Latihan: Pancasila menjadi Dasar Nilai Pengembangan ilmu

in #kuliah4 years ago

Nama : Arief Maulana
NIM : 310119023391
Kelas : 27

SOAL

  1. Jelaskan Pilar-pilar Penyangga bagi Eksistensi Ilmu Pengetahuan
  2. Jelaskan Prinsip-prinsip berpikir ilmiah
  3. Jelaskan Peran nilai-nilai dalam setiap sila dalam Pancasila.
  4. Jelaskan beberapa kemungkinan relasi antara iptek dan nilai budaya, serta agama
  5. Jelaskan Konsep Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu
  6. Jelaskan perbedaan konsekwensi dari pengertian Pancasila sebagai pengembangan Ilmu
  7. Jela skan Sumber HISTORIS Pancasila sebagai Dasar Nilai Pengembangan Ilmu di Indonesia
  8. Jelaskan maksud PANCASILA sebagai blueprint dalam pernyataan SOEKARNO
  9. Jelaskan Argumen tentang Dinamika Pancasila sebagai Dasar Pengetahuan Ilmu
  10. Jelaskan Tantangan Pancasila sebagai Dasar Pengetahuan Ilmu
Selamat Bekerja, Semoga Sukses
Jawaban
  1. Pilar-pilar penyangga ilmu pengetahuan diantaranya:
    a. Ontologi
    Istilah ontologi, secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud, sedangkan logos berarti ilmu atau teori. Dengan demikian secara bahasa ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud, tentang hakikat yang ada. Dalam terminologisnya ontologi adalah kajian tentang hakikat segala sesuatu atau realitas yang yang memiliki sifat universal, untuk memahami adanya eksistensi. Dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka ontologi adalah kajian filosofis tentang hakikat keberadaan ilmu pengetahuan, apa dan bagaimana sebenarnya ilmu pengetahuan yang ada itu.
    Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Maka tiga pertanyaan dasar tadi kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi, dan salah satunya ialah; dimensi ontologis. Pertanyaan yang harus dijawab pada dimensi ini adalah: apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui, atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas. Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal nyata.
    Dalam kaitannya dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis, ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada hal yang sesuai dengan akal manusia.
    b. Epistemologi
    Epistemologi membahas secara mendalam proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnua (validitasnya) pengetahuan. Pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui?”.
    M. Arifin merinci ruang lingkup epistemologi, meliputi hakikat, sumber dan validitas pengetahuan. Mudlor Achmad merinci menjadi enam aspek, yaitu hakikat, unsur, macam, tumpuan, batas, dan sasaran pengetahuan. Bahkan, A.M Saefuddin menyebutkan, bahwa epistemologi mencakup pertanyaan yang harus dijawab, apakah ilmu itu, dari mana asalnya, apa sumbernya, apa hakikatnya, bagaimana membangun ilmu yang tepat dan benar, apa kebenaran itu, mungkinkah kita mencapai ilmu yang benar, apa yang dapat kita ketahui, dan sampai dimanakah batasannya. Semua pertanyaan itu dapat diringkas menjadi dua masalah pokok; masalah sumber ilmu dan masalah benarnya ilmu.
    Jadi meskipun epistemologi itu merupakan sub sistem filsafat, tetapi cakupannya luas sekali. Jika kita memadukan rincian aspek-aspek epistemologi, maka teori pengetahuan bisa meliputi hakikat, keaslian, sumber, struktur, metode, validitas, unsur, macam, tumpuan, batas, sasaran, dasar, pengandaian, kodrat, pertanggungjawaban dan ruang lingkup pengetahuan. Bahkan menurut Sidi Gazalba, taklid kepada pengetahuan atas kewibawaan orang yang memberikannya termasuk epistemologi, sekalipun ia sebenarnya merupakan doktrin tentang psikologi kepercayaan. Jelasnya, seluruh permasalahan yang berkaitan dengan pengetahuan adalah menjadi cakupan epistemologi.
    Epistemologi senantiasa “mengawali” dimensi-dimensi lainnya, terutama ketika dimensi-dimensi itu dicoba untuk digali. Kenyataan ini kembali mempertegas, bahwa antara epistemologi selalu berkaitan dengan ontologi dan aksiologi, melainkan bisa juga sebaliknya, ontologi dan aksiologi serta dimensi lainnya, seperti psikologi selalu diiringi oleh epistemologi.
    c. Aksiologi
