Dungu karena Ilmu, Pengetahuan, dan Teknologi

in #sosial5 years ago

Alangkah baiknya mereka menemani ibunya belanja ke pasar, menghadiri kumpulan acara keagamaan runitan warga di kampungnya, dan bantu-bantu acara hajatan warga. Alangkah baiknya mereka fokus mengurusi rumah tangganya, bersih-bersih rumah, dan mengawasi pergaulan anak-anaknya. Alangkah baiknya mereka menghabiskan masa tuanya bersama cucu-cucunya, menyiapkan diri ketika dikunjungi anak-anaknya yang sudah berumah tangga, ngomel-ngomel sendiri tanpa audien yang jelas yang merupakan fenomena wajar bagi orang yang talah lanjut usia, dan meningkatkan intensitas ritual keagamaan. Semua itu contoh kesibukan hidup yang jelas yang tidak terlalu membutuhkan ketajaman pikiran, kekuatan jiwa, dan jauh dari mekanisme pencapaian prestise dan bahkan tidak ada hubungannya sama sekali. Semua itu bukanlah hal-hal yang dianggap stagnasi ataupun kemunduran, terlalu dangkal menilai semua itu sebagai kemunduran. Semua itu merupakan cara hidup dalam kesederhanaan yang wajar dan luhur yang tidak berpotensi mengancam koordinat dirinya sebagai manusia.

Tuhan menawarkan drajat yang tinggi kepada manusia berupa ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Keinginan untuk menjadi individu yang memiliki drajat tinggi itu baik bahkan peradaban manapun sangat menganjurkan hal ini. Penguasaan ilmu, pengetahuan, dan teknologi merupakan sarana yang mampu mendongkrak drajat individu. Pada dasarnya ilmu, pengetahuaan, dan teknologi merupakan hukum atau aturan tuhan yang sedang berlangsung di alam ciptaanNya sebagai salah satu bentuk tajali-Nya kepada mahluknya. Sepertinya menjadi keberuntungan manusia memiliki kecenderungan untuk ingin tahu hal-hal. Mungkin saja kecenderungan ini merupakan salah satu bentuk naluri manusia ingin mencari tuhan. Sifat keingintahuan manusia seolah-olah gerbang masuk kota ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Gerbang ini sangat besar dan mudah dibuka oleh manusia. Mereka sangat antusias memasuki kota itu. Namun tidak banyak yang sadar apa yang harus dipersiapkan saat masuk kota ini.

Ibaratnya kota ini merupakan kota ilmu yang memiliki kondisi udara yang khas, sedangkan tidak semua orang kompatibel dengan kondisi udara kota itu. Kebanyakan jiwa manusia tidak memiliki kemampuan untuk bertahan dengan kondisi udara yang ada di kota itu. Perlu kemampuan khusus untuk bertahan dari udara kota itu. Kemampuan ini tidak dapat dicari seperti mencari sesuatu yang pasti dapat ditemukan. Ini merupakan anugrah atau petunjuk dari tuhan. Hanya tuhan yang memiliki hak prerogatif memberi kemampuan ini. Ini bukan berarti bahwa tidak manusia mampu memiliki kemampuan itu. Siapapun dapat memiliki kemampuan itu dengan catatan bahwa tuhan memberi kemampuan itu kepada si manusia itu. Lalu kita berargumen "Tidak semua manusia mendapatkan kemampuan itu dari tuhan yang artinya tidak semua manusia memiliki kemampuan itu", ya, argumen itu benar ketika kita beranggapan bahwa tuhan pilih-pilih dan kita berpikir subyektif. Sesungguhnya tuhan maha adil, maha mengetahui mahluknya, dan maha mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk bagi mahluknya, serta tuhan kerap mengenalkan dirinya ke manusia sebagai maha pengasi dan penyayang. Kita pada dasarnya terlalu malas untuk sentimen positif terhadap apapun bahkan pada tuhan saja kadang kita curiga. Entahlah, apa yang terjadi di dalam peradaban ini, bisa jadi peradaban ini merupakan peradaban yang paling berani kepada tuhan daripada peradaban-beradaban sebelumnya, syukurlah kita masih mau menyembahNya walaupun tanpa disadari kadang kita menyembah selainNya. Kembali ke kampuan itu, kemampuan itu dapat dianggap sebagai penunjang yang mampu memungkinkan siapapun masuk ke kota itu tanpa ada masalah gangguan kondisi udara kota itu. Kemampuan ini adalah hikma dan kebijaksanaan.

