Ponsel saya berdering. Di layar tertera nama ibu, memanggil. Seperti mahasiswa lazim, saya angkat panggilan itu dengan takzim. Ibu meminta saya segera ke kantor program studi. Setiba di sana ibu kabarkan saya akan mendapatkan beasiswa prestasi. Satu malam sebelum ibu sampaikan itu, saya dapat kabar dari Umi di kampung bahwa keuangan keluarga kami sedang buruk dan murung. Saat itu ibu telah melunaskan kami dari lubang jarum.
Bila sesekali di rumah ibu ada sambal kampung, senantiasa ibu menelpon saya. Makan di rumah, di meja makan bersama bapak dan keluarga. Mahasiswa mana yang tidak bahagia disayangi demikian rupa? Bila di rumah ibu ada kenduri, saya dipanggil untuk mengisi barisan pencuci piring. Dan pada masa-masa terakhir kuliah, dalam cengkeraman masalah, ibu selalu menyarankan agar saya bisa mengalah lalu pergi dari kampus itu sebagai orang yang tak bermasalah.
Saya simpan semua cerita bersama ibu. Dan kala bercerita kepada Umi di kampung, selalu saya katakan bahwa di kampus saya punya orang tua. Ibulah yang saya maksudkan. Ibu meminta saya memangkas rambut yang gondrong sebab saya calon guru, saya patuhi itu. Padahal banyak yang memaksa, saya tidak peduli. Ibu minta saya menjaga nilai-nilai setiap mata kuliah, saya jaga. Meski selesai pada tahun ke 7,5, entah berapa semester buang-buang duit dan masa, IPK saya saat lulus masih di atas 3. Bukankah petuah-petuah ibu sangat baik saya jaga?
Ibu meminta saya tidak terlalu mengindahkan lawan-lawan di kampus, keluar dari teater jika itu hanya membuat kisruh dan segera membuat skripsi, saya turuti. Badai-badai besar di sana telah membuat saya benci, terluka, pergi, tapi akhirnya kembali jua. Menyelesaikan segala. Petuah ibu menjadi salah satu alasan saya mengakhiri perjalanan di sana.
Selesai di kampus, saya kambuh benci. Ada banyak yang telah membuat saya merasa tersakiti. Dulu, jika pun yang saya sampaikan adalah kebenaran, tetap dianggap salah sebab kenyataannya saya keras kepala dan semau saya. Saya tidak ingin lagi mengenang kampus. Namun setiap pesan ibu masuk, saya tidak bisa berdusta, bahwa panggilan "abang" dari ibu adalah salah satu kerinduan saya.
Kemarin saya pulang. Ke rumah ibu. Ke rumah yang saya cintai selalu. Ibu masih suka mengenang saat dulu saya sering menjadi panitia cuci piring. Lalu bercengkrama, dulu tidak ada yang peduli, tidak ada yang minta foto. Kemudian ibu membanding-bandingkan masa itu dengan sekarang. Ketika membandingkan, saya lihat wajah ibu bangga dan bahagia, persis ketika dulu saya mau pangkas rambut dan melaporkannya ke ruang ibu.
Adik-adik saya sudah besar, padahal waktu saya tinggalkan mereka belum pun fasih berujar. Bapak masih seperti sediakala, terbuka dan suka bercanda. Dan ibu? Saya tidak punya cukup kata untuk menggambarkan betapa ibu bagi saya melebihi seorang dosen, guru, dan ibu sangat berarti. Segala kekuatan yang telah ibu berikan pada masa silam telah membuat saya sekuat hari ini. Sebahagia ketika pulang ke rumah ibu lagi.
Akhirnya, saya tahu ada banyak mahasiswa ibu yang ingin menyampaikan ini sebab mereka juga merasakan betapa ibu telah sangat baik menebar budi. Tapi saya rasa, sayalah yang lebih tepat menyampaikannya. Saya lebih mencintai ibu dibandingkan mereka.
Posted from my blog with SteemPress : https://pengkoisme.com/2018/07/03/pulang-ke-rumah-ibu/
Mantap that bang nazar
Beruntung bisa dekat dengan ibu seperti ini... Ah andai saja...
Ibu mertua bg @gulistan hahha
Beruntungnya punya ibu hebat