    Secara formal aksiologi baru muncul pada pertengahan abad 19. Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios yang bararti nilai dan logos berarti teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Menurut kamus Bahasa Indonesia, aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
    Sebelumnya telah kita kaji di dalam aspek ontologi, bahwa ilmu bertujuan untuk memudahkan manusia dalam mengatasi berbagai permasalahan hidupnya. Namun apakah dalam kenyataannya ilmu selalu merupakan berkah, terbebas dari kutukan, dan tidak membawa malapetaka bagi umat manusia? Aksiologi ini dipergunakan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan “mengapa”. Misalnya: mengapa pengetahuan yang berupa ilmu itu diperlukan? Mengapa pemanfaatan ilmu pengetahuan itu perlu memperhatikan kaidah-kaidah moral? Semuanya menunjukkan bahwa aksiologi diperuntukkan dalam kaitannya untuk mengkaji tentang kegunaan, alasan, dan manfaat ilmu itu sendiri. Dalam sejarah lahirnya, aksiologi ini muncul belakangan dan menjadi perbincangan yang hangat, khususnya setelah terjadinya Perang Dunia II dimana kemajuan ilmu dan teknologi tampak digunakan secara kurang terkontrol.
  2. Prinsip dalam berpikir ilmiah:
    a. Merumuskan masalah
    Berpikir ilmiah melalui metode ilmiah didahului dengan kesadaran akan adanya masalah. Permasalahan ini kemudian harus dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya. Dengan penggunaan kalimat tanya diharapkan akan memudahkan orang yang melakukan metode ilmiah untuk mengumpulkan data yang dibutuhkannya, menganalisis data tersebut, kemudian menyimpulkannya. Perumusan masalah adalah sebuah keharusan. Bagaimana mungkin memecahkan masalah sebuah permasalahan dengan mencari jawabannya bila masalahnya sendiri belum dirumuskan?
    b. Merumuskan hipotesis
    Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah yang masih memerlukan pembuktian berdasarkan data yang telah dianalisis. Dalam metode ilmiah dan proses berpikir ilmiah, perumusan hipotesis sangat penting. Rumusan hipotesis yang jelas dapat membantu mengarahkan pada proses selanjutnya dalam metode ilmiah. Seringkali pada saat melakukan penelitian, seorang peneliti merasa semua data sangat penting. Oleh karena itu melalui rumusan hipotesis yang baik akan memudahkan peneliti untuk mengumpulkan data yang benar-benar dibutuhkannya. Hal ini dikarenakan berpikkir ilmiah dilakukan hanya untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan.
    c. Mengumpulkan data
    Pengumpulan data merupakan tahapan yang agak berbeda dari tahapan-tahapan sebelumnya dalam metode ilmiah. Pengumpulan data dilakukan di lapangan. Seorang peneliti yang sedang menerapkan metode ilmiah perlu mengumpulkan data berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskan. Pengumpulan data memiliki peran penting dalam metode ilmiah, sebab berkaitan dengan pengujian hipotesis. Diterima atau ditolaknya sebuah hipotesis akan bergantung pada data yang dikumpulkan.
    d. Menguji hipotesis
    Sudah disebutkan sebelumnya bahwa hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang telah diajukan. Berpikir ilmiah pada hakekatnya merupakan sebuah proses pengujian hipotesis. Dalam kegiatan atau langkah menguji hipotesis, peneliti tidak membenarkan atau menyalahkan hipotesis, namun menerima atau menolak hipotesis tersebut. Karena itu, sebelum pengujian hipotesis dilakukan, peneliti harus terlebih dahulu menetapkan taraf signifikansinya. Semakin tinggi taraf signifikansinya yang ditetapkan maka semakin tinggi pula derajat kepercayaan terhadap hasil suatu penelitian. Hal ini dimaklumi karena taraf signifikansi berhubungan dengan ambang batas kesalahan suatu pengujian hipotesis itu sendiri.
    e. Merumuskan kesimpulan
    Langkah paling akhir dalam berpikir ilmiah pada sebuah metode ilmiah adalah kegiatan perumusan kesimpulan. Rumusan kesimpulan harus bersesuaian dengan masalah yang telah diajukan sebelumnya. Kesimpulan atau simpulan ditulis dalam bentuk kalimat deklaratif secara singkat tetapi jelas. Harus dihindarkan untuk menulis data-data yang tidak relevan dengan masalah yang diajukan, walaupun dianggap cukup penting. Ini perlu ditekankan karena banyak peneliti terkecoh dengan temuan yang dianggapnya penting, walaupun pada hakikatnya tidak relevan dengan rumusan masalah yang diajukan.
  3. Penjabaran sila-sila Pancasila dikemukakan Jacob sebagai berikut:
