Pencari Kerja di Universitas

in #indonesia5 years ago

Ilmu merupakan materi suci yang diciptakan Gusti Allah untuk menerangi akal dan pikiran manusia untuk selalu sadar akan kenapa dirinya diciptakan, darimana asalnya, apa tugasnya dan sadar, tidak lupa kemana jalan pulang. Sayang sekali pada era sekarang tujuan ilmu yang diciptakan, ditambahkan oleh manusia dengan unsur-unsur yang mengkontaminasi kemurnian dan kesucian ilmu. Era sekarang tujuan ilmu ditambahkan untuk membuka gudang penumpuk harta, untuk pamer sehingga menghasilkan para pencari ilmu yang saling ingin dipuji dan murka ketika tidak ada mendapat pujian, imbalan pengakuan dan kehormatan. Karena dominan manusia menganggap ilmu sebagai salah satu komoditi, modal usaha dan saham investasi tidak heran kalau konsep mencari ilmu sekarang sudah melenceng tidak karuan. Mulai dari penyempitan sumber ilmu, sistem penyaringan pencari ilmu yang tidak tepat koordinat parameter seleksinya, hierarki yang kacau balau dan visi misi ilmu yang dicapai sebatas untuk memenuhi nafsu para pencari ilmu. Jarang, sekarang para sarjana, master maupun profesor yang sadar kalau ilmu itu tidak linear dengan kekayaan. Seorang guru yang menguasai ilmu jangan berkhayallah untuk mendapatkan kekayaan seperti para pengusaha. Kenikmatan, hasil, output, outcome seorang guru sudah jelas menghasilkan kecerdasan bagi bangsa bukan untuk menghasilkan uang. Atas alasan tersebutlah maka menjadi guru itu merupakan kepanjangan tangan dari Sang Pencipta.

Guru atau ahli dalam suatu ilmu serta taat kepada sang pencipta selain mengamalkan juga mengajarkan ke manusia-manusia lain dengan niat membuat manusia mendapat cahaya (ulama). Capaian hasil kerja atau outpu seorang ulama membuat Sang Pencipta menempatkan seorang ulama berada diatas kasta raja.

Para cendekiawan sekarang, mereka bingung dalam mengabdikan ilmunya kepada lingkungan sekitarnya atas dasar kewajibannya, kesadarannyaa dalam memiliki ilmu. Mereka buntu dalam mencari solusi masalah di lingkungan luar dari mereka sendiri ketika harus berangkat dengan modal dan sumber daya sendiri. Berbeda ketika mereka diimingi pundi-pundi jabatan dan duit mereka dengan sigap, lincah dan gesit menemukan solusi untuk masalah yang ada di luar dirinya. Bagaimana bisa para cendekiawan sekarang menjadi cendekiawan ketika diiming-imingi pundi-pundi harta dan materi, ilmu diamalkan karena ada imbalan didepannya. Kalau begini terus karamlah kapal.

Saat ini banyak universitas yang mempromosikan metode pengajarannya yang terbaik, bahkan ada yang memasang sebuah moto kuliah langsung kerja. Hal ini menggiring niat mahasiswa ingin menimba ilmu dilakukan untuk mendapatkan pekerjaan. Ya kalau pengen kerja memikirkan laba, kenapa tidak langsung kerja saja daripada membuang-buang waktu di kampus. Ingatlah ilmu itu lebih berharga dibanding kekayaan, pamor dan gebyarnya dunia. Mari kita kurangi pola pikir menimba ilmu untuk mendapatkan pekerjaan. Memang kita butuh karir atau pekerjaan namun janganlah terpatri bahwa ilmu itu untuk mendapatkan status karyawan pada perusahaan swasta maupun instansi pemerintah. Latihlah pola pikir kita dalam menimba ilmu untuk mengabdi ke Sang Pencipta, agar menambah iman dan ketakwaan kita ke sang pencipta melalui ciptaan dan fenomena alam yang tersebar di bumi ini.

Para pencari ilmu janganlah anti dengan pengetahuan di luar jurusan/fakultas yang diambil. Sejatinya semua jurusan itu memerlukan integrasi dengan multidisiplin ilmu lainnya. Bukannya universitas adalah bersifat universal tanpa sekat pemisah satu fakultas dan fakultas lainnya. Fakultas seni juga harus paham ekonomi, sosial, lingkungan dan sejarah agar kelak karyanya dapat membekas di pikiran dan jiwa mereka maupun audiensinya.

