Politik Aceh (II:21)

in #indonesia6 years ago

Pada bab terakhir dalam buku ini, dibahas tentang perpolitikan di Aceh (siyasah syar'iyah). Politik telah dipraktikkan di Aceh sejak masuknya islam ke Aceh ditandai dengan adanya kerajaan islam.

Saa ini di Indonesia, Hanya Aceh yang memiliki partai lokal dan hanya Aceh pula yang memiliki rujukan di dalam melaksanakan tata pemerintahan. Sistem pengelolaan daerah atau nanggroe juga memiliki unsur pemerintahan yang berasal dari tradisi perpolitikan Aceh. Di samping itu, Aceh juga memiliki rujukan-rujukan bagaimana kekuasaan dijalankan. (hal 688)

Salah satu contoh politik yang dipraktikkan di Aceh adalah adanya gerakan DI/TII di bawah pimpinan Tgk. Daud Beureueh pada 21 September 1953. Gerakan ini merupakan titik balik kesadaran islam dan politik yang dipraktikkan orang Aceh. Dalam sejarah, gerakan ini dilakukan karena Aceh ingin memisahkan diri dari Indonesia untuk membentuk suatu negara Islam. Bagi orang Aceh, politik adalah sebagian dari agama yang mereka anut dan mereka berpegang teguh pada ajaran Islam. Tgk. Daud Beureueh mengatakan "barang siapa yang tidak menjalankan hukum yang ditentukan Allah, maka mereka itu termasuk golongan kafir" saat ingin memisahkan diri dengan Indonesia. Saat itu, pemerintah Indonesia bersikeras mempertahankan Aceh sebagai NKRI. Pemimpin DI/TII ditangkap dan beberapa pejuang DI/TII ada yang menjadi syuhada dan ada pula yang "tiarap", serta keluar dari Aceh menuju Malaysia. Kemudian, pihak pemerintahan datang ke Aceh untuk 'mengambil hati' rakyat Aceh dengan diberikan hak istimewa kepada Aceh.

image (sumber foto: wikipedia.com)

Tidak berhenti disitu, perlawanan rakyat Aceh untuk berpisah dengan Indonesia dilanjutkan oleh Tgk. Hasan Di Tiro dengan membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976. Perlawanan terus dilakukan, banyak darah pejuang yang ditumpahkan. Alhasil, GAM menerima tawaran damai dari pemerintah Republik Indonesia pada 15 Agustus 2005 dengan menandatangani perjanjian Helsinki.

Studi politik Aceh memiliki lanskap yang amat panjang, mulai dari abad ke-8 hingga abad ke-21 M. Dalam rentang waktu 13 abad lamanya, tanah Aceh menjadi saksi berbagai peristiwa politik berlaku. Dibalik itu juga, darah dan penderitaan rakyat Aceh juga telah memperkuat dugaan, tidak ada provinsi di Indonesia yang memiliki pengalaman kekerasan seperti yang pernah terjadi di Aceh. Karena itu, Acehnologi yang mempelajari politik Aceh akan memiliki khazanah kajian yang amat luar biasa banyaknya. Mozaik peradaban dan pemikiran yang muncul di Aceh tampaknya memiliki pondasi yang amat kuat untuk memperkenalkan ilmu politik Aceh. (hal 703)