Aku dan Dia
“ Untuk apa kita kesini Re …”tanya Marisa pada Revaldi
“ untuk memastikan, ditempat yang lain baik-baik saja ”, jawab Re senang dan riang, Ia tidak bisa menyembunyikan raut bahagia yang terpancar diwajahnya. Senyum simpul yang membuat wajahnya semakin tampan terhias tulus. Dibenaknya sudah terbayang indah apa yang Ia harapkan menjadi kenyataan. Ia menyembunyikan semuanya dari Marisa.
“ Aku ingat tempat ini,” Marisa menatap Re lembut, dibibirnya terhias senyum yang membuat Re ingin selalu memandangnya.
“ Ini tempat waktu kita SMP ikut study tour KIR kan?” mata Marisa membulat indah mengenang masa-masa saat bersama Re dan teman-teman SMP nya dulu.
“ Re, lihat !!!”Marisa menunjuk pada tebing yang menjulang dan warna langit yang kian temaram merah, sebentar lagi sunset.
“ Kamu pernah mendaki tebing itu dan terjatuh tepat dihadapanku, dengan tubuh berlumur
lumur dan darah “ kenang Marisa.
“ Saat itu kamu sedang bersama Rina, Aurel, dan Delia, kamu berteriak dan menangis melihat aku terluka.
Semua orang datang dan melarikanku kerumah sakit, dan kamu tidak pernah meninggalkan aku selama aku dirawat. Kamu selalu datang dan menghiburku “
Tambah Re pelan, Marisa memandangnya dengan binar berseri.
“ Kamu ingat itu, sudah lama sekali “ ucap Marisa seperti pada diri sendiri.
“ Aku selalu mengingatnya dengan baik, teman-teman saat SD, kenangan SMP, masa SMA juga saat kuliah, kita selalu berada ditempat yang sama…” ucap Re pelan,
“ Iya, kamu bener. Aku selalu mengikuti pertumbuhanmu, masa – masa sulit dan aku selalu jadi orang pertama yang tahu siapa pacarmu,hehe…oia, kamu pernah bilang ‘menjadi orang tampan itu sulit..” Marisa tertawa lepas, Ia mengingatkan Re pada masa dimana Re menjadi seorang pecundang dan selalu mengambil keuntungan dari apa yang Re dapat untuk dirinya, Re merasa malu mendengarnya. Ia kini berbeda dengan yang dulu, Ia bukan lagi Alfare yang bangga dengan ketampanan dan kegesitannya memikat wanita-wanita cantik.
Ia sudah berubah dan ingin memiliki yang utuh untuk masa depannya. Hal terbaik yang selalu Ia impikan dan mengganggu tidurnya, Ia tahu siapa yang Ia inginkan dimasa depannya, seseorang yang selalu Ia bayangkan tua bersamanya dalam dekapan waktu yang membuatnya selalu bahagia dengan harapan yang Ia tanam disudut hatinya.
Dan Re selalu berharap gadis dihadapannya ini adalah jawaban dari segala teka-teki kegelisahan jiwanya selama ini. Gadis yang sudah Ia kenal, tidak hanya sebagai sosok sahabat yang menemaninya 20 tahun ini, tapi juga menjadi nadi disetiap nafas yang Ia hembuskan, tanpa disadari Marisa dan kehadirannya membuat Re merasa lengkap dihari-harinya.
“ Re, masih ingat Feby? Aku lupa dia pacarmu yang keberapa, hehe. Dia menitipkan Undangan pernikahannya untukmu…” Marisa menohok Re tepat disasarannya.
“ Aku akan datang,..” ucap Re lugas, dan sumringah.
“ oia ,dengan siap ? “ goda Marisa mengerdipkan matanya,..
“ denganmu..” ucap Re pendek. Marisa membulatkan matanya, pura-pura kaget.
“ Seingatku, hampir semua pacarmu sudah menikah, bagaimana denganmu bung ?” Sindir Marisa lembut. Re tersenyum kecut.
“ Aku sedang melakukannya,..” ucap Re sedikit tercekat.
“ Melakukan apa? Jangan bilang kamu akan menikah dan tidak memberitahuku sama sekali !! Re,..?” Marisa memukul bahu Re pelan pura-pura marah, Re tersenyum kikuk dan malu. Re sudah mempersiapkan dirinya dari sebelum bertemu Marisa, namun Ia tak punya daya, sulit dan berat mengatakannya.
