SINGLE DIGIT POVERTY IN INDONESIA: MEMINIMALISIR GAGAL PAHAM DALAM MEMAKNAI ANGKA KEMISKINAN

in #indonesia5 years ago

Gagal paham pertama: Filosofi Mendasar

Pengantar
Tulisan ini dimaksudkan sebagai tulisan pertama dari beberapa tulisan yang direncanakan untuk membangun diskusi dan edukasi serta kecintaan terhadap data dan informasi menuju masyarakat Indonesia yang melek informasi.

Sebuah euforia
Tak dapat dipungkiri ada euforia yang muncul menanggapi respon banyak kalangan terkait fenomena kemiskinan yang baru-baru ini disampaikan kepada publik. Secara umum seolah-olah ada "keraguan" tentang ketepatan angka kemiskinan sebesar 9,82 persen penduduk Indonesia masih masuk dalam kategori penduduk miskin yang setara dengan 25,95 juta orang yang sebenarnya secara absolut cukup besar dari sisi jumlahnya.
Yang menjadi headline di berbagai media adalah kemiskinan seolah-olah mendadak turun drastis di bawah satu digit. Kemiskinan di bawah satu digit ini di stereotype kan sebagai sebuah keberhasilan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Di lain pihak ada pihak lain yang berbeda pandangan dan berusaha menegasikan dengan menyuarakan suara-suara yang berbeda sehingga suasana menjadi bising seperti sekarang ini.

Observasi versus Judgment
Sifat DATA yang pertama adalah objektif dan bebas nilai yang hanya didapat dari proses observasi. Kebenaran yang sederhana dengan mengetahui perbedaan antara observasi dan judgment akan memberikan pencerahan kepada pembaca untuk membedakan antara objektifitas dan subjektivitas dari apa saja yang kita lihat, dengar, rasa terkait banyak fenomena.
Kita ambil sebuah contoh, ada seorang anak bayi berkulit coklat. Bila setiap orang yang melihat dan mendapati kesimpulan yang sama bahwa anak tersebut berkulit coklat, maka hal ini disebut dengan observasi. Artinya tidak ada dispute atau tidak ada perbedaan dan pertentangan dari objek yang dilihat bersama, dalam hal ini adalah sang anak. Sekali lagi, hal yang sama dilihat oleh orang-orang yang berbeda dan menghasilkan kesimpulan yang sama, artinya diperoleh hasil pengamatan yang objektif.
Tetapi, bila sang anak di katakan "lucu", "manis", "cakep" dll. Sehingga tidak semua orang yang melihat menuju kepada kesimpulan yang sama, hal seperti ini disebut dengan "judgement", penilaian seperti ini kental dengan subjektifitas pengamatnya.
Secara sederhana, bila informasi yang tersedia lebih membangkitkan emosi di bandingkan nalar atau logika pembacanya, bisa dipastikan judgment atau subjektifitas penulis lebih kental dari pada observasi dan objektifitasnya.

Hiruk pikuk terkait angka kemiskinan yang merebak akhir-akhir ini penulis sinyalir sebagai dari imbas lebih kentalnya judgement atau subjektifitas penulisnya dalam memaknai dan memanfaatkan hasil penghitungan indikator makro kemiskinan.

Polarisasi Data adalah ranah pengguna data/ stakeholders
Angka 9,82 persen penduduk miskin secara data bersifat objektif dan bebas nilai. Angka yang di peroleh adalah proses dari rangkaian panjang tahapan pengumpulan, penghitungan serta disseminasi sesuai dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) yang melekat pada Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai lembaga yang diberi tanggung jawab untuk memproduksi data untuk perencanaan, pengawasan pembangunan. Sejatinya tidak ada tendensi apa-apa terkait angka 9,82 yang di keluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai produsen data.
Yang menilai data itu baik atau buruk sejatinya bukanlah kewenangan BPS sebagai produsen data. Adalah pengguna data yang menilai baik atau buruknya sebuah data. Siapa pengguna datanya sangat terkait erat dengan pemanfaatannya. Pengguna data yang di produksi Badan Pusat Statistik (BPS)? Dalam hal ini termasuk kementerian terkait, peneliti, masyarakat sipil, dunia usaha, LSM, perguruan tinggi, lembaga politik, termasuk lawan politik adalah para pengguna data. Para stakeholder inilah yang mempolarisasikan apakah data ini berkategori baik atau buruk yang sangat terkait erat dengan kepentingan masing-masing pihak. BPS sebagai produsen data sejak sedini mungkin berusaha agar menjaga jarak dengan fenomena yang diteliti dengan berusaha melakukan proses-prose tersebut dengan objektif, bebas nilai bahkan "zero mind" seperti layaknya peneliti dalam mendalami sebuah fenomena.

Interaksi dan Komunikasi: sebuah auto kritik
Bisa jadi, keingintahuan masyarakat yang besar untuk memaknai angka-angka makro kemiskinan ini belum diikuti oleh ketersediaan informasi yang dapat dengan mudah diperoleh dan mudah di mengerti orang paling awam sekalipun. Masyarakat masih mengandalkan Informasi yang berseliweran di media sosial yang ditulis kental oleh sentimen pribadi penulisnya. Ruang untuk memberi jawab melalui saluran informasi resmi, misal media sosial (facebook, twitter) yang dimiliki BPS belum dijadikan alat utama untuk menyebarluaskan informasi lanjutan. Mungkin karena gagap atau karena tidak siap dengan antusiasme yang sebesar ini bisa jadi juga berkontribusi buat kebisingan yang juga belum mereda.
Interaksi dan komunikasi yang sifatnya lebih personal yang didukung oleh tim yang solid yang paham substansi dirasakan kemendesakannya. Sampai-sampai seorang kepala BPS harus turun dan memberikan penjelasan mendalam kepada publik. Jalur-jalur komunikasi resmi/official bila digunakan secara terukur, terstruktur dan sistemik menimbulkan dampak citra positif bagi institusi.
Yang terjadi masih sebaliknya, setiap insan, meski hanya memiliki sedikit informasi menuliskan sesuai pengetahuannya masing-masing dan hanya menimbulkan riakan-riakan informasi saja. Padahal hasil yang diinginkan adalah masyarakat melek informasi/data sebagai tujuannya. Kolektivitas dan sinergi modal sosial yang ada perlu di naungi agar tidak kontra-produktif dengan tujuan yang ingin dicapai: informasi disajikan secara terukur, terstruktur dan sistemik dan terbatas waktu.

