Young Fiction: Angka 30 Yang Murka

in #fiction6 years ago

8fyur8ezu4.jpg![22exp3m7na.jpg](https://img.esteem.ws/22exp3m7na.jpg)
sumber

Jarinya kugenggam. Matanya menancap tepat ke arah mataku. Terharu disertai sikap diam. Dia gadis yang sangat aku cintai. Nurmala bin Muchtar Tongsong adalah perempuan pengganggu tidur malamku. Tubuhnya yang semampai itu tak kenal waktu mengisi pikiranku, diikuti pesonanya yang seakan tak berjeda membuatku termenung. Cinta muda, Kawan!

“Aku berangkat ya?” katanya penuh haru. Kata terakhir perpisahan.

Dia melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia di Jakarta. Universitas yang mencetak banyak pembesar-pembesar bangsa, katanya. Aku tertegun bukan main. Lantas aku pun membisu, dan akhirnya mengangguk juga.

Lelaki tak boleh menangis. Harus tegar. “Ah! Dia hanya pergi untuk kuliah bukan kawin,” aku mendesah. Dia menghilang. Matahari memburai selangkangnya. Aku pulang dari terminal. Itulah kali terakhir aku melihatnya. Aku paling tidak menyukai episode ini. Episode perpisahan yang menyedihkan!

Berbilang hari, berbilang waktu. Aku masih merindu keadaan Nurmala. Gadis desa yang cerdas, yang sudah menjadi kekasihku selama setahun. Bola matanya selalu memainkan tidurku. Kata-katanya selalu menghentakkan tubuhku di saat mau terlelap. Payah…!

Aku mengilas balik roman picisan murahan bersamanya. Di pasar ikan yang hiruk pikuk kami bertemu. Bau amis yang menguap ke seluruh pasar tidak menghalangi hidungku menangkap aroma tubuhnya, dan seketika itu pula aku terbawa ke gerak langkahnya menyusuri pasar. Belum sampai mataku berkedip. Gadis ini tiba begitu saja di hadapanku. Sejak itulah kami terpikat satu sama lain, berikutnya kami pun kerap bertemu.

Kuhindari agar pertemuan kami tidak dilihat oleh ayahnya bernama Muchtar Tongsong. Singkatan dari tong kosong. Dia tukang ceramah di warung kopi kampong itu. Dia berbicara sekenanya saja. Pernah sekali dia dicalonkan keuchik. Kampanyenya nauzubillah, seolah dia seorang orator ulung. Jadilah dia keuchik di kampong itu hasil dari rekayasa kata-katanya. Akibat terlalu banyak bicara melekatlah nama yang mirip nama cina itu di depan nama depanya, Muchtar.

Matanya begitu awas. Bengis. Tak sudi bila anaknya menjadi kekasihku. Bila kutengok prilaku ayahnya dan Nurmala jauh benar, seakan bukan dia ayahnya. Tapi ibunya luar biasa lembut sopan dan beradab, jauh beda dengan suaminya itu. Dunia ini memang aneh!

Berjarak beberapa meter dari rumahnya aku berhenti. Dia turun, beranjak pulang ke rumah. Rupanya, ajudan tengik kelas belacan bernama Syahnor adalah mata-mata ayahnya. Dia melihatku bersama Nurmala.

“Darimana saja kau, Gatal?” kata-kata kasar itu meloncat ke kuping Nurmala.

Dia diam. Ibunya datang menyelamatkan Nurmala. Bila ibunya ada, maka Muchtar Tongsong macam kucing kena siram air comberan. Lenganglah suasana rumah Muchtar Tongsong. Ajudan tengiknya itu tipe pria yang senang mengangguk apa yang dikatakan bosnya. Tubuhnya ceking macam belalang. Panjangnya tak lebih dari 1 m 50 inc. Seragam hijau, bertulis linmas di atas kantong bajunya cukup membuatnya bangga.