Atas dasar kemajuan peradaban manusia, umat manusia beramai-ramai mempelajari dan menguasai ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Mereka saling membantu saudara-saudaranya memasuki kota ini baik secara individu maupun membentuk kelompok yang terorganisir dengan rapi yang bernama sekolahan dengan level-level yang berlaku di dalamnya. Untuk cara individu dalam membantu saudara-saudaranya masuk ke kota ini tergolong sangat efektif karena dilakukan secara intensif, tapi seiring perkembangan zaman, cara ini jarang dijumpai. Berbeda dengan cara sekolahan, cara ini dilakukan secara masal. Sistem untuk cara sekolahan berfariasi mengikuti kebutuhan zaman dan mungkin untuk kepentingan kaum elit.

Kebanyakan mekanisme perlakuan peradaban terhadap ilmu, pengetahuan, dan teknologi mendorong penghuninya melahirkan orang-orang yang berkualitas. Orang-orang ini tidak terbatas di wilayah intelektual, tapi orang-orang ini secara umum hadir di semua wilayah dalam peradaban itu baik wilayah urusan kebaikan (agama, hikma, kebijaksanaan, budi pekerti, etika, moral, dan keluhuran), urusan intelketual (cendekiawan), urusan kekuasaan (pihak penguasa), urusan kesenian (mungkin budayawan), dan urusan perdagangan ( ekonomi, bisnis, dan industri). Orang-orang ini diharapkan mampu menciptakan formulasi untuk memecahkan permasalahan yang ada serta memberikan inovasi yang memberikan kemanfaatan. Selain itu, orang-orang ini berperan sebagai sumber rujukan pelaksanaan dan penjaga koridor-koridor aturan yang berlaku di urusannya masing-masing. Mereka menemukan fadilahnya masing-masing dan ahli di bidangnya sehingga dapat saling bersinergi dalam orkestra peradaban yang dipimpin oleh maestro bernama negarawan dan orang-orang yang dituakan.

Seiring berjalannya waktu, umat manusia semakin banyak yang haus pengakuan. Mereka menyibukkan diri mengejar pamoritas, eksistensi, dan prestise. Mereka mulai malas mereduksi nafsunya dan justru melancarkan kebutuhan nafsunya secara brutal. Anehnya, banyak komponen yang mendukung kelancaran pemenuhan kebutuhan nafsu mereka. Mereka mencari-cari cara menggunakan llmu, pengetahuan, dan teknologi sebagai alasan melancarkan pemenuhan kebutuhan nafsu mereka. Mereka tidak ngaji diri terlebih dahulu dan enggan mencari fadilah dirinya. Mereka lebih mengikuti aturan asas kompetensi dan ekpertasi dari pada asas kemanfaatan. Lebih parah lagi ada komponen berupa lembaga sekolahan dan afiliasinya telah mengabaikan kemampuan ini. Komponen ini sangat keberatan menyoroti eksistensi tuhan di dalam metodologinya dan jika terpaksa menyoroti eksistensi tuhan, komponen ini membuatkan ruangan khusus bernama pelajaran agama. Komponen ini tidak memperdulikan apakah individu mampu bertahan dengan udara kota itu. Komponen ini semangat dan membuka pendaftaran besar-besaran untuk masuk kota ini. Di sisi lain banyak individu berduyun-duyun mendaftarkan diri masuk kota itu lewat komponen itu. Tidak ubahnya komponen ini bagaikan pintu masuk rumah jagal jiwa-jiwa manusia.

Mungkin ini semua bentuk kecerobohan umat manusia memperlakukan ilmu, pengetahuan, dan teknologi, atau mungkin saja ini bentuk kemalasan kita merenung, atau bisa saja keadaan ini memang dirancang seperti ini oleh kelas elit di zaman ini, tapi entahlah. Banyak individu yang memaksakan diri masuk ke kota itu tanpa di bekali hikma dan kebijaksanaan (kemampuan ini). Mereka masuk kota itu membawa ambisi dan nafsunya. Mereka tidak menyadari jiwanya telah mati karena udara kota itu. Mungkin mereka telah mendapatkan apa yang mereka harapkan dari ilmu, pengetahuan, dan teknologi di kota itu, tapi sayangnya jiwa mereka tidak memiliki kemampuan itu hingga pada akhirnya jiwa mereka tidak bertahan dengan udara di kota itu.