Pembiaran PUN bisa jadi sebuah opsi

Pembiaran merupakan langkah yang biasa dan bisa diambil juga sebagai sebuah pilihan. Karena tema-tema ini sejatinya merupakan tema-tema yang setiap tahun berulang. Jargon yang sering digunakan untuk membela diri adalah, "yang protes adalah orang-orang yang ngga ngerti! Kalo yang tau juga ngga ngomong begitu", Padahal situasi diperlukan untuk edukasi dan pengertian dapat dengan maksimal diberikan.
Pembiaran bukan pilihan tentunya!
Tetapi mestinya momentum ini dapat dipandang sebagai kesempatan untuk melakukan edukasi. Edukasi yang sejati bukan ditujukan kepada orang-orang yang sudah pinter, tetapi lebih kepada orang-orang atau masyarakat awam yang akses informasi dari media social, semisal facebook-an saja. Masyarakat awam seperti ini perlu tahu juga.

Substansi Pengukuran
Diperlukan pengetahuan minimal untuk dapat memaknai atau bahkan mengkritisi angka kemiskinan.
Untuk memahami kemiskinan tentunya diperlukan pengetahuan minimal yang perlu, cukup dan harus untuk dapat memaknai apalagi untuk mengkritisinya.
Minimal pengetahuan yang penulis rasa perlu untuk di ketahui publik, terutama pemerhati masalah pembangunan dan kemiskinan antara lain adalah perbedaan indikator makro dan indikator mikro.
Kesalahan fatal sering kali terjadi apabila indikator makro di jelaskan dengan menggunakan analogi-analogi mikro. Praktek seperti ini sejatinya sudah berlangsung sejak lama dan turun temurun, sehingga publik yang awam mengalami kesalahan persepsi dalam pemaknaan indikator statistik.
Fenomena kemiskinan dapat dilihat dari 3 indikator makro yang di hasilkan Badan Pusat Statistik (BPS). Ketiga indikator makro kemiskinan itu adalah: persentase penduduk miskin, gini rasio, dan tingkat ketimpangan pengeluaran.
Berikutnya kita perlu tahu apa itu rata-rata (average). Karena pengukuran kemiskinan menggunaka pendekatan rata-rata pengeluaran rumah tangga. Rata-rata adalah salah satu ukuran pemusatan (central tendency). Ukuran pemusatan yang lain adalah nilai tengah (median) atau nilai yang sering muncul (modus) untuk mewakili karakteristik populasi. Dalam penghitungan kemiskinanrata-rata (average) adalah satu ukuran yang digunakan untuk mewakili populasi penduduk miskin.
Pemilihan pendekatan rata-rata (average) bukan tanpa kelemahan. Penghitungan rata-rata sudah mulai di pelajari dari tingkat sekolah dasar. Indikator yang dikeluarkan BPS yang menggunakan pendekatan rata-rata antara lain: rata-rata lama sekolah untuk Indonesia adalah 8 tahun atau setara kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Contoh lain misalnya adalah rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang berjumlah 4 anggota rumah tangga merupakan sebagai contoh.
Ukuran statistika dalam bentuk penghitungan rata-rata sudah diperkenalkan sejak bangku Sekolah Dasar. Rata-rata sebagai salah satu ukuran pemusatan memiliki kelemahan, yaitu sangat baik untuk menyembunyikan nilai ekstrim/outlier.
Dari sisi substansi pengukuran, pengetahuan yang minimum perlu diketahui antara lain seperti: pendekatan yang digunakan dalam proses penghitungan kemiskinan yang diantaranya adalah: konsep Purchasing Power Parity (disingkat "PPP", dibaca "P tiga") sebagai dasar dibalik penghitungan kemiskinan versi Bank Dunia; alasan dibalik mengapa mengukur kemiskinan menggunakan pendekatan pengeluaran; Definisi orang miskin dalam penghitungan BPS; kenapa bukan dilihat melalui pendekatan pendapatan.
Hal-hal seperti tersebut di atas perlu di ketahui untuk meminimalisir gagal paham memaknai angka kemiskinan.
Untuk sementara ini penghitungan kemiskinan dengan pendekatan rata-rata pengeluaran penduduk dengan segala kelemahan metodologinya masih di pandang dan disepakati sebagai upaya pengukuran yang dapat diterima bersama pihak.

To be continue..."Gagal Paham Kedua: Pendekatan Penghitungan Kemiskinan"

Hari Bagindo: Statistisi Muda di Badan Pusat Statistik dan saat ini berkecimpung pada Tim Teknis Penghitungan Kemiskinan

Salam Hangat

Passer Baroe, 24 Juli 2018

Hari Bagindo

Sort:  

Congratulations @bagindooo! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 1 year!

Click here to view your Board

Support SteemitBoard's project! Vote for its witness and get one more award!

Congratulations @bagindooo! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 2 years!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!