    a. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, melengkapi ilmu pengetahuan dengan menciptakan keseimbangan antara yang irasional dan rasional, antara rasa dan akal. Sila pertama menempatkan manusia dalam alam semesta sebagai bagiannya, bukan sebagai pusat dan tujuan, serta menuntut tanggung jawab sosial dan intergenerasional dari ilmuan dan teknologi.
    b. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, memberi arah dan mengendalikan ilmu pengetahuan. Ilmu dikembalikan pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusian.
    c. Sila Persatuan Indonesia, melengkapi universalisme dan internasionalisme dalam sila-sila yang lain sehingga supra-sistem tidak mengabaikan sistem dan subsistem di bawahnya. Aspek universal dan local harus dapat hidup secara harmonis dengan tidak saling merugikan.
    d. Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, mengimbangi autodinamika iptek, serta mencegah teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Percobaan, penerapan, dan penyebaran ilmu pengetahuan harus mencerminkan semangat demokratis dan perwakilan rakyat harus dapat memusyawarahkannya sejak dari kebijakan penelitian sampai ke penerapan massal hasil-hasilnya.
    e. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan Aristoteles (distributive, legalis, dan komutatif) dalam pengembangan, pengajaran, dan penerapan iptek. Keadilan sosial juga menjaga keseimbangan antara individu dan masyarakat.
  4. Relasi antara iptek dan nilai budaya, serta agama dapat ditandai dengan beberapa kemungkinan sebagai berikut. Pertama, iptek yang gayut dengan nilai budaya dan agama sehingga pengembangan iptek harus senantiasa didasarkan atas sikap human-religius. Kedua, iptek yang lepas sama sekali dari norma budaya dan agama sehingga terjadi sekularisasi yang berakibat pada kemajuan iptek tanpa dikawal dan diwarnai nilai human-religius. Ketiga, iptek yang menempatkan nilai agama dan budaya sebagai mitra dialog di saat diperlukan.
  5. Pengertian Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu dapat mengacu pada beberapa jenis pemahaman. Pertama, bahwa setiap ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang di Indonesia haruslah tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kedua, bahwa setiap iptek yang dikembangkan di Indonesia harus menyertakan nilai-nilai Pancasila sebagai faktor internal pengembangan iptek itu sendiri. Ketiga, bahwa nilai-nilai Pancasila berperan sebagai rambu normatif bagi pengembangan iptek di Indonesia, artinya mampu mengendalikan iptek agar tidak keluar dari cara berpikir dan cara bertindak bangsa Indonesia. Keempat, bahwa setiap pengembangan iptek harus berakar dari budaya dan ideologi bangsa Indonesia sendiri atau yang lebih dikenal dengan istilah indegensi ilmu (mempribumikan ilmu).
  6. Keempat pengertian Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu mengandung konsekuensi yang berbeda-beda. Pengertian pertama mengandung asumsi bahwa iptek itu sendiri berkembang secara otonom, kemudian dalam perjalanannya dilakukan adaptasi dengan nilai-nilai Pancasila.
    Pengertian kedua mengandaikan bahwa sejak awal pengembangan iptek sudah harus melibatkan nilai-nilai Pancasila. Namun, keterlibatan nilai-nilai Pancasila ada dalam posisi tarik ulur, artinya ilmuan dapat mempertimbangkan sebatas yang mereka anggap layak untuk dilibatkan.
    Pengertian ketiga mengasumsikan bahwa ada aturan main yang harus disepakati oleh para ilmuwan sebelum ilmu itu dikembangkan. Namun, tidak ada jaminan bahwa aturan main itu akan terus ditaati dalam perjalanan pengembangan iptek itu sendiri. Sebab ketika iptek terus berkembang, aturan main seharusnya terus mengawal dan membayangi agar tidak terjadi kesenjangan antara pengembangan iptek dan aturan main.
    Pengertian keempat mengandaikan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai dasar nilai pengembangan ilmu, tetapi sudah menjadi paradigma ilmu yang berkembang di Indonesia.
  7. Sumber historis Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu di Indonesia dapat ditelusuri pada awalnya dalam dokumen negara, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” pada alinea keempat mengacu pada pengembangan iptek melalui Pendidikan. Amanat dalam Pembukaan UUD 1945 yang terkait dengan mencerdaskan kehidupan bangsa itu haruslah berdasar kepada nilai-nilai Pancasila.