“ Aku pasti menikah, dan kamu sendiri ?” Re mengelak dari alur pembicaraan yang memojokkan dirinya. Marisa tersenyum manis, garis bibir yang ditariknya lebih menarik dari biasanya. Entah apa yang di pikirkan Marisa, Re berharap sama seperti yang Ia pikirkan.
Malam merambatkan kegelapan merata, langit tampak dipenuhi bintang yang berkelip dan memancarkan sinarnya pada bumi. Udara semakin dingin dan menebar hawa hening, lampu – lampu dikejauhan menciptakan pemandangan megah dan indah dari sudut puncak dimana Re dan Marisa berdiri menatap jauh pada kenangan- kenangan dibenak mereka.
“ Bintang Jatuh “ ujar Marisa girang, Ia menutup kedua matanya dan menyimpul senyum dengan menggenggam kedua tangannya sendiri, Re melihat jauh pada bintang yang hilang dari matanya, Ia melakukan hal yang sama seperti yang Marisa lakukan. Ketika membuka mata.
“ kamu pasti menikah dengan gadis yang kamu inginkan,..” Marisa tersenyum tulus.
“ terimakasih “ Re menarik nafas lega. Didadanya membuncah-buncah.
“ Kita pulang “ ajak Marisa. Re mengangguk, Ia punya harapan besar dihatinya, semua itu akan terwujud saat mereka tiba dirumah. Perjalanan pulang kali ini begitu sunyi. Re menyetir dan menatap jalan, sesekali Ia melirik Marisa yang sibuk dengan buku bacaannya, sama sekali tak menoleh pada Re.
Mereka sampai dan Marisa heran mendapati rumahnya yang ramai, Ia bertanya pada Re dan Re hanya mengangkat bahu. Marisa masuk dan semua orang menatapnya senang.
“ Nah ini dia yang ditunggu – tunggu sudah datang “ ucap Ibu Marisa yang segera bangkit dari duduknya dan mencium anaknya. Begitu juga dengan Ibu Re yang memeluknya hangat. Marisa heran, Ia melihat wajah-wajah bahagia disekitarnya dan membuatnya semakin tak mengerti,…
“ Ibu, ayah, ada apa ini ?” Tanya Marisa hati – hati pada orangtua Re yang berkunjung kerumahnya dan tampak akrab dengan keluarganya. Pertanyaan Marisa menciptakan tawa bagi seisi ruangan.
“ nduk – nduk, kamu itu sudah tahu masih bertanya ?” ucap ibu Marisa lagi.
“ Anak- anak zaman sekarang mbak yu’, selalu pura –pura gak tahu “ tambah Ibu Re yang kembali disambut gelak tawa keluarga.
“ jadi kapan hari baiknya, sudah di tentukan toh ?” Tanya ayah Marisa antusiasme.
“ ya kalau kami orangtua setuju sekali, kita sudah sama- sama tahu, bahkan kita senang kalau bisa menjadi keluarga dekat, sekarang tergantung pada kalian yang menjalani,..jadi kapan hari baiknya, Risa ?” Tanya ayah Re,..
“ Hhhari bbaik “ ulang Marisa bingung bertukar pandang pada Re.
“ Re,” panggil ayahnya. Re tercekat kaget. Ia terpana mendapati wajah Marisa yang pias dan bingung, Marisa menatap Re lurus dan tajam.
“ Re, sebenarnya ada apa ini ?” Tanya Marisa, Re merasa ada yang menusuknya dari dalam dirinya sendiri.
“ Apa yang terjadi disini, knapa kalian bingung..?” Ayah Re mulai gelisah,namun Ia memahami kondisi putranya.
“ kalian belum membicarakannya ?” Tanya ayah Re lagi,..Re mengangguk pelan.
“ Belum, maaf ayah “ ucap Re datar.
Semua menghela nafas gusar dan risuh, menatap Re sebagai terdakwa.
“ kamu ini gimana toh Re, sudah biar ibu saja yang sampaikan pada Risa,..oala “ sembur ibu Re gak sabar.
“ sampaikan apa bu,? “ Tanya Marisa penasaran. Re terbangun dari angannya.
