. Hijau tua sejauh mata memandang. Sinar sang surya kegelapan tak membantu Din melihat ujung perjalanannya. “Masih delapan malam lagi”, gumamnya.

Sambil menikmati indahnya alam malam, ia mengenang kembali masa kecil di kampungnya tercinta. Masih jelas dalam benaknya rumah keluarga yang diwariskan turun-temurun. Kokoh berdiri di pertengahan jalur menuju puncak bukit. Seluruh bagian terbuat dari kayu yang kuat. Dua batang menjadi pilar di bagian depan yang menahan balkon di lantai dua. Dua buah pintu ditengah kedua pilar dibuat dengan ukiran burung walet. Dua pohon kelapa berdiri menjulang melebihi tinggi rumahnya. Dua petak kecil kebun singkong terletak di halaman bagian timur rumah. Dua petak kecil kebun pepaya di halaman bagian barat rumah menjadi pasangannya. Dua buah sumur digali untuk kedua kebun, walaupun tak pernah ada airnya. Begitulah rumah Din, penuh dengan angka dua.

Din pernah bertanya pada kakeknya “Kenapa nenek moyang kita mewariskan rumah dengan penuh angka dua?”.

Kakeknya tersenyum dan menjawab “Dalam hidup segala sesuatu punya pasangannya sendiri, mungkin nenek moyang kita ingin kita mengingatnya agar kita tidak bersedih”

Dahulu Din tidak mengerti maksud kakek tentang bagaimana angka dua membuat kita tidak bersedih. Namun setelah surat dari rumah masa kecilnya sampai, ia menghadapi langkah awal untuk memahami jawaban kakek. Dalam surat itu istri Din mengabarinya bahwa sang kakek meninggal dunia. Ia pun segera berkemas untuk perjalanan nan jauh ke kampung halaman. Tiga puluh delapan hari adalah waktu yang cukup lama. Hingga renungan kesedihan akan kematian kakek tersayang memberinya pemahaman. Din mengerti sepenuhnya maksud pesan kakek dahulu. Angka dua diwariskan pada keluarganya agar mengerti bahwa segala sesuatu memiliki pasangan, termasuk kehidupan yang sepasang dengan kematian. Sejak itu Din berjalan dalam kedamaian, karena ia yakin suatu saat ia akan mati dan menyusul kakeknya tersayang.

Sort:  

Wow bagus banget!

Alhamdulillah bu, hatur nuhun :)

Mantap @muhammadhaidar, saya terbawa suasana membacanya

Makasih kang, semoga berkenan baca cerita saya yang lainnya. Hehe :)

Halo, apa kabar @muhammadhaidar? Diupvote yah..

Hai @puncakbukit, sedang termotivasi hehe. Makasih banyak :)