Bermula dari Canda Biasa (Shakespearean Crown Sonnet)

in #poetry5 years ago

screen-shot-2011-06-21-at-10-23-36-pm.png



Sonnet adalah bentuk puisi klasik populer yang berasal dari Italia (sonetto), dengan pola tuang berupa stanza 14 baris, mempunyai struktur terukur (lima ketukan per baris) dan berima/bersajak dengan skema yang ketat.

Ada dua jenis sonnet arusutama tradisional: Petrarchan dan Shakespearean.

Di sini kita membahas Shakespearean sonnet.

Aturan penulisan Shakespearean sonnet (atau disebut juga sonnet Inggris), adalah: tiga kuatrain (stanza 4 baris) dan satu kopel (stanza 2 baris) dengan skema sajak: abab, cdcd, efef, gg. Kopel memainkan peran penting sebagai kesimpulan, penekanan , atau bahkan sanggahan dari tiga bait sebelumnya.

Sonnet yang ditulis berkelompok berupa rangkaian berkait beberapa sonnet disebut sonnet sequence. Masing-masing sonnet biasanya diberi nomor urut sebagai penanda. Jika baris terakhir kopel sonnet terakhir merupakan baris pertama sonnet awal, maka disebut sonnet circle (daur sonnet).

Salah satu daur sonnet yang istimewa adalah yang disebut sebagai crown sonnet/sonnet corona (sonnet mahkota). Crown sonnet terdiri dari lingkaran 7 (tujuh) sonnet, baris terakhir sonnet menjadi baris awal sonnet berikutnya. Rangkaian sonnet ditutup oleh baris satu sonnet pertama.

Berikut sebuah shakespearean crown sonnet karya penulis.

Bermula dari Canda Biasa

oleh Ikhwanul Halim

(1)

bermula dari canda biasa
jemari kita bersentuhan,
arus listrik menyentak di dada;
rasanya aku terjatuh, pingsan

kutahu kau sandang reputasi,
perayu ulung bukan sekadar-
gelar kosong, tapi tlah terbukti,
kau ada, maka gosip beredar.

ku selalu dan selalu dengar
celoteh gadis sebut namamu
dirimu bagi mereka: pacar
ku tak sudi dibakar cemburu

hati yang kau remukkan, berapa?
mengigau namamu, selamanya.

(2)

mengigau namamu, selamanya
seperti lantunan mantra magis
jauhlah dariku, pindah kota,
jangan jadikan taruhan iblis

pergilah jauh, jangan kembali
biar ku lupa, kau pernah ada.
air mata yang turun di pipi?
satu sapuan, mengering sirna

ah, masih adakah yang menitik?
biar, tertutup rambut menjulai
melambai, dalam dada tercabik
tadi setitik, menganak sungai

masih terus mengalir, membanjir,
bayangmu tak pudar: ada, hadir.

(3)

bayangmu tak pudar: ada, hadir
penuhi relung, mengisi ruang
kau bawa daku ke titik nadir,
racau namamu berulang-ulang

o, kau buat segala merana!
tidur gelisah makanpun susah,
antara tidurku dan terjaga-
ku sebut namamu—bisik desah.

memandang kaki langit, langkahmu
berhembus angin barat, terpana—
senja yang turun di hutan bambu
kau mainkan suling ocarina.

maka ku tulis stanza berbaris
soneta lama: puisi liris

(4)

soneta lama: puisi liris,
kujadikan lagu duka lara
tangga nada di kanvas; melukis
hati yang telah tertipu cinta—

bukan, aku membohongi diri
siapa aku, tolak pesona?
seharusnya jujur pada hati
ketika getar merasuk sukma.

apakah terlambat? tanya hati
jangan membayang yang tidak-tidak
bisik renjana yang tak henti,
mendaras namamu rima detak

rindukan aku, aku merindu
kembalilah, aku kan menunggu.

(5)

kembalilah, aku kan menunggu.
meski terik mentari membakar
biarkan hujan badai menderu
aku di sini menanti, sabar

aku masih berdiri, menanti
berteman siang berkalang bintang
ramai yang lalu, ku tak peduli!
ku bahagia menanti, sayang

mungkin kakiku telah mengakar
tertanam di bumi, tak bergerak
terbelit sulur semak belukar,
kokoh berharap suatu kelak—

saat bayangmu menjelma hadir
stanza soneta sebagai takdir

(6)

stanza soneta sebagai takdir;
membawa mimpi semasa kecil
kau dan aku, minum teh secangkir,
bercengkerama di bawah kandil.

secangkir teh, habiskan berdua
pintar berkisah, mengalir lepas
aku terkikik mengumbar tawa
mungkin pertanda bukan berkelas

ceritakan tentang cita-cita
membumbung terbang tinggi ke langit
katamu kan mengajakku serta
mengambil sepotong bulan sabit

o, bulan sabit yang terselubung—
awan kelabu pembawa mendung!

(7)

awan kelabu pembawa mendung!
sadarkah, sudah tujuh purnama
aku menanti, jubah kerudung—
lapuk koyak diterpa cuaca?

masih menanti, ketika bayang
menjadi nyata di ujung jalan—
kau! akhirnya kembali pulang
kau berlari, aku rebah pingsan

lorong cahaya, butakan mata
o, ibu! ulurkan lah tanganmu,
satu suara menahan jiwa
mata terbuka, jumpa rupamu.

wajahmu begitu dekat, nyata
bermula dari canda biasa



Bandung, 19 Desember 2015

Image source