Kebayakan mereka berkeliaran di sekitar kita berpakaian kesombongan dan keangkuhan sambil membawa jiwanya yang telah mati. Mereka telah menjadi robot tanpa jiwa yang digerakkan oleh OS (Operasional Sistem) yang di-instal di rumah jagal itu. Ibaratnya mereka telah menjadi alat rumah tangga peradaban, yang jadi setrika jadi setrika, yang jadi lampu jadi lampu, yang jadi pemotong rumput jadi pemotong rumput, dan lain sebagainya. Gambaran autisme yang kaku di bidangnya menyebabkan terjadinya sekat-sekat ilmu, pengetahuan, dan teknologi di pola pikir mereka. Mereka sering kebingungan memainkan orkestra peradaban dan yang terjadi justru perdebatan, persaingan, dan permasalahan baru akibat keputusan mereka. Jiwa mati mereka hanya bisa pasrah melihat dirinya yang sudah bukan manusia. Si bodoh di hadapan mereka dipaksa memahami mereka adalah bentuk keterbalikan pola pikir. Kasus atau masalah yang ada pada si bodoh yang seharusnya menjadi sumber pembuatan formulasi bagi mereka cenderung diabaikan justru formulasi asal-asalan mereka dipaksakan kepada si bodoh. Hirarki dan level-level yang berlaku di komponen ini (sekolahan) bersifat mutlak dan kaku tanpa memperhatikan pengalaman. Sehebat apapun pengalaman individu tapi memiliki level rendah maka individu itu jarang diakui justru individu yang minim pengalaman tapi levelnya tinggi malah lebih banyak diakui.

Keadaan ini sudah seperti endemik suatu penyakit yang semakin lama semakin meluas. Kita tidak perlu mengkarantina diri fisik kita, tapi yang perlu kita lakukan adalah merenung dan ngaji diri. Jika anda telah menyadari keadaan ini secara mendalam, anda tidak perlu memeranginya secara fisik bahkan dengan senjata sungguhan, ini bukan invasi militer dan mungkin sudah tidak ada artinya kita melindungi saudara-saudara kita secara fisik. Yang masih mungkin dapat kita lakukan adalah melindungi dan menjaga pola pikir saudara-saudara kita, minimal mampu membuatnya tahu siapa dirinya dan tahu bangsanya. Semoga tuhan selalu hadir dan sudi menolong kita.

Sort:  

Congratulations @basuktiok! You have completed the following achievement on the Steem blockchain and have been rewarded with new badge(s) :

You made more than 50 upvotes. Your next target is to reach 100 upvotes.

You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

Do not miss the last post from @steemitboard:

Are you a DrugWars early adopter? Benvenuto in famiglia!
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!

Thank You

Apa mungkin gara-gara film Rambo orang-orang ingin tampil membela kebenaran dengan tarung secara fisik, bermandikan keringat dan berdarah-darah. Padahal di Film Rambo III, Rambo tidak pernah menginginkan masuk zona perang seperti itu, bahkan Rambo menghindari dirinya dianggap Rambo.

Itu mungkin bisa jadi renungan kita Pak. Jangan sekali-sekali perjuangan kita didasari agar kita terlihat seperti pejuang. Mereka berimajinasi ingin mati syahid Menggunakan Sorban dan Panah di punggung mereka tertembak misil ketika melawan keonaran. Parahnya lagi menganggap itu suatu prestise. Berlomba-lomba menjadi Bung Tomo, tanpa mengetahui siapa itu Bung Tomo. Pamoritas telah memakan kesadaran mereka Pak. Di raga dan jiwa mereka pamoritas antibiotik ilmu dan pengetahuan, yang akhirnya raga dan jiwa mereka sulit menyerap ilmu dan pengetahuan

Akan lebih asik kalo kita berjuang menjaga saudara-saudara kita tanpa mereka tidak menyadari kita lah yang menjaganya bahkan kalau bisa diri kita sendiri juga tidak menyadari kalau kita yang berjuang menjaganya.

Ya, mungkin mereka ingin lebih jauh lagi, mereka maunya ingin jadi gurunnya rambo kayaknya pak.

Intinya mereka ingin dianggap pahlawan, masalahnya mereka malamnya mereka begadang, tidak tidur terlebih dahulu, akhirnya bangun kesiangan, mau dibilang apa pantasnya, ya jelas mereka layak dikatakan pahlawan kesiangan. Seharusnya tidur dulu lah (merenung) dulu lah, ranah perjuangannya apa, konteks perjuangannya apa, dan apa yang diperjuangkan, serta yang terpenting mereka tahu siapa dirinya. Minimal mereka tahu esensi perjuangan mereka itu apa.

Akan lebih asik jika perjuangan mereka dikemas semata-mata sebagai bentuk ibadah kepada tuhan saja, bahkan kalau perlu tuhan jangan sampai tahu kalau dirinya sesungguhnya beribada kepadaNya