Aku pulang. Ibu seorang diri. Ayah sudah lama pergi. Dua tahun sudah dia meninggalkan kami. Aku dan adikku Alamsyah Putra adalah dua anak yang masih berkabut. Usia Putra 17 tahun, dia terpaksa harus putus sekolah untuk membantu ibu. Sejak ayah meninggal, kami bekerja keras untuk menghidupi ibu. Kami harus memenuhi setiap kebutuhan ibu seperti yang dilakukan ayah semasih beliauh hidup. Ibu tidak meminta, tapi kami bertekad ingin membahagiakannya. Nasib pendidikanku sama dengan adikku, semester empat di bangku kuliah aku didrop out karena tak sanggup membayar uang kuliah selama 2 semester. Tak mengapa, jalan masih panjang. Toh, Steve Job, Bill Gate orang-orang hebat itu juga di drop out, pikirku bangga. Tapi mereka bisa mengubah dunia. Hidup tak pernah men-drop out manusia.

Ibu sudah kami suruh pensiun dari dunia persawahaan karena faktor usia. Kami punya tenaga. Sebulan kemudian, padi menguakkan misteri. Musim panen tiba dan sebagian padi kami jual buat kebutuhan kami.Tiga ribu per kilo. Kami terima uang dan langsung pulang. Ibu duduk di beranda. Mengenang ayah. Meja itu setidaknya menjadi saksi tatkala Ibu sering menaruh kopi buat suami tercintanya, dia raba begitu lumbut. Airmatanya jatuh.

“Uangnya 3 ratus ribu. Ibu simpan buat kita.” Kataku, sambil menempatkan pantatku di lantai. Putra masuk membuatkan kopi untukku. Bertambahlah airmata ibu. Teringat betul akan kenangan bersama ayah. Suami terhebat sepanjang masa.Di saat ayah pulang dari sawah. Tak perlu diminta. Ibu langsung masuk dan menghidangkan segelas kopi.


Pesan singkat kuterima. Nurmala ingin bertemu denganku. Aku bergegas ke kamar mandi. Merapikan rambut jambulku dan meluncur ke tempat biasa kami bertemu. Rumah Mak Ciknya, Sulamah. Dia duduk di bangku panjang. Mak Cik di sampingnya. Aku di kursi sebelahnya. Tiap kami bertemu, Mak Cik Sulamah tak pernah minggat. Dia betah menjaga keponakan cantiknya itu agar tidak terjadi hal-hal yang muzarat.

“Nurmala ke dalam buat minum,” perintah Sulamah.
“Mau minum apa, Bang?” tanya Nurmala.
“Teh saja,” balasku singkat.

Nurmala beranjak masuk. Tinggal aku dan Adik ibunya itu. Persis seperti kakaknya, lembut dan ramah.

“Apa kamu serius dengan Nurmala?” tanyanya sambil mengipas.

Aku gugup. Seketikan, partikel kecil bening membasahi kening. Baju mau lembab, lidah gemetar. Pikiran melayang-layang membayangkan kehidupanku. Membayangkan kegalakan ayahnya, Muchtar Tongsong itu.

“InsyaAllah Mak Cik,” aku menunduk.
“Dia masih banyak yang harus dikejar. Kuliah. Prestasi. Pekerjaan dan kemapanan hidup.”

Aku masih menunduk. Nasib begitu susah ditebak kadang-kadang. Seorang lelaki harus mampu menunjukkan sikap tanggung jawabnya. Dan nyakin keajaiban akan muncul di kemudian hari.

“Saya tahu Mak Cik, saya mencoba percaya cinta akan mengalahkan segalanya. Saya tidak melarang keinginan Nurmala,”

“Minuman siap…”

Mak Cik kembali diam. Giliran aku yang begitu cenge-ngesan menterjemahkan kata-kata Mak Cik. Sanggup tidak, sanggup tidak. Kata-kata itu membuatku galau tak terperikan. Nurmala mengambil tempat semula. Duduk manis, jelbab ia rapikan, rambut poni yang keluar dimasukkan. Selama setahun baru kali itu aku melihat rambut kecilnya itu. Alamak lembutnya!