“ tidak bu, biar Re yang katakan sendiri “ ibu mengangguk, semua menunggu dalam sekam yang hening. Re mengatur nafasnya yang terasa sulit, dadanya yang bidang terasa sempit. Semua pembuluh darah, nadi, dan denyut jantungnya seperti berlomba-lomba untuk keluar dari ruang yang semakin mengecil ditubuhnya. Semua diruangan itu terdiam, menahan nafas dari pertunjukan yang akan digelar oleh calon pengantin dari anak-anak mereka. Re merasa udara disekitarnya pengap dan panas, pori-porinya mengeluarkan titik-titik keringat yang membasahi sekujur tubuh dan wajahnya dalam detik-detik keheningan yang membuatnya kehilangan semua rasa percaya diri serta kesombongannya selama menyandang ketampanannya.
Alfare, meraih jemari Marisa perlahan, diikuti desah nafasnya yang mengalirkan ketakutan dari dalam dirinya, Re memberanikan diri untuk menatap mata jernih itu. Dalam detik Re hanya mampu membuka mulutnya dan tak mengucapkan apapun, Ia memejamkan matanya dan melawan keraguannya.
“ Risa, maukah kau menikah denganku ?” Re tercekat dengan ucapannya sendiri, Marisa kaget. Ia melepaskan jemarinya dari genggaman tangan Re, seluruh sudut ruangan terasa sedingin mayat. Semua mata menatap pada Marisa yang masih tampak shock, Re merasa tubuhnya seketika menggigil.
Marisa baru mengerti, semua keluarganya berkumpul dan mengadakan pertemuan dengan keluarga Re ternyata untuk melamarnya. Ia tidak pernah tahu tentang ini, Ia sama sekali tidak pernah diajak untuk terlibat dalam pernikahan yang akan dilakoninya, bahkan Marisa belum menyatakan Iya atas pernikahan yang akan terjadi atas namanya tersebut.
Ia menatap Re tajam, Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran pria yang dikenalnya 20 tahun ini. Setelah begitu banyak yang Ia lewati untuk melupakan perasaan cintanya pada Re, tiba-tiba Re melamarnya pada orangtuanya dan tidak pernah sempat bertanya, pernahkah Marisa mencintainya ??..
Malam-malam seperti apakah yang harus Marisa lewati tanpa seorangpun yang mengisinya dengan harapan-harapan yang membuatnya memiliki mimpi dimasa depan. Ditahun-tahun pertama Ia menyimpan perasaannya rapat-rapat pada Re, agar pria itu tetap memiliki kebersamaan dengannya, Ia selalu kecewa dengan sikap yang diterimanya dari Re.
Bagaimana khawatirnya Ia saat Re jatuh dari tebing terjal dan licin yang dinaikinya hanya untuk mencuri perhatian Aurel dan membuatnya tergelincir. Dimana Ia menyimpan rasa sakitnya ketika harus berbohong pada setiap pacar Re, bahwa hatinya hanya tercipta sebagai teman untuk Re. Ia tetap menjadi pendengar setia curhat Re, mendengar segala petualangan pria tampan itu dari satu gadis ke gadis lainnya.
Semua itu menyakitkan dan teramat menyiksa bathinnya belasan tahun, namun Ia tetap setia pada cintanya. Ia percaya pada kekuatan cinta sejati, dan Ia melihat semuanya kini, pria impiannya telah melamar dan ingin menikah dengannya, tapi….Marisa merasa kepalanya pusing. Ia tak berharap ini terjadi dihidupnya yang sekarang, tidak seperti ini yang Ia harapkan. Marisa menatap satu-satu wajah diruangan itu, Ia merasa asing dan tak mengerti dirinya saat ini, semua yang Ia inginkan ada dihadapannya, Marisa hanya harus menjawab iya. Namun Ia tak sanggup berkata, Ia menahan sesaknya. Semua detik dilalui dalam ketegangan. Ia mengalihkan matanya yang memerah pada Re, Pria itu berdiri mematung membisu dan juga menatapnya lurus, Marisa menggigit bibirnya. Ia tersudut dengan keadaan ini. Ia tahu ini akan melukai banyak orang. Ia menggeleng pada Re.