Konsep universitas telah ada sejak jaman dulu di salah satu negeri di timur tengah yaitu Baghdad. Ketika itu universitas disusun dengan konsep semua fakultas dapat terhubung satu sama lain. Universitas bagaikan ruangan yang besar dengan banyak pintu. dibanding dengan saat ini Universitas digiring seperti ruangan besar dengan satu pintu dan dalam ruangan tersebut banyak ruangan-ruangan yang memisahkan ruangan satu dan lain. Akibatnya interaksi pengetahuan dan ilmu disekat oleh ruangan fakultatif tersebut. Mahasiswa menjadi fokus pada nilai, lupa akan dinamika sosial yang ada, belajar hanya ketika ada tugas. Selain itu Universitas saat ini dalam menerima para pencari ilmu prosedurnya dipasrahkan kepada metode penyama rataan potensi para pencari ilmu. Jarang sekali ada universitas yang merekrut para pencari ilmunya berdasarkan bakat dan minat para pencari ilmu. Para pencari ilmu yang seharusnya berbakat di bidang tertentu akhirnya terpaksa menggantikan bakatnya menjadi tekad ketika harus masuk fakultas yang tidak dapat menempa bakat para pencari ilmu tersebut. Hal ini perlu diluruskan kembali dari paradigma mencari ilmu linier dengan harta kekayaan maupun jabatan. Agar tidak tersesat dalam hal pemilihan jalan hidup. Bagaimana caranya ? Kembali lagi kita ke jalan sunyi. Gali dan kenali masing-masing potensi kita. Ilmu apa yang dapat dengan mudah kita cerna dan kita jalani. Sesungguhnya hal itu sudah ada di diri kita masing-masing, dengan merenung dan menghitung-hitung kemampuan bakat yang ada, kita akan dapat mendapatkan jawaban tentang jati diri kita. Hindari menentukan jalan hidup mencari ilmu berdasarkan trend yang ada di keramaian dan dibentuk paksa di tengah masyarakat. Janganlah pandang ilmu itu dicari karena keren dan prestise ketika dibanggakan, bukan begitu. Namun carilah ilmu yang kelak dapat kamu amalkan dengan baik di dirimu dan di lingkungan sekitar mu kemudian dengan mengamalkannya makin menyadarkan diri kita, untuk semakin dekat ke Sang Pencipta

Sort:  

Ohh, gitu ya pak. Saya rasa tidak masalah, asalkan para peserta didik fokus membahagiakan orang tuanya, tujuan utamanya yang penting lulus, tidak perlu lebay cari IP, biji, nilai, dan juara. Jika mainsetnya membahagiakan orang tua bakal selamat, karena mendapat doa, diridhoi tuhan. Sementara ngalah dulu ngikuti sistem, manut dosen karena kalau terhanyut sistem yang sedang berlaku khawatirnya pikirannya kaku di bidangnya, angkuh, tidak mau kalah dengan keilmuannya, maunya ingin dipahami, dan cederung jadi tukang merendahkan orang, karena para peserta didik yang sudah baper dan terlena dengan sistem yang berlaku sekarang tidak diajari belajar "manusia", tidak diarahkan mengenal dirinya, dan tidak menyadarkan dirinya sebagai pemegang titah tuhan di alam, bukannya malah menjadi faktor memancar cahaya kebaikan di alam yang ada malah di paksa jadi faktor industri/bisnis/mesin golobalisasi.

Pada dasarnya sistem itu mencekoki manusia dengan software tertentu agar tidak menjadi manusia. Cara yang digunakan tidak ubahnya seperti pola doktrin. Dengan begitu ketika manusia tidak sadar sebagai manusia, mereka yang elit dengan mudah mengendalikan manusia di muka bumi ini.

Salah satu kengkuhan mahasiswa gitu pak. dapat pemahaman dikit aja langsung ingin menyaingi dosen, lupa kalau dia masih disubsidi orang tua. rebellion kok minta duit sama orang tua.

Pikiran mereka sudah diracuni sistem pendidikan autis pak. masa pelajaran moral, akhlak ujiannya ujian tulis pak. pelajaran agama dipersempit menjadi pelajaran syariat saja. Disipilin atribut ditingkatkan disiplin akhlak diperlonggar.