Mengais Rupiah Lewat Mie Caluk Grong-Grong

in #food6 years ago

fati.png

Mengenakan baju orange, dipadukan dengan jilbab merah hati. Fatimah (39) terlihat sangat ramah menerima para pelanggan yang menghampirinya. Tingginya semampai, badannya berisi.

Fatimah salah satu penjual peunajoh Aceh yaitu mie caluk Grong-Grong dengan menggunakan gerobak kayu. Grong-Grong sendiri merupakan nama salah satu kecamatan di Kabupaten Pidie. Mie caluk asal Grong-Grong Pidie ini memiliki kekhasannya sendiri. Harganya terjangkau. Sehingga salah satu makanan kuliner Aceh ini mampu menghipnotis minat pembeli dari berbagai kalangan di Kota Banda Aceh.

“Mau pesan apa?,”tanya ia kepada salah satu pelanggan sambil melemparkan senyum manisnya. Katanya, senyum merupakan salah satu cara untuk menarik pelanggan. Di Banda Aceh, tepatnya di Jalan Panglima Nyak Makam, Fatimah mejelaskan bahwa ia sudah berjualan di sana selama empat tahun. Usahanya ia rintis bersama dengan sang suami, Azhari. Sekarang, ia bersama seluruh anggota keluarganya tinggal di Lambhuk.

Untuk bungkus-membungkus mie Fatimah memang ahlinya. Tangannya sudah cekatan mengambil satu per satu bumbu dan pelengkap kelezatan mie. Beberapa diantaranya kuah kacang, urap, kecap, kerupuk dan sebagainya. Mie yang ia jual juga bermacam-macam seperti mie lidi, mie halus, dan mie goreng.

Harga per bungkusnya mencapai Rp5.000. Jika mau tambah pakek pecal dan lontong, maka harus menambah lima ribu lagi menjadi Rp10.000 per bungkus. Dalam sehari Fatimah membutuhkan modal sekitar Rp400.000. Sehari ia memperoleh keuntungan sekitar Rp200.000. “Alhamdulillah dagangan saya banyak yang suka,”kata Fatimah. Wajar Fatimah berkata demikian. Pasalnya, ia hanya memiliki waktu sejenak untuk duduk beristirahat sebelum pelanggan lainnya datang bergantian.

Di samping gerobaknya, ia juga menyediakan belasan kursi lengkap dengan mejanya. Barangkali ada di antara para pelanggan ada yang ingin langsung makan mie caluk di sana. Ia mulai membuka dagangannya usai shalat shubuh. Pasalnya selain menjual mie, ia juga menjual pulot. Rata-rata penjual pulot memang menjajakannya waktu pagi-pagi. Peunajoh yang satu ini dibuat dengan membakar ketan yang sudah dibalut dengan daun pisang.

Pembakarannya dilakukan di atas besi tipis seperti seng dengan panjang sekitar 40×100 cm. Pulot biasanya dimakan dengan mengoleskan gula pasir. Ada juga yang memakannya dengan durian. Fatimah menjelaskan bahwa ia mengeluarkan modal sebesar Rp250.000 untuk membuat pulot. Uang itu ia gunakan untuk membeli beras, daun pisang, dan gula pasir. Sedangkan keuntungannya berkisar Rp100.000. “Tapi yang paling mahal adalah daun pisang,”imbuhnya.

Bahan-bahan yang ia butuhkan untuk membuat pulot adalah satu sak beras seharga Rp300.000, gula pasir tiga kilogram, dan kelapa untuk membuat santan. Satu kilogram gula pasir sebesar Rp12.000. Sedangkan harga per dua kelapanya sebesar Rp4.500. Dalam sehari ia membutuhkan 20 kelapa dengan harga keseluruhan Rp45.000.

Tentunya, untuk mempersiapkan mie caluk dan pulot membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Sehari semalam Fatimah hanya tidur selama empat jam setengah. Pulot ia persiapkan waktu malam, mulai pukul delapan hingga pukul 12 malam. Selanjutnya, ia harus bangun lagi pukul setengah lima pagi untuk mempersiapkan mie caluk.