“ Re, maaf “ ucap Marisa lirih hampir tak terdengar. Re merasa kakinya lemas dan tak mampu menopang berat badannya, bibirnya bergerak namun tak mengeluarkan suara. Re menyadari ada yang menjalari di sekujur hatinya, percikan-percikan yang menoreh dan menyayat, Ia memejamkan matanya, perih!! Re seperti mendengar dengungan yang jauh, dan menyadarkan dirinya untuk menguasai emosinya, Re tersenyum pahit.
“ Marisa,…” serak Re,..
“ Maaf “ kali ini gadis itu memilih untuk pergi dari hadapannya dengan punggung terguncang, Marisa menangis. Re menangkap itu. Semua terdiam, hubungan itu sudah begitu dekat antara dua keluarga ini.
Re mencari pegangan untuk menyanggah tubuhnya yang limbung. Ia merasa ada yang salah dengan semua ini. Re melihat air bening disudut pelupuk mata kedua ibu yang dikasihinya. Diam bijak kedua ayah yang dibanggakannya, menyadarkan Re dari kerapuhannya, Ia tahu semua terluka, Ia mengemas dirinya kembali dalam kekuatan yang baru untuk menemui Marisa, Ia harus memperoleh alasannya.
Marisa menangis, tubuhnya terguncang lebih kuat. Aliran sungai itu semakin deras dan menyabik-nyabik hatinya, Ia merasa ada yang hangat dipunggungnya, sekepal tangan besar dan kuat membalikkan tubuhnya, mata yang sama merah dan basah itu bertemu dalam kerinduan yang tak mampu dipahami bentuknya.
“ katakana apa yang salah dalam diriku, hingga kamu gak menginginkan pernikahan ini terjadi ?” Tanya Re bindeng. Mata mereka beradu dalam deras air mata yang membanjiri pelupuk mata masing-masing.
“ kenapa harus mencari apa yang salah, kenapa tidak siapa yang menginginkannya ???” ujar Marisa cepat, Re terpojok. Re melepaskan cengkramannya pada bahu Marisa, lalu meremas rambut ikalnya yang berkilat dan legam dengan sisa-sisa energinya.
“ Apa selama ini kamu pernah bertanya padaku tentang pernikahan ini…? Apa kita pernah bicarakan ini sebelumnya, ?? dengar Re, aku tidak pernah merasa masuk dalam kehidupanmu melebihi porsiku sebagai teman untukmu, dan aku tidak pernah melewati batas-batas itu, seperti apapun perasaan ini padamu “ Marisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar hebat dan emosinya memuncak.
“ Sedetikpun kamu tidak pernah sempat bertanya, apakah aku mencintaimu dalam 20 tahun yang kita lewati bersama,…kamu tidak pernah memperdulikan perasaanku “.. deras Marisa semakin menjadi jujur tentang hatinya selama ini pada Re,..
“ Marisa, maafkan aku…”
“ Bahkan kamu tidak pernah melihatku sebagai kesatuan yang memiliki jiwa dan cinta yang utuh untukmu, karna aku tidak penting bagimu. Alfare Revaldi, kamu tidak pernah mencintaiku dan tidak pernah peduli apapun yang berhubungan dengan aku.
.” Mereka terdiam dalam kebekuan hening yang sama-sama sakit, hanya tarikan nafas dan desah pilu yang terdengar riaknya dipermukaan.
“ baiklah Alfare, tidak pantas mengungkap masalalu disaat ini, aku sudah melupakannya. Tapi tidak dengan pernikahan ini, kamu keteraluan, kau anggap apa aku ini…???, boneka lilin yang tidak perlu kamu tanya kesediaannya menikah denganmu. Apa menurutmu aku tidak pantas terlibat dalam perencanaan pernikahan yang mana ‘aku’ adalah pengantinnya,. Aku berhak tahu dengan siapa aku akan menghabiskan seluruh sisa hidupku, aku tidak ingin menikah dengan pria yang salah.
Aku sangat menginginkan saat ini tiba untukku, sudah lama aku memimpikannya, tapi tidak dengan cara seperti ini Re,..” tegas Marisa tajam dan menusuk relung hati Re. Re menguatkan hatinya, Ia tahu selama ini Ia salah tentang Marisa.