Kami hanya berbicara tentang kebiasaan kami, bukan tentang cinta. Tentang cinta hanya boleh dikisahkan bila tak ada yang mendengar selain pencinta itu sendiri. Mak Ciknya mengerling sambil tangannya menggoyangkan kipas. Panas bukan main. Jam sudah pukul empat sore. Azan berkumandang. Aku pamitan, dan kembali mengulingkan roda motor bututku itu. Aku menyempatkan diri untuk singgah di warung kopi Suka-Suka. Aku pesan kopi sedikit gula—bukan kopi orang yang merana. Padahal iya. Bagaimana tidak, kata-kata Mak Cik Salamah masih tergiang dipikiranku. Kuputar sendok, gulanya raib menyatu dengan pekatnya kopi. Pikiranku cerah, semangat bertambah. Muncullah solusi bahwa aku harus mencari kerja selain ke sawah. Kantor, perusahaan. Bah! Malasnya aku bukan main. Baju kuning itu sering membuatku muntah. Embel-embelnya sering membuatku pening. Kenapa aku begitu nek tiap melihat seragam kebanggaan para pegawai itu? Aku menggeleng, asap rokok mengepul.

Perusahaan. Dimana? Tidak ada. Perusahaan juga pabrik kapitalis, menggerus tenaga pekerja, membayar gaji seenaknya. Cuti setahun sekali. Tidak tahan. Aku menunduk. Rokok masih kuhisap. Tani. Ya aku sedang bertani. Dagang. Pilihan paling tepat. Kudengar dari sebuah hadis, Allah akan membuka 90% rezekiNya buat orang berdagang. Usaha yang paling tinggi persennya. Modal membuatku kelabakan. Aha..shogun, tapi itu pemberian ayah. Marahkah dia bila itu kujual? Ah tidak, dia lebih bangga bila aku bisa mempergunakannya dengan baik.

Aku pulang. Kusampaikan kepada ibu. Dia menggangguk. Kawan! Ibuku tidak lagi banyak bicara selepas kepergian ayah. Lelaki hebat yang dia cintai seumur hidupnya. Pernah sekali waktu, ibu bilang kepada kami tentang kesetiaan ayah. Suatu kali, waktu ibu dan ayah ke sawah. Tiba-tiba kaki ibu yang penuh lumpur itu tertusuk kawat kecil karatan. Buru-buru ayah datang, membersihkan kotoran kaki ibu dan mengisapnya sampai karatan itu keluar. Ibu terharu. Dan menggotong ibu sampai ke rumah padahal ibu masih kuat berjalan. Tapi ayah tetap tidak tega. Dia gotong dengan penuh cinta. Penuh kasih sayang. Dan banyak lagi tanda kesetiaannya yang tidak mampu dijelaskan dengan kata-kata. Singkatnya, Ayah, lelaki paling spesial bagi ibu sepanjang sejarah hidupnya.

Aku ajak Putra menemaniku menjual motor shogun itu.

“Tra…Abang akan kaya. Dengan modal ini Abang akan mempersembahkan kemewahan hidup buat sang ibu, buat kau putra. Adikku satu-satunya. Abang akan kaya, Tra,” kataku penuh semangat.

Kurasa dia tersenyum kecil. Setelah tawar menawar, harga motorku dibeli 7 juta rupiah saja. Tak lebih. Aku setuju. Pulang naik beca bersama putra. Keesokan harinya, aku pergi ke Bahtam, usaha kecil penggilingan kopi di Kampong Seumeyeh. Mencoba bekerjasama untuk menjual bubuk kopinya itu. Kucerita panjang lebar, baik jumlah modal yang aku punya. Bahtam adalah usaha kecil yang masih bertahan sampai sekarang. Penggilingan kopi di tempat lain begitu canggih dan bahkan sudah menjamur di setiap simpang ditambah lagi setiap warung kopi juga sudah tersedia alat penggilingan canggih. Meski demikikan bubuk kopi Bahtam masih tetap ramai peminat. Selain penggilingan alami, biji kopinya pun hasil seleksi ketat. Kami sepakat. Aku sebagai agen pengantar bubuk kopinya ke warung-warung yang ada di kampung-kampung . Di kota sudah duluan disabotase oleh agen lain.

