1, 2, 3, 4, 5, ... Mengapa Tidak?!


Pertumbuhan penduduk di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun berdasarkan berita harian Kompas.com pada 29 September 2015. Tingginya angka kelahiran per tahun di negeri ini setara dengan jumlah penduduk Singapura. Dimana beberapa daerah penyumbang terbesar diantaranya adalah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Riau. Demikian juga halnya di Aceh. Sebagaimana di laman berita Acehportal.com pada tahun 2016, mantan gubernur Aceh Zaini Abdullah menyebutkan kekhawatirannya dalam acara pelantikan kepala perwakilan BKKBN Aceh terhadap laju pertumbuhan yang cenderung meningkat di Aceh. Menurutnya, fenomena ini berhasil ditekan oleh pemerintah nasional terutama di era 80-an sampai 2000 melalui pengkampanyean program keluarga berencana. Namun sudah tidak lagi terlihat berhasil pasca tahun 2000. Dimana program ini dinilai sudah melemah dan bahkan terabaikan di beberapa daerah. Sehingga upaya pengendalian laju pertumbuhanpun mengalami stagnan.
Laju pertumbuhan yang terus mengalami inflasi itu, tentu akan menuntut pula banyaknya kebutuhan yang harus disediakan. Seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. Kebutuhan yang terus melejit ini bisa membuat keseimbangan ekosistem terganggu. Sebab kebutuhan sumberdaya alam baik yang berasal dari darat dan laut akan terus mengalami peningkatan. Dan belum lagi persoalan konservasi terhadap sumber daya alam yang begitu minim.
Adapun dampak yang akan ditimbulkan akibat meningkatnya kebutuhan tersebut diantaranya seperti terjadinya kerusakan di darat dan di laut akibat pengelolaan sumber daya alam yang tidak bijak, krisis pangan, konflik lahan, pengangguran, kemiskinan, tingkat kriminalitas yang tinggi, belum lagi korupsi, kenakalan remaja, aborsi dan sebagainya.
Kekhawatiran banyak pihak terhadap fenomena ini terutama pemerintah sebenarnya sangat beralasan dan logis, mengingat beberapa dampak di atas. Sebab kerusakan alam dan ketimpangan sosial saat ini sudah bukan lagi menjadi pemandangan yang langka dan tabu. Belum lagi karena pemerintah kita seolah malas mengurusi generasi yang terus bermunculan itu. Pekerjaan akan semakin banyak serta semakin banyak penduduk, maka semakin banyak pula persaingan untuk merebut kekuasaan. Ini adalah spekulasi. Jelas tidak semua pemerintah akan demikian. Namun tampaknya jumlah mereka sedikit yang ingin menggiring bangsa ini menjadi lebih maju. Namun setidaknya, itu adalah gambaran umum yang menimbulkan keberatan hati bagi kita menepisnya. Sebab demikianlah fakta hari ini terlihat. Lalu bagaimana keadaan negeri ini di masa selanjutnya. Dalam menyambut generasi baru yang terus berdatangan itu, apakah kita selaku masyarakat dan bangsa siap?
Jika demikian bagi pemerintah, maka tampaknya tidak begitu bagi masyarakat secara umum. Program keluarga berencana yang awalnya dianggap berhasil dalam menekan laju pertumbuhan penduduk sebagaimana ucapan mantan gubenur Aceh Zaini Abdullah dalam sambutannya pada acara pelantikan ketua perwakilan BKKBN pada tahun 2016 itu, kini seolah terabaikan. Dimana pengabaian itu tentu dipelopori oleh berbagai alasan, seperti dalil agama dan kesadaran masyarakat itu sendiri yang benar-benar sudah berkurang kadar kepahamannya tentang program keluarga berencana. Selain sosialisai yang dilakukan oleh pemerintahpun sudah tidak lagi maksimal dan totalitas. Entah apa yang menghambat pemerintah kita dalam hal tersebut.
Menurut penulis, persoalan laju pertumbuhan penduduk yang terus mengalami peningkatan itu bukanlah sebuah persoalan. Itu tentu bukan momok yang menakutkan. Tidak adil dan tidak bijak rasanya jika kita hanya mau melihat tentang dampak buruk yang akan ditimbulkan untuk negara dan bangsa kita. Angka kelahiran tidak perlu ditekan, karena solusinya adalah dengan menciptakan setiap generasi yang lahir itu menjadi generasi baja dan besi. Diamana setiap kelahiran bayi semestinya disambut dengan persiapan pembentukan kualitas mereka yang terencana dan matang. Dan tentu itu akan menjadi tanggung jawab dari setiap lapisan masyarakat kita. Mulai dari pemerintah, sampai masyarakat akar rumput (grash root).
Sebagaimana beberapa pertanyaan ini, siapa yang tidak tahu tentang bangsa kita ini? Dimana ada negara atau bangsa yang tidak mengakui keluasan bumi pertiwi tempat kita tinggal dan hidup ini? Dimana ada negara dan bangsa yang bisa membantah kekayaan alam yang melimpah ruah yang kita sebut sebagai Indonesia ini? siapa yang sanggup menepis suburnya tanah kita, hingga kayu dan batu yang dilemparpun bisa menjadi tanaman? siapa yang tidak mengakui keragaman budaya dan bahasa yang kita miliki sehingga keragaman itu menjadi salah satu identitas yang tersemat pada kita orang Indonesia?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan itu, lalu apa yang membuat kita takut menjadi miskin dan menjadi bangsa yang tidak dianggap? Bukankah semua hal di atas adalah kekuatan kita? Bukankah itu semua menjadikan bangsa lain bernafsu sekali ingin menguasai negeri kita, hingga tak terlupakan oleh kita bagaimana para penjajah itu tak lagi mau pulang ke negara-negara mereka? Mereka larut dan kagum pada bumi kita. Hingga ingin tinggal dan menguasai Indonesia. Maka dengan terus bertambahnya jumlah penduduk, tentu akan menambah sumber kekuatan kita lagi. Dengan syarat, pembentukan kualitas masyarakat menjadi fokus terdepan dan terutama di negeri ini.
Mulai dari diri sendiri, dimana keadilan, tanggung jawab, jujur, patriotis, nasionalis, peduli, dan sebagainya kita terapkan secara tegas dan konsisten. Lalu di dalam keluarga, lalu di kelurahan, lalu di tingkat desa, lalu di kecamatan, lalu di tingkat kota dan kabupaten, lalu ke tinggat provinsi hingga berlanjut ke tingkat nasional. Jika karakter itu sudah sangat matang pada kepribadian setiap kita, maka tentu kapanpun kita akan siap menyambut setiap angka kelahiran yang “katanya” setiap tahun mengalami infla itu. Maka kuncinya adalah kita, dan syaratnya adalah konsisten dan kemauan menanggalkan egosentris kita, dan juga nafsu untuk memperkaya diri sendiri, memperhebat diri sendiri, untuk tujuan bersama. Kehebatan bersama, kuat bersama, jaya bersama adalah tujuan kita!