Re selalu berfikir Marisa akan menerimanya dengan sangat mudah, seperti persahabatan mereka selama ini. Tapi pernikahan bukanlah persahabatan, pernikahan adalah kesepakatan dua manusia untuk terikat dalam satu jiwa, bukan keinginan sepihak seperti yang Ia lakukan. Mungkin ini kejutan, tapi ini tetap salah, karna pernikahan bukan kejutan tapi sesuatu yang mengejutkan. Marisa benar, Re seperti tidak menghargainya sebagai sosok yang juga harus terlibat dalam pernikahannya, karna Marisa adalah calon mempelai wanitanya.
. Akh…Re merasa bodoh dan ceroboh, Ia tidak pernah berbagi sesuatu tentang perasaan mereka.
“ Maafkan aku, aku salah. Aku tidak pernah berfikir akan sesulit ini keadaannya, aku merasa semua akan menjadi mudah dengan persahabatan dan kedekatan keluarga kita, aku menyesal !!! Aku begitu yakin kamu akan menerima lamaran ini, ternyata aku salah” lontar Re pelan dan pilu. Marisa merasakan belati yang menujahnya semakin dalam, namun egonya tak bisa Ia pisahkan dari sisi kekecewaannya selama ini. Hatinya terus berderu untuk memojokkan Re dari dongeng yang menina bobokan perasaan mereka dalam layunya hasrat dan rasa.
“ bagaimana mungkin semua orang dan keluargaku membicarakan pernikahan yang aku sendiri tak tahu..?” ujar Marisa lembut tepat diwajah Re.
“ Ini hal serius Re, taruhannya adalah seumur hidup. Aku juga punya hak untuk memutuskan, bukan hanya kedua orangtuaku atau kamu “ tambah Marisa lagi.
Re memvonis dirinya atas kecerobohannya. Ia tahu orang tua mereka sangat berharap sekali bisa menjadi besan, agar hubungan persahabatan mereka lebih erat menjadi keluarga. Melihat kedua anak mereka berteman dekat walau hanya sebatas sahabat, orangtua memiliki keinginan menjodohkan mereka. Namun hal itu belum pernah dibicarakan secara resmi antar dua keluarga yang bersangkutan, hanya sekedar bumbu guyon untuk lebih akrab ditiap silahturahmi mereka, orangtua tetap menyerahkan pada anaknya untuk memilih pendamping hidup. Re teringat ibunya pernah berkata Ingin menantu seperti Marisa, begitu juga dengan ayahnya. Re hanya tertawa mendengarnya, baginya Marisa benar-benar selera yang payah. Ketika bertemu Marisa di campus, Re bercerita dengan gaya konyol dan menampakkan penolakkan.
“ menurutmu, apa aku akan menikah denganmu…?” tanya Re tiba- tiba pada Marisa yang baru keluar kelas dengan membawa setumpuk buku.
“ apa ??!!!’” Marisa menjatuhkan buku-buku yang dipeluknya. Re tersenyum mengejek.
“ owh, tidak!! Tentu saja tidak, young lady. Aku hanya bercanda “ Re membantu memunguti buku-buku yang berserakan, wajahnya begitu dekat dengan wajah Marisa. Gadis itu sangat tegang dan hampir tidak bisa bernafas, Ia hanya mengangguk menanggapi ucapan Re.
“ mereka membicarakannya saat sarapan, kau tahu ibuku kan ?? “ Re berhenti sejenak dan menatap Marisa tajam dengan sedikit mencela dari matanya.
“ Ibu selalu ingin menantu sepertimu…” bisik Re ditelinga Marisa.
“ tidak mungkin “ ujar Marisa tercekat kaget. Re tersenyum congkak.
“ kau benar!! Tidak mungkin terjadi, kau tau knapa ?” Marisa menggeleng polos dan bingung. Re menunjuk pada gadis cantik, sexi dan penuh pesona, yang selalu tak bisa bersikap ramah pada setiap orang. Marisa mengetahuinya, karna pernah dikenalkan Re, dia pacar Re.
“ Aku akan menikah dengannya..” wajah Re berbinar penuh harapan dalam pengucapannya.
“ Chacha “ seru Marisa lepas. Re tersenyum puas, bangkit dan menyerahkan buku-buku tersebut pada Marisa.
“ Yeah, dia sempurna bukan ??, aku selalu berharap menikah dengannya “ Re menatap lurus pada Chacha dengan mata penuh cinta, Marisa tergugu mendikte dirinya sendiri dari harapan-harapan semunya pada Re.