Esoknya aku kembali. Memasukkan benda-benda hitam halus itu ke dalam plastik. Penampilannya mengalahkan Dewi Persik penyanyi dangdut itu. Kuusap dan kucium, baunya menohok isi otak. Aku makin gembira. Kopi ini luar biasa rupanya.

Aku menyewa motor Supra si Madun. Tetanggaku. Dia tukang tidur. Malasnya nauzubillah. Ayahnya seorang tukang becak. Ibunya tukang cuci. Dia bersenang hati. Karena dengan tidur, dia sudah mendapatkan ketenangan yang tak bisa digambarkan oleh umat manusia di alam jagad ini. Aku angkat satu kardus 20 kg. Kutaruh di belakang motor dan meluncur. Warung kopi Mantap, target pertama. Tak peduli walau warung itu di kampong Nurmala. Ayahnya pasti sering nongrong di warung itu. Mimbar besar kesayangannya buat berpidato.
Sangkaku benar.

Aku masuk menemui penjual.

“Bubuk kopi Bahtam…40 ribu, nyam terasa. Lupa diri. Lupa mertua. Enak di lidah sampai ke perut”. Aku tawar dengan sedikit bercanda. Karena aku sudah kenal dengan penjual kopi warung Mantap. Hamidon namanya.
“Ada saja kau Syamri…”
“Lihat saja penampilannya. Julia Perez kalah, Dewi Persik no way..”

Berkat candaku. Hamidon, yang kumisnya tipis iris itu mengambil satu paket. Kes. Hamidon mengerling ke samping. Muchtar Tongsong ada di situ. Dia menyeringai, aku tersenyum.

“Penjaja bubuk kopi rupanya sekarang,”katanya sinis.

Aku tersenyum. Mengangguk sembari beranjak pulang. Dua puluh paket ludes. Kuhitung uangnya 400 ribu. Untung 200. Berlalulah hariku menjadi penjaja kopi di setiap kampong. Melekatlah namaku dengan nama Syamri Bubuk Kopi. Setelah tiga bulan. Uang 7 juta menjadi 10 juta. Berarti untungku dalam tiga bulan adalah 3 juta rupiah bersih. Lumayan. Sawah sudah kuserahkan kepada ayah Midun. Jumadi nama beliau.

Aku membeli seluruh kebutuhan rumah tangga. Aku beli baju termahal buat ibu dan buat Putra. Ibuku harus merasakan seperti pemberian ayah. Kawan! Baru kali ini aku dengar ibu mengeluarkan kata-kata keras.

“Kau pikir sudah kaya. Kau pikir hidupmu hanya untukku dan adikmu? Aku tidak butuh baju mahal seperti ini. Kembalikan segera!”

Hati ibu begitu lemah rupanya. Matanya berkaca. Kemudian dia lanjut dengan kata-kata lunak.

“Kau dan adikmu adalah segalanya bagi ibu. Ibu tidak butuh barang mahal darimu. Kau tahu umurmu sudah berapa sekarang. Ibumu sudah tua. Aku tidak ingin mati sebelum aku menggenggam tanganmu dan istrimu.”

Aku tersungkur. Lemah tak berdaya, seperti habis kesterum listrik 4 watt. Aku ambil pakaian ibu, kuletakkan di dalam lemarinya.


Ternyata pekerjaanku sudah sampai di telinga Nurmala. Ayahnya berang. Bila Nurmala jadi kawin denganku, Syamri Bubuk Kopi ini, merosotlah wibawanya. Seorang Muchtar Tongsong, seorang Keuchik kampung Beurandeun, orator ulung, terpandang dengan gaya eksentriknya harus turun tahta. Hamidon pernah memberitahuku.