Dagangan Fatimah yang lain adalah air tebu dan kelapa muda. Tebu-tebu itu berasal dari Takengon. Harganya tergantung ukurannya. Makin besar batang tebunya maka harganya akan semakin meningkat karena menghasilkan air yang lebih banyak.

Tebu yang besar bisa menghasilkan air melebihi satu gelas dibandingkan tebu berukuran sedang, kata Fatimah. Harga normal per batang tebu mencapai Rp2.500. Keuntungannya juga bervariasi. Kata Fatimah, saat cuacanya sedang cerah, maka penjualannya semakin laris manis. “Tapi kan tidak setiap hari cuacanya cerah. Waktu keadaannya hujan, ada juga kelapa maupun tebu yang harus dibawa pulang,”jelasnya.

Untuk berdagang tebu, ia menggelontorkan uang sekitar Rp300.000 dengan keuntungan minimal Rp100.000.

Sedangkan untuk modal berdagang air kelapa ia membutuhkan uang sebanyak Rp500.000 dengan untung sekitar Rp200.000. Harga per kelapanya mencapai Rp2.700. Jumlah kelapa yang ia pesan sehari mencapai seratus buah. Kemudian sirup dan dua kilogram gula pasir sebesar Rp24.000.

“Jika ada yang suka air kelapa pakek sirup kita kasih sirup. Kalau ada ada yang minta pakek gula juga boleh,”terangnya.

Untuk satu plastik atau segelas air kelapa ia jual Rp5.000. Artinya, keuntungan per gelas sebesar Rp2.300. Saat seratus kelapa habis terjual maka keuntungan Fatimah adalah Rp230.000.

Fatimah hanya mengontrol dagangan mienya. Sedangkan dagangan lain selain suami, juga dikontrol oleh seorang pekerja laki-laki. Alasannya, kadang-kadang suami harus pergi sebentar untuk mengambil kelapa atau tebu. “Kalau dulu yang kerjanya perempuan, tapi sekarang tidak lagi karena ia sudah kawin,”ujarnya.

Jika diakumulasikan, jumlah seluruh modal dagangan yang dikeluarkan Fatimah sehari mencapai sekitar Rp1.300.000. Sedangkan keuntungannya mencapai Rp 600.000.

Ia nekat berdagang berbagai jenis makanan dan minuman itu karena itu merupakan satu-satunya sumber penghasilan keluarganya. Apalagi harga untuk keperluan sehari-hari keluarga dan biaya pendidikan lima orang anaknya semakin meningkat.

Saat ini, anak sulung dan anaknya yang kedua kini sedang menduduki bangku kuliah di Universitas Serambi Makkah. Dua-duanya di jurusan ekonomi, papar Fatimah. Anaknya yang ketiga berada masih menempuh jenjang SMP. Keempat dan yang kelima masih di kelas empat dan dua SD.

Ia menaruh harapan yang sangat besar kepada kelima anaknya untuk sukses. Setidaknya itu akan memulihkan rasa lelahnya selama ini dalam mencari rezeki. “Capek sekali saya kerja. Itulah semua tujuannya semua untuk memberikan pendidikan kepada anak saya. Saya ingin semua usaha saya kepada mereka membuahkan hasil,”ungkapnya.

Menurutnya, pendidikan agama dan sekolah memiliki arti yang penting bagi perkembangan anak-anaknya. Kedua pendidikan itu saling menyeimbangi. Sehingga, semua anaknya memiliki potensi untuk bersaing dan bekerja dengan baik di masa depan. “Jika pagi mereka ke sekolah, malamya mereka pergi mengaji,”tuturnya.

Ia juga berharap kepada Pemerintah Kota Banda Aceh dan Pemerintah Provinsi Aceh memperhatikan para pedagang kecil. Jika tidak berdagang, kata Fatimah, mereka akan makan apa.

Hal senada juga diungkapkan oleh Azhari. Menurutnya, jika para pedagang ini tidak diberi kemudahan berdagang, otomatis akan menghambat perekonomian mereka. Secara tidak langsung angka kemiskinan akan meningkat Zulfurqan

Tulisan ini pernah dimuat di Warta Kota Banda Aceh.