Filosofi Rindu "Hidup Menjadi Pembunuh"

in #new6 years ago (edited)

hidup.jpg
Bagai embun yang menyirami tanah disubuh hari

memberikan energi kepada bumi

tak terlihat tapi ada

sebuah tujuan nun jauh dari harapan, menjadikan pilu sebagai pembukanya

bukan sekedar harapan yang menjadi kata

tapi realita yang tak berkesudahan.

.

Sabir yang telah memutuskan untuk menjadi seorang santri dan belajar di pesantren semakin cinta dengan pilihannya dia bahkan tidak mau kuliah tahun berikutnya tapi dia mulai mengintai pesantren-pesantren besar untuk melanjutkan pengajian, cita-cita menjadi dokter sudah di kuburnya dalam-dalam dari sanubarinya. Dia berniat mengaji ke kota sebelah dan menjadi orang yang berguna nanti ketika dia sudah selesai pendidikan. Dan target itu di pikirkan nya jauh sebelum tahun penerimaan santri baru.

Dengan tekad yang besar, sabir mendapatkan rangking 1 di pesantren tempat dia mengaji dan dia bisa menyaingi teman-teman nya yang telah lama mengaji disana. Bahkan teman-temannya banyak yang mengulangi pelajaran kepadanya. Ada sebuah kebiasaan di pesantren yang mana jika ingin berhasil dan sukses dalam mengaji harus rajin mengulang bahkan sampai tengah malam bergelimang dengan illmu sehingga tidak ada waktu untuk berpikir yang diluar dari pelajaran.

Sabir mempunyai teman yang sangat dekat yaitu : ahmad, harun dan kardi. Sikardi lebih kecil 2 tahun dari mereka berdua.

Pada suatu hari mereka akan pergi ke desa istri dari ustad Rasyid pimpinan pesantren mereka karena ada acara maulid nabi disana dan dengan perasaan senang yang luar biasa mereka berangkat sore harinya menggunakan sepeda motor dan sampai kesana pada malam hari karena desa tersebut lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Sampai disana mereka merasa di perhatikan karena keramahan warga disana dan juga keindahan desa itu membutakan rasa sedih dihati mereka dan juga bisa libur ngaji. Hehehe… dan itu merupakan perasaan yang luar biasa senangnya, dua hari mereka disana dan mereka juga menyempatkan diri kepantai untuk melihat keindahan ciptaan Tuhan, luar biasa pemandangan pantai disana ketika subuh, seolah-olah Tuhan ingin menceritakan bahwa dibawah laut sana ada kehidupan yang perlu untuk kami lihat, Sabir Nampak semangat ingin menyelam tapi apalah daya dia hanya mengenakan kain sarung dan berbaju kemeja dan memakai kupiah ala santri. Acara maulid sungguh luar biasa indahnya, ada beberapa desa yang ikut serta dan itu acara yang sangat meriah, semua warga berkumpul disana menyaksikan kumandang shalawat yang didendangkan khafilah-khafilah kampung.

Sorenya mereka bergegas meninggalkan desa tersebut dan berpamitan kepada ustad Rasyid.

Sesampainya di pesantren mereka lelah dan ingin istirahat, tapi melihat dari celah kamar di kelas sebelah tidak ada yang mengajar karena ustazah yang tidak bisa hadir malam itu. Dengan rasa senang Sabir pergi mengajari santri-santri tersebut dan bercerita pengalaman dia dua hari yang lalu di desa sebelah. Setelah pengajian selesai Sabir duduk dikantin dan minum susu disana. “Hari yang melelahkan sekaligus menyenangkan” Batinnya.


Niat yang besar ternyata tak sampai disitu saja cobaannya, sabir yang menginginkan jadi dokter sekali lagi menanyakan kepastian kepada ayahnya, dia ingin memastikan sebelum dia benar-benar mengubur cita-cita nya dari kecil itu. Apakah ada kesempatan untuk dia menjadi dokter atau memang tidak ada sama sekali. Selepas dhuhur dia pulang kerumah dan makan siang bersama, ada ayahnya, ibunya, adek nya, dan abang sepupunya. Selesai makan, sabir mulai membuka pembicaraan.

Sabir : “yah, saya nanti akan kuliah dikedokteran”

Ayah : kenapa mau sekali kuliah dikedokteran?

Sabir : karena saya melihat ini adalah peluang, juga merupakan ibadah nantinya jika saya bisa memberikan kepuasan kepada masyarakat.

Ayah : kamu harus tau, ayah sudah sering mengikuti seminar tentang kedokteran, mereka mempunyai prinsip, siapa yang banyak membunuh orang dengan operasi dan sebagainya akan menjadikan professional, rugi dong ayah menyekolahkan kamu hanya untuk menjadi pembunuh…

Sabir merasa sakit sekali mendengar kata-kata tersebut, ternyata selama ini bercita-cita menjadi pembunuh, ternyata selama ini dia telah merugikan ayahnya karena cita-cita nya tersebut.

Ayah : didalam ruang operasi, mereka menghidupkan music yang keras dan memulai operasi bahkan banyak dari orang-orang yang dioperasi hanya sebagai bahan praktek, ayah ingin kamu menjadi anak yang berguna.

Sakit hati sabir mendengar kata-kata ayahnya barusan tanpa ada Tanya jawab, langsung memutuskan sebelah pihak.

Ayah : kalau orang yang tidak ada pendidikan, sakit hati dia mendengar kata-kata ayah tadi.

Sabir tidak tau lagi harus bagaimana menyikapi perkataan ayah nya tersebut, kalau sempat dia terbawa perasaan dia akan di cap bodoh. Apalah daya Sabir hanya seorang yang punya tekad dan keinginan, benar bahwa dia harus mengubur harapannya sedalam-dalamnya, menjadi dokter bukanlah cita-citanya lagi, dia akan terus mengaji sampai benar-benar jadi ustad

Sort:  

Kami sudah upvote yah..