“ dan kau adalah sahabat terbaikku, kau pantas mendapatkan yang lebih baik dari aku “ Re tersenyum simpul dan berlalu untuk kembali pada gadisnya.
Marisa mematung ditempatnya, menatap jauh pada Re dan Chacha yang bermesraan. Hatinya perih, Ia rekam semua peristiwa itu dibenaknya, dan selalu membujuk hatinya untuk melupakan Re, Ia tahu seperti apapun besar cinta ini, takkan membuat Re menoleh padanya.
Marisa memutuskan untuk mengambil SP dan mempercepat menyelesaikan kuliahnya, Ia berhasil lulus setahun lebih awal. Lalu melanjutkan S2 nya dengan program Psikology yang diminatinya, setelah S1 Ia ambil Sastra. Marisa gadis cerdas dan gemilang. Dua tahun dari peristiwa itu Chacha ditemukan tewas dalam sebuah aborsi yang dilakukannya ditempat praktek seorang dokter muda, kesalahan mall praktek. Chacha hamil akibat pergaulan bebas yang selama ini dijalaninya. Re sangat terpukul dengan peristiwa itu, ia hampir terseret dalam tuduhan sebagai penyebab kematian chacha, syukurnya tuduhan itu tidak terbukti, karna Re dan Chacha putus sebelum peristiwa itu terjadi.
Marisa dan Re bertemu lagi dalam Wisuda S2 Marisa dua tahun berikutnya, keluarga mereka saling menyukai dan berharap terjalin ikatan pernikahan pada kedua anaknya yang ternyata di iyakan dan disetujui oleh Re, namun tidak diketahui Marisa.
Karna Marisa terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan Re ingin membuat kejutan tepat dihari H nya. Semua keluarga berembuk dan akhirnya malam lamaran yang menegangkan inipun terjadi penuh airmata dan luka.
Re mencoba tersenyum, ia mengakui semua kekeliruan yang dilakukannya selama ini. Ia juga tidak pernah menyangka akan jadi seperti ini. Re menyadari perasaan itu hadir ketika Marisa sudah tak ada lagi disisinya, saat itu Ia merasa ada yang hilang dari hidupnya, sesuatu yang berharga dan sangat Ia rindukan.
“ Aku memang salah Risa, banyak hal yang tidak menyenangkan terjadi dimasa lalu, aku tahu kamu marah. Sudah sepantasnya perasaan itu kamu tumpahkan. Maafkan aku Risa ,tapi…apakah aku masih punya kesempatan lagi untuk memperbaikinya ?” Marisa tak bergeming, Ia tetap diam dalam sekam airmata yang diciptakannya.
“ Aku ingin kamu tahu, tidak mudah untuk sampai dititik ini. Hari-hari tanpamu adalah hari-hari terpanjang yang pernah kulewati, semuanya terasa mati.
Aku tidak pernah bahagia sejak kamu tinggalkan, aku tidak yakin kapan tepatnya semua ini terjadi, semua yang aku impikan tentang kamu. Aku memang tidak selama kamu memiliki cinta ini, tidak mencapai belasan tahun.
Tidak juga memiliki hati seperti kamu, namun kebersamaan dan kehadiran kamu slama ini adalah cinta yang tak pernah aku sadari telah terpatri dihatiku. Maafkan aku atas semua yang membuatmu merasa kuabaikan, aku tidak pernah ingin melakukan itu, Risa aku selalu quino a, kamu pantas mendapat yang lebih baik dariku. Sekarang aku memohon, menikahlah denganku karna aku ingin menjadi yang terbaik bagimu..” Mata Re berkaca-kaca. Luruh lantak segala cipta rasa di malam dingin ini, Marisa tetap membisu.
“Baiklah,..” ucap Re parau. Ia menjauh dan melangkah pelan, mengerjabkan matanya yang basah, Ia berhenti dan terdiam memunggungi Marisa.
“ Tiap malam saat aku memejamkan mata, aku selalu berfikir dengan siapa aku akan menjadi tua, saat itu hanya wajahmu yang hadir dan mencipta harapan dibenakku, Marisa quino” Re kembali melangkah, meninggalkan sisa hening yang masih panjang dan membekukan hati. Ia masih menyanggah tubuhnya yang lemah untuk berjalan tegak dan tegar. Ia tersenyum getir. Terkadang cinta sulit dimengerti.