“Kau tahu ayah si Nurmala sesumbar dengan menantunya yang berwibawa. Pekerjaannya harus mantap. Musti Pegawai Negeri. Nampaknya kamu kalah saing Syam.”
“Dia pernah sesumbar gitu?” Kumis Hamidon terangkat dan mengangguk.

Nurmala ke rumahku. Dia mencium kedua tangan ibuku. Bercanda dengan Putra sembari menungguku. Dia berbicara sopan dengan ibu. Lembut layaknya seorang anak kepada ibunya. Aku terharu. Luar biasa gadis satu ini. Ibuku sudah merestui penuh, aku dan Nurmala harus berakhir dengan pernikahan. Setelah merapikan rambut, aku keluar menemuinya.

“Apa kabar, Dek Nur? Adakah dikau sehat?
“Alhamdulillah sehat, Bang!” bibir tipisnya mengembang.

Ibu melirik. Aku tersenyum kecil. Lantas Ibu masuk. Putra pergi bermain bersama kawannya. Tak lama kemudian ibu muncul, dengan dua gelas air. Kopi dan teh.

Ibu duduk di dekat Nurmala persis di saat aku bertemu dia di rumah Mak Ciknya tempo hari. Hanya sekali sekali saja aku bonceng dia dengan motor shogunku yang sudah almarhum itu. Sekali saja. Selebihnya kami kerap bertemu di rumah keluarga.

“Nurmala. Bagaimana pendapatmu tentang anakku ini,” kata ibu, tangan kanannya menyentuh bahuku. Kurasa Nurmala sedang merasakan apa yang aku rasa tempo hari waktu Mak Ciknya bertanya padaku.Dengan penuh santun dia menjawab. Menarik nafas panjang.

“Anak Ibunda luar biasa. Dia sosok lelaki yang mungkin tidak akan kutemukan di jagat ini, Ibunda. Hatiku sudah mantap untuk disunting oleh anak Ibunda.” Ibuku tersenyum. Diam. Mungkin dia sedang membayangkan sosok ayah. Pukul enam. Nurmala pulang.

Beberapa tahun kemudian. Aku sudah membelikan motor lain, Supra X. Lima belas juta harganya. Putra bangga bukan main. Putra sudah tiga tahun berada di dayah Misbah. Kudengar dia pernah memenangi beberapa perlombaan. Perlombaan pidato, azan dan lomba shalat. Luar biasa. Aku bangga, ibu terharu. Kala dia pulang ke kampong, Teungku Imum tak sungkan mendorongnya ke depan untuk menjadi imam. Aku makmumnya. Di kala Alfatihah dibaca, berkacalah mataku mendengar suara merdu adik kesayanganku itu. Alam tunduk, malam tenang.


Nurmala sudah selesai kuliah. Sekarang dia sudah berada di kampong. Teungku Imum, Keuchik, Tuha Peut, siap melamar Nurmala. Ibuku mengenakan baju termahal yang aku beli beberapa tahun silam. Dia begitu cantik, anggun nan lembut. Ibu tercantik dan terbaik di seluruh dunia ini. Mereka berangkat ke rumah Nurmala. Aku tinggal di rumah bersama Putra menerka apa yang akan terjadi. Apa sikap ayahnya telah berubah? Apakah tahta akan jatuh ke lumpur?

Tiga jam kemudian. Mereka pulang. Wajah mereka pias. Senyum tenggelam. Ada apa gerangan?

“Kenapa wajah ibu begitu sendu??”Tanyaku.

Ibu diam. Dia langsung beranjak ke dalam, melepaskan baju termahalnya itu. Lalu duduk di atas dipan.

“Tiga puluh maharnya Syam…”Katanya sambil menunjukkan tiga jari telunjuk lancipnya.
“Hah!”Aku terpana. Ibu ternganga.

Tiga puluh manyam, jumlah yang sangat fantastis. Bermimpi seorang anak lelaki yang
ditinggal mati ayahnya, dengan pekerjaan penjaja bubuk kopi mampu mendapatkan 30 mayam emas.

