Istanbul

in #indonesia5 years ago

“Kapan kita ke Konstantinopel lagi?” tanyamu waktu itu.
“Bagaimana kalau musim panas tahun ini?” pertanyaan yang sekaligus jawaban.
Lalu kulihat wajah sumringahmu menjelajahi internet, membuka segala situs yang berkaitan dengan Istanbul, kota impianmu itu.
“Mengapa kau selalu menyebut Konstantinopel bukan Istanbul?” tanyaku suatu hari.
“Kan kota itu dibangun oleh Raja Konstantin”
“Yang beragama Kristen” lanjutku.
“Justru itu, kota yang dibangun oleh Raja Kristen yang kini menjadi kota mayoritas kaum Muslim. Bukankah itu menakjubkan? Apa kau tahu ada kota yang dibangun oleh Raja Islam tapi sekarang dihuni mayoritas kaum Nasrani?”
“Hhmm, Granada, mungkin?” tanyaku tak yakin.
“Jika kau meniadakan sejarah sebelum Thariq bin Ziyad menyeberangi lautan dari Marokko ke Spanyol untuk meruntuhkan Raja Roderick, tentu saja kau benar” katamu menyunggingkan senyum tipis.
“Sebenarnya apa yang kau kagumi dari Istanbul?” tanyaku saat kita berdua duduk di pinggir selat Bosphorus.
“Kau lihat mesjid itu” tanyamu menunjuk Mesjid Sultan Suleyman di atas bukit.
“Ya”.
“Saat ini, kita berada di Eropa dan mesjid Suleyman yang terlihat jelas itu ada di Asia. Kau tahu ada kota lain di dunia ini yang mampu menopang dua benua?” tanyamu lagi.
Ah, mungkin memang demikianlah seorang terpelajar. Yang kau kagumi adalah makna. Di kehidupan yang serba materialis ini, sedikit sekali kutemui wanita yang tahu menghormati budaya, melek sejarah dan karenanya peduli pada masa depan. Sebagian besar tentu sibuk mengurusi perkakas-perkakas kasat mata. Siapa peduli ada kota yang menjadi tuan rumah bagi dua benua?
Haghia Sophia. Kita ke sana berkali-kali. Berkali-kali juga kulihat kau menyeka air mata.
“Bangunan ini saksi dari keserakahan manusia” katamu tanpa kutanya.
“Kau tahu berapa nyawa yang hilang karena mempertahankan gedung ini? Penguasa Kristen, Islam lalu Kristen dan seterusnya. Mereka semua merasa benar. Bagaimana mungkin dengan menumpahkan darah di bumi kau bisa menjadi tamu agung di langit?”
“Bukankah Nabi Muhammad pun berperang?” tanyaku.
“Ah, kan selama 13 tahun di Mekkah Nabi tak pernah berperang. Perang dilakukan setelah hijrah ke Madinah. Itu pun selesai pada saat penaklukkan Mekkah di tahun ke -8 hijriyah. Aku tak mengerti mengapa sekarang digembar-gemborkan slogan perang Badar seperti yang dilakukan Nabi. Padahal untuk sampai ke Badar Nabi harus kehilangan Khadijah dan Ali bin Abi Thalib. Nabi harus hijrah, berpisah dari kampung halaman. Nabi kehilangan segala-galanya baru mengumandangkan perang. Orang-orang yang katanya ingin perang Badar itu sudah kehilangan apa sampai harus berperang seperti Nabi?”
“Apa benar kita harus kehilangan dulu sebelum diperkenankan berperang?”
“Kalau kau belum pernah kehilangan, bagaimana mungkin kau tahu apa yang harus kau rebut? Apa kita semua harus membunuh hanya karena prasangka-prasangka belaka? Apa bedanya kita dengan para pangeran kerajaan Ottoman yang bersedia membunuh saudara-saudaranya sendiri karena syak wasangka akan dikudeta atau ingin mendapat takhta?”
“Kau lihat istana Topkapi? Betapa indahnya bangunan dan taman-tamannya, betapa tinggi menaranya. Tapi apa gunanya? Bahkan di depan istana itu bisa kau lihat manusia-manusia menadahkan tangan meminta bantuan untuk makan. Apa gunanya membangun keajaiban dunia sekalipun jika masih ada perut yang kelaparan? Nabi tak membangun istana. Abu Bakar, Usman, Umar dan Ali pun tidak. Lalu petunjuk dari siapa yang mereka ikuti?”
“Kau tak sependapat kalau Ottoman merupakan representasi dari kejayaan Islam?”
“Bagiku kejayaan Islam itu pada saat Nabi memimpin tanpa perlu mengikrarkan diri menjadi pemimpin. Ia dihormati bukan karena kekuasaan tapi karena sikap dan perilaku. Ia menyebut orang-orang di sekitarnya sahabat dan bukan pengikut. Ia adalah kekasih langit, hingga malaikat pun adalah tentaranya. Bagaimana mungkin ada masa kejayaan Islam yang lebih hebat dari itu semua?”
Aku hanya diam. Mungkin kau benar, kebanyakan manusia hanya mengukur tinggi menara atau besarnya bangunan. Tak ada yang peduli bagaimana psikologis masyarakat yang bisa dikatakan “jaya”. Tapi bukankah memang terlalu rumit mengukur kualitas sebuah komunitas? Jangankan mereka yang hidup ratusan tahun lalu, mengukur yang jelas-jelas kau lihat saat ini pun kau perlu kebijaksaan yang luar biasa.
Saat ini, kita di dalam ferry menuju pulau Princess, tempat pembuangan keluarga kerajaan sejak dari Bizantium hingga Ottoman. Saat pulau itu terlihat, aku lihat matamu berkaca-kaca. Mungkinkah kau menyukai Istanbul karena mengingatkanmu akan sejarah kebodohan dan kekejaman manusia hingga dengan demikian kau mampu bersyukur atas kehidupan yang kau miliki saat ini?

Sort:  

Congratulations @shally.novita! You received a personal award!

Happy Birthday! - You are on the Steem blockchain for 2 years!

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking

Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!