Makluk sosial sebagai titel manusia menjadikannya masyarakat yang beradab. Berbicara tentang makhluk sosial, kita tidak asing dengan nama Aristoteles. Menurutnya, manusia adalah makhluk sosial atau zoon politicon dikarenakan ada hasrat dalam diri manusia untuk hidup berkelompok dan bermasyarakat.
Dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup, membela diri dan mengadakan keturunan tidak lepas dari si makhluk sosial. Dengan hidup bersama-sama, manusia yakin akan dengan mudah mencapai tujuan tersebut. Sekumpulan manusia yang hidup bersama tersebut diartikan sebagai masyarakat.
Kehidupan masyarakat idealnya dipenuhi dengan kemajemukan kepentingan manusia disamping kepentingan bersama. Hal tersebut dikarenakan pada hakikatnya manusia juga makhluk yang bebas berkehendak. Apa yang diinginkan satu individu dan individu lainnya akan berbeda. Bahkan, apabila kita berbicara tentang negara, maka akan terlihat kemajemukan masyarakat dengan berbagai kepentingan.
Perbedaan kepentingan melahirkan pergesekan dalam kehidupan dan ketidakseimbangan dalam kehidupan bersama. Misalnya dalam memilih pemimpin dalam kehidupan bersama, interaksi jual beli, menggunakan jasa orang lain, dan kepentingan lainnya. Seorang pembeli ingin mendapatkan barang yang bagus dan seorang penjual ingin mendapatkan uang yang sesuai dengan barang yang dijualnya. Begitupula, orang ingin pemimpin yang terpilih dengan hasil musyawarah dan ada orang yang ingin memilih pemimpin secara aklamasi. Pertentangan kehendak dalam masyarakat akan menjadi permasalahan yang serius apabila tidak dibatasi.
Pambatasan sikap manusia yang bebas dilakukan dengan adanya kaidah sosial. Manusia harus mampu menjaga tingkah lakunya berdasarkan kaidah sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat dikenal empat kaidah sosial, yaitu:
Kaidah susila: berasal dari sanubari manusia sebagai makhluk yang bermoral. Mengikuti suara hati yang menentukan mana yang baik dan buruk. Seperti berkata jujur, tidak berbuat cabul, dll.
Kaidah agama: bersumber pada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah). Berisi larangan, perintah dan ajaran. Seperti, menghormati orang tua, jangan mencuri, dll.
Kaidah kesopanan: didasarkan pada aturan yang timbul dari pergaulan dalam masyarakat. Memuat kepantasan dan kebiasaan dalam masyarakat. Seperti, minta izin menggunakan barang orang lain, anak muda menghormati orang yang lebih tua, dll.
Kaidah hukum: aturan yang dibuat oleh penguasa yang dipaksakan untuk menjaga tata tertib masyarakat. Timbul karena ketiga norma di atas belum mampu menjamin ketertiban dalam masyarakat.
Dari keempat kaidah di atas, sudah sepantasnya kita harus menggunakan kaidah tersebut dalam kehidupan bersama. Menjaga kenyamanan dan kenyamanan dalam masyarakat adalah tugas kita sebagai makhluk sosial.
Dewasa ini, kita sudah sering mendengar kata krisis moral dalam tataran hidup bermasyarakat. Kita sering menggunakan kaidah paling akhir (kaidah hukum) untuk menjaga tindak tanduk prilaku kita. Padahal, kaidah hukum adalah ketentuan terakhir dari kaidah yang ada. Kaidah hukum tidak akan mampu mengatur urusan kesopanan, kejujuran dan sifat-sifat mulia manusia. Sehingga apabila kita mengenyampingkan kaidah susila, agama dan kesopanan dimana lagi letak akhlak mulia dalam diri kita. Untuk itu, kita harus melihat ke dalam diri kita, ke agama kita, dan kelingkungan masyarakat untuk berprilaku dan bersikap.
Mengutip pendapat Konfusius yang merupakan ahli filsafat Cina yang mengatakan "untuk apa seluruh kemenangan jika harus dilakukan dengan cara menghancurkan, melukai atau mematikan kehidupan orang lain". Tepat kiranya kesenangan yang kita inginkan tidak boleh melukai kehidupan orang lain. Mari hidup bermasyarakat yang didasarkan pada kaidah sosial.
Terima kasih sudah membaca,
salam hangat,
Aris Rinaldi
Postingan yang menarik Kehidupan masyarakat idealnya dipenuhi dengan kemajemukan kepentingan manusia disamping kepentingan bersama. Hal tersebut dikarenakan pada hakikatnya manusia juga makhluk yang bebas berkehendak. Good post
terima kasih.
Hallo, hai @arisrinaldi1996! Sudah kami upvote ya..