“Syam, kau tahu. Nurmala sudah sarjana, ayahnya orang terpandang. Dia sudah diterima di kantor apa namanya Ba…p”
“Bappeda bu” aku membetulkannya.
“Ah apalah itu namanya. Dia sudah akan jadi pegawai Syam sedangkan kamu seorang penjaja bubuk kopi.”
Ibu melanjutkan petuah agungnya.
“Mungkin Tuhan tidak berkenan Syam. Dia cinta kau Syam, belum tentu orang tuanya mencintaimu. Karena perkawinan bukan hanya menyatu kau dan dia, tapi menyatukan seluruh keluarga.”

Aku menunduk mencerna petuah ibu. Ada benarnya juga. Hari itu berlalu penuh pilu. Esoknya aku bertemu dengan Nurmala. Kerinduan menyuruak, mengikis nadi-nadi tubuhku. Menyesakkan relung dada, memincingkan hati. Tak sabar aku dibuatnya. Aku ke rumah Mak Ciknya. Kali ini dia duduk di dalam. Penampilannya begitu berubah. Dia yang dulu kukenal begitu alami, sekarang dirombak dengan kecanggihan kosmetik. Wajahnya yang dulu putih bening, sekarang putih berasap. Aku bergetar. Bertanya. Benarkah itu Nurmalaku? Bibirnya semerah bibir Lady Gaga, penyanyi esentrik Amerika itu. Bulu mata tebal, jentik. Apakah orang akan merubah penampilan, bila berada di lingkungan yang berbeda? Entahlah.
Dia tersenyum.

“Silakan kekasihku yang sudah lama tidak bertemu. Apa kabar Kanda sekarang?” dia bertanya sambil memegang tanganku.
Aku terkejut. Sekian tahun kami pacaran, tak pernah sekalipun kurasakan sentuhannya.
Aku tersenyum. Mencoba menghindar. Kulihat Mak Ciknya begitu awas.
“Baik…baik sekali”
“Bagaimana Kanda, ayah sudah memutuskan bahwa maharnya 30 manyam. Nurmala rasa itu terlalu berat dengan kondisi kanda. Dan mungkin kanda butuh beberapa tahun lagi untuk mendapatkan jumlah sebanyak itu.”

Aku terdiam. Dia yang kucintai, disendat oleh angka bejat tak tau diri itu. Aku bergumam.

“Terkesan itu pantas. Sangat pantas. Dinda yang sudah sarjana, kuliah di Universitas terhebat. Pegawai. Anak seorang terpandang. Sangat pantas,” aku balas dengan nada diplomatis.
“Jadi bagaimana, Kanda?”
“Berilah Kanda seminggu untuk menjawabnya.”
“Adakah kamu sedih bila kanda tidak menjadi suamimu?”
“Sedihkah engkau? Wahai Nurmala yang cantik jelita” dia tersenyum kecil. Tersirat kesyahduan nada cintanya memudar.

Dia mengangguk. Habislah celotehan kami. Aku pulang dengan motor baruku itu. Aku berpikir dan bertanya. Ibu menyerahkan kepadaku. Memperkuatkan semangatku bahwa cinta ibu masih ada. Aku bingung, makanan terasa hambar. Hidupku nampak tak teruurus. Cintaku kepada Nurmala akan segera khatam.

“Aku sudah memikirkan Nurmala. Itu cara halus untuk menolak pinanganku. Kutahu ayahmu tidak akan pernah setuju bila aku jadi menantunya. Tak akan pernah. Angka sial itu adalah cara yang halus untuk kita berpisah.”
Nurmala terperangah.
“Bukan begitu,” selanya.
“Ya, Kanda rasa begitu. Nurmala pun begitu tak berkutik di saat Ayah memutuskan jumlah mahar. Nurmala terlalu penurut. Dan penurut itu muncul karena ada hal yang sudah kita anggap tidak terlalu berharga lagi. Kanda rasa begitu.”


Dua bulan berselang. Tak sengaja aku berjumpa dengan Hamidon pelangganku dan pemilik warung kopi Mantap di kampong Beurandeun, kampong Nurmala.