Marisa terduduk lemah, menatap bayangannya sendiri dicermin. Matanya bengkak akibat menangis sepanjang malam, selama belasan tahun Ia tidak pernah mengalami hari menegangkan yang penuh kebahagiaan juga kekecewaan seperti semalam. Ia hampir tidak pernah percaya keberanian yang muncul didirinya begitu meledak-ledak menolak lamaran Re, Ia tidak menyesali yang Ia lakukan semalam, Ia sudah melakukan yang Ia ingin lakukan. Re harus mengubah pikirannya tentang pernikahan mereka, atas keinginannya bukan keinginan kedua orangtua mereka. Marisa mendapati dirinya tersenyum dicermin. Ia tahu apa yang Ia lakukan untuk dirinya.
Gundukan tanah merah dan basah, masih menebar aura duka dipemakaman ini. Linangan airmata masih membanjiri wajah-wajah keluarga dan kerabat yang ditinggalkan. Satu-satu mereka pergi bersama kenangan yang mereka simpan dihati. Marisa masih bersimpuh, tertunduk dan menyimpan tangisnya dalam-dalam, Ia menabur bunga untuk seseorang yang Ia sayangi dan sekarang sudah pergi. Lalu, Ia berbisik pelan pada batu nisan yang menjadi saksi bisu dari rahasianya selama ini.
“ Maafkan aku Jef, kau selalu akan menjadi kenangan yang biru dihati ini “ ucap Marisa lirih. Ia bangkit dan mendapati sosok Re masih di sisinya. Pria itu menguatkan hatinya, meski Ia menangkap banyak tanya diwajah Re. Marisa tersenyum yang dibalas oleh Re dengan sentuhan hangat dibahunya, pria itu memeluknya. Seakan mengerti perasaan yang Ia rasakan, beriringan mereka meninggalkan penguburan itu.
Re masih terdiam, menatapi Marisa yang bersedih. Hatinya berdebur bagai ombak saling bersahutan untuk meredam tangis pilu Marisa dihadapannya. Namun Re hanya membisu, baginya itu lebih bijak.
Sejak peristiwa penolakkan lamarannya, Re memutuskan untuk mengenal Marisa lebih dari porsi yang dulu secara hati, dan Re melakukannya setahun ini. Ia selalu berusaha ada untuk Marisa, seperti saat ini. Ia menemani Marisa kepemakaman siapa dan berarti apa orang itu untuk Marisa.
“ Namanya Jeff adrialno, Ia penderita AIDS “ ucap Marisa serak dan pedih, disusutnya air bening yang mengalir tanpa permisi diwajahnya. Re memberikan sapu tangan miliknya pada Marisa, gadis itu tersenyum tulus. Mereka duduk bersisian dikursi taman kota yng teduh rerimbunan pohon. Re masih menunggu kalimat selanjutnya dari Marisa, gadis itu menatap jauh pada lalu lalang orang disekitar mereka.
“ Aku mengenalnya dua tahun lalu, saat mengambil program S2. Aku menjadi relawan donor darah disuatu Rumah Sakit, saat itu suster meminta bantuan terapi untuk pasien yang mengalami kecelakaan serta penderita AIDS. Dia sangat memprihatinkan, Jeff menabrakkan dirinya sebagai cara bunuh diri setelah divonis menderita AIDS, Ia ingin mati, dan menyesali hidupnya. Aku membantunya melewati masa – masa sulit, membangkitkan semangat hidupnya dan menjadi temannya “
Marisa berhenti, menarik nafas dan tersenyum kecut.
“ semua itu tidak mudah, namun kesibukan itu membantuku untuk melupakanmu, tepatnya aku membujuk hatiku untuk tidak terlalu banyak berharap darimu “ Marisa menoleh pada Re, pria itu mengangguk pelan. Ia menggenggam jemari Marisa lembut dan hangat.
“ Jeff mengajarkan aku untuk lebih menghargai hidupku dengan tidak hanya memikirkan diriku sendiri.” Marisa menggigit bibirnya dan melanjutkan.
“ dia pria baik, aku bangga mengenalnya. Dia pernah bertanya, apakah aku mau menikah dengannya saat dia sembuh..?” Marisa terdiam beberapa saat.