    Pancasila sebagai dasar pengembangan ilmu belum banyak dibicarakan pada awal kemerdekaan. Hal ini karena para pendiri negara yang juga termasuk cerdik cendekia atau intelektual bangsa pada masa itu mencurahkan tenaga dan pemikirannya untuk membangun bangsa dan negara. Mereka merangkap sebagai pejuang bangsa masih disibukkan pada upaya pembenahan dan penataaan negara yang baru saja terbebas dari penjajahan.
    Soekarno dalam rangkaian kuliah umum Pancasila Dasar Falsafat Negara pada 26 Juni 1958 sampai 1 Februari 1959, selalu menyinggung perlunya setiap sila Pancasila dijadikan blueprint bagi setiap pemikiran dan tindakan bangsa Indonesia karena jika tidak, akan terjadi kemunduran dalam pencapaian keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
    Pancasila sebagai dasar nilai pengembanga ilmu baru dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak sekitar 1980-an, terutama perguruan tinggi yang mencetak kaum intelektual.
    Konsep Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu pernah dikemukakan oleh Prof. Notonagoro yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan pegangan dan pedoman dalam usaha ilmu pengetahuan untuk dipergunakan sebagai asas dan pendirian hidup, sebagai suatu pangkal sudut pandang dari subjek ilmu pengetahuan dan juga menjadi objek ilmu pengetahuan atau hal yang diselidiki.
  8. Pancasila sebagai blueprint dalam pernyataan Soekarno kurang lebih mengandung pengertian yang sama dengan Pancasila dasar nilai pengembangan iptek karena sila-sila Pancasila sebagai cetak biru harus masuk ke dalam seluruh rencana pemikiran dan tindakan bangsa Indonesia.
  9. Pancasila sebagai pengembangan ilmu belum dibicarakan secara ekplisit oleh para penyelenggara negara sejak Orde Lama sampai era Reformasi. Kajian tentang Pancasila sebagai dasar pengetahuan ilmu baru mendapat perhatian yang lebih khusus dan eksplisit oleh kaum intelektual di beberapa perguruan tinggi, khususnya Universitas Gadjah Mada yang menyelenggarakan Seminar Nasional tentang Pancasila sebagai pengembangan ilmu, 1987 dan Simposium dan Sarasehan Nasional tentang Pancasila sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Pembangunan Nasional, 2006. Namun pada kurun waktu akhir-akhir ini, belum adda lagi suatu upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kaitan dengan pengembangan iptek di Indonesia
  10. Tantangan Pancasila sebagai dasar pengetahuan ilmu antara lain:
    a. Kapitalisme yang menguasai perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Akibatnya, ruang bagi penerapan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar pengetahuan ilmu menjadi terbatas. Upaya bagi pengembangan sistem ekonomi Pancasila pernah dirintis Prof. Mubyanto pada 1980-an belum menemukan wujud nyata yang dapat diandalkan untuk menangkal dan menyaingi sistem ekonomi yang berorientasi pada pemilik modal besar.
    b. Globalisasi yang menyebabkan lemahnya dasa saing bangsa Indonesia dalam pengembangan iptek sehingga Indonesia lebih berkedudukan sebagai konsumen daripada produsen dibandingkan dengan negara-negara lain.
    c. Konsumerisme menyebabkan negara Indonesia menjadi pasar bagi produk teknologi negara lain yang lebih maju ipteknya. Pancasila sebagai pengembangan ilmu baru pada taraf wacana yang belum berada pada tingkat aplikasi kebijakan negara.
    d. Pragmatism yang berorientasi pada tiga ciri, yaitu: workability (keberhasilan), satisfaction (kepuasan), dan result (hasil) mewarnai perilaku kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.

sumber: Ebook Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi

Sort:  

Congratulations @ariefm! You have completed the following achievement on the Hive blockchain and have been rewarded with new badge(s) :

You received more than 50 upvotes. Your next target is to reach 100 upvotes.

You can view your badges on your board And compare to others on the Ranking
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

To support your work, I also upvoted your post!

Support the HiveBuzz project. Vote for our proposal!

!sbi status