“Syam…kau tahu si Nurmala pacar kau itu, sudah dipinang oleh anak Keuchik Samsir, keuchik sebelah kampungku”katanya perlahan.
“Benarkah? Berapa maharnya?
“Dengar-dengar 20 manyam”. Sambungnya.

Sidik punya sidik anak Keuchik Samsir seorang Pegawai Negeri Sipil di Kantor Bappeda. Kantor dimana Nurmala bekerja. Aku menanggapinya biasa saja diliputi perasaan murka pada kebejatan angka 30 itu. Murka pada penolakan Ayahnya yang tidak realistis, tapi masuk akal buat Muchtar Tongsong itu. Aku tidak putus asa. Biarlah dia melenggang hidupnya di atas penderitaanku. Tuhan Mahaadil, Kawan! Kataku menguatkan diri.

U5dtbQKKmfKuqu7QB1uxntFotPFr9Dq_1680x8400.jpg

Sort:  

Artikel yang sangat bagus

bagian mana yang bagus @dier?

Di bagian tiga puluh mahar bg @abduhawab

nice post...

please Followe me and Upvote & comment please...please...please...
https://steemit.com/@parth6937/

Terkadang fiksi itu bukan fiksi, hee...
Kalau aku nulis fiksi, sedikit banyaknya ada kejadian yang nyata.

Dan ini fiksi yang menarik bang @abduhawab

hehe...ada benarnya juga. terima kasih atas komentarnya

Heee... Iya bang, lebih mudah menulis yang fakta ketimbang ilusi. Jika keduanya melebur jadi satu, tampak lebih keren.

Kisah yang sangat mengharukan, betapa sebuah kebahagiaan selalu diukur dari pangkat dan jabatan,, padahal kebahagiaan tidak mutlak berada pada angka 30,bisa jadi di 2 atau 3 manyam saja, semoga suatu hari bertemu lagi dengan nurmala lainnya yang siap menentang angka 30, maaf bg @abduhawab saking terharunya, mungkin komentar saya agak ngawur

Hehe...tidak ngawur, semoga saja angka tak jadi penghalang nantinya

🎵 Dia gadis berkerudung merah🎶 bawalah diriku padanya 🎶 tak bosan-bosanku melihatnya 🎶 kujatuh hati padanya 🎵😁

Nurmala memang menggoda, kisahnya kalau difilmkan pasti dapat penghargaan. Karena selain menginspirasi, dan mengandung pesan moral, juga ada humorisnya, pada peran si Madun yang tukang tidur. Oiya motor shogun dijual saja, kalau nggak mau Nurmalanya saya tikung😂

Salam buat pak Mukhtar Thongsong😊

hahah....terima kasih atas apresiasinya, @midiagam

Sama-sama bang @abduhawab

Cerita yang mengasikkan abang Abduh. Semoga dapat mengikuti jejak abang disini. Saya baru disini bang. Mohon selalu dukungannya.

terima kasih juni. InsyaAllah anda lebih sukses nantinya..terus berjuang.

Op..
Masuk lagi cerita fiksinya.
Aq baca dari status salah 1 penulis di facebook kan bg, banyak jg skrg penulis yg mempromosikan novelnya melalui cerbung di medsos. Jadi menarik simpati para pembaca dan rumah produksi duluan mereka. Abg enggak buat gitu?

Romantisme kehidupan. Fiksi apa realita ini bang?

Kisah cerita yang romantis, sangat menghibur.
Mantap

very interesting story, bg @abduhawab! Banyak kisah nyata yang seperti ini terjadi disekitar kita. Terkadang angka tinggi itu hanya bentuk lain dari 'penolakan' sebagai akibat dari ketidaksesuaian harapan dan ekspektasi para orang tua terhadap calon anak-anaknya.

Kata-kata kasar itu meloncat ke kuping nurmala.

Biarlah dia melenggang hidup di atas penderitaanku.

Emosiku di aduk membaca fiksi ini. Luarbiasa master.