“ lalu ?” ucap Re pendek. Marisa menemukan mata Re.
“ Aku katakan padanya, aku mencintai pria lain, tapi aku mau menikah dengannya. Dia tidak marah, dia tersenyum dan berusaha untuk sembuh.” Genggaman tangan Re masih hangat dan lembut, reaksi dewasa yang diberikan Re menyejukkan hati Marisa.
“ karna itu kamu menolak lamaranku ?” mata mereka bertemu pada satu titik, Marisa mengangguk juga menggeleng. Ia melepas genggaman Re perlahan dan halus. Menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya berat.
“ Aku menderita HIV “ ujar Marisa pelan, namun tegar. Wajah Re membeku, matanya membulat tak percaya. Ia menatap Marisa lekat-lekat tanpa ingin mengucapkan apapun, didadanya ada satu luka baru yang basah.
“ maafkan aku Re, aku tidak bisa menikah denganmu atau dengan siapapun…”
“ MMaksudmu ?” tanya Re parau, Marisa menggeleng.
“ Tak seorangpun ingin menikah dengan penderita HIV, takkan ada yang mau merawatku seumur hidupnya…” jelas Marisa cepat. Re diam.
“ maaf, aku tidak jujur dari awal, sebaiknya kamu berhenti mengharapkan aku yang tidak berguna ini, menikahlah dengan gadis lain yang pantas dan layak untukmu.. maafkan aku Re..” Marisa menyeret langkahnya menjauh dari Re, yang masih berdialog dengan diri dan hatinya sendiri untuk mengambil kesepakatan. Re mengejar langkah Marisa yang tertatih beberapa meter didepannya.
“ Marisa, “ dalam dekap haru biru Re memeluk gadis itu dengan keseluruhan hati yang dimilikinya, Marisa tertegun. Menyaksikan pria pujaannya itu menangis mendekapnya erat dan kuat. Re tidak ingin melepaskan Marisa lagi. Ia ingin memiliki hati gadis ini, hati yang kuat, tegar dan sabar. Ia ingin ikut merasakan penderitaan Marisa melawan penyakitnya. Ia ingin menjadi satu – satunya pria yang bisa mewujudkan impian Marisa. Re melepas pelukkannya.
“ dengar “ Re tersenyum, menggenggam jemari Marisa dan menatapnya tulus.
“ maukah kau tua bersamaku..?” ucap Re penuh permohonan. Gadis itu terperangah dan shock. Ia menggeleng tak percaya.
“ aku akan merawatmu, seumur hidupku …”ujar Re lagi. Mata Marisa basah berair.
“ Re…”
“ Sssstttt, “ Re menutup bibir Marisa dengan jarinya. Ia membingkai wajah Marisa lembut, mengecup keningnya dan membawa dalam dekapan cinta yang tulus. Tangis Marisa semakin deras, hatinya bahagia dan terluka. Ada ribuan gadis yang bisa Re pilih untuk menjadi bintang dihidupnya, dan Marisa adalah pilihan yang Re pinta lagi untuk menemaninya disisa hidup ini. Seumur hidupnya Ia tidak pernah sebahagia ini.
Senja merambat semakin gelap, tak terasa malam menciptakan pemandangan indah dilangit, Maha karya sang khalik. Bintang – bintang nan jauh terlihat kecil dan berkelip mesra.
“ Bintang jatuh “ jerit Re tiba-tiba. Ia memejamkan mata dan menyatukan kedua tangannya dalam genggaman. Marisa memandangnya geli.
“ apa yang kamu pinta ?” tanya Marisa, Re membuka matanya dan tersenyum .
“ aku memohon, kamu panjang umur dan menjadi tua bersamaku dan memiliki malaikat-malaikat kecil, suatu saat nanti “ Marisa memandang jauh pada bintang-bintang yang sudah lama menghilang. Ia tersenyum riang, sangat bahagia.
“ kita pulang “ ajak Re, Marisa mengangguk. Mereka berjalan bergandengan, membawa harapan baru dihati juga masa depan. Cinta adalah anugrah, inspirasi, kehidupan dan masa depan untuk siapapun yang percaya, dengan kekuatannya.
$. €. K. |. ∆. N.
Terimakasih buat semua sahabat Steemit
Salam sejahtera dan sukses selalu.amin