Untold Stories: Nano-Nano Kuliah di Luar Negeri

in #studyabroad6 years ago (edited)

Kalau lihat judulnya, komentar pertama khalayak ramai pasti, "Huff.. Gak bersyukur!"

Tapi duka itu benar. Makanya statistik pelajar yang bunuh diri ketika di luar negeri itu gak main-main.

Karena kurang iman? Ya, bisa jadi itu salah satu faktor. Tinggal dan kuliah di luar negeri memberikan kita begitu banyak keleluasaan dan akses yang tidak terbayangkan, sehingga kadang orientasi dunia tidak tertanggungkan lagi. Kalau di Indonesia orientasi dunia adalah jadi pecinta korea dan jepang sampai lupa shalat dan jadi pengagum keseksian cewek-cewek seksi atau oppa korea, di sini levelnya bisa lupa bertuhan dan beragama. Di Indonesia bisa juga sih, namun faktor lingkungan di sini memang sangat berpengaruh. Kita bisa jadi satu-satunya muslim dalam radius puluhan kilometer, satu-satunya orang Indonesia, atau satu-satunya yang berjilbab.

Ada musim dingin yang kelabu setiap saat dan memancing aura depresif. Statistik bunuh diri di winter juga meningkat tajam lho. Teman saya yang tinggal di daerah Bayern pernah bercerita bahwa sering banget kereta terlambat atau dibatalkan karena ada yang melompat ke rel kereta. Biasanya puncaknya menjelang Natal. Kesepian yang tak tertahankan, juga aura kelabu winter yang memancing keluarnya perasaan depresi.

Semua ini gak mudah.

Di beberapa kota di Jerman, populasi pelajar dan masyarakat Indonesia lumayan banyak. Biasanya di tempat seperti ini mereka saling tolong menolong dan menguatkan. Mulai dari bantu pindahan, menjenguk kalau ada yang sakit, juga kegiatan rutin seperti pengajian dan lainnya. Ini agak lumayan, sehingga kesepian hidup sebagai minoritas tidak begitu terasa.

Sebaliknya, di beberapa tempat yang tidak banyak orang Indonesia, pelajarnya hidup terasing. Berbaur dengan orang Jerman sulit, tidak semua punya stok pemahaman akan agama yang kita anut. Belum lagi banyak yang mengasosiasikan kedekatan dengan berkumpul di bar atau di klub. Beberapa orang memilih berbaur dengan cara ini, beberapa memilih tidak.

Belum lagi faktor makanan, kuliah yang terhitung berat dan sulit...banyak.

Beberapa penghiburan adalah doa panjang, pertemuan dengan orang Indonesia lain yang bisa memberikan sedikit kehangatan, makanan enak, dan jalan-jalan.

Lenovo_A1000_IMG_20180107_152042.jpg

Lenovo_A1000_IMG_20180103_182023.jpg

(btw, jangan tanya rasanya ya 😏 )

Untuk opsi orang Indonesia atau orang lain, saya tidak berani banyak berharap. Soalnya itu bukan sesuatu yang bisa diatur. Ketika pertama kali tiba di Heidelberg misalnya, saya dikenalkan dengan seorang mahasiswi asal Indonesia di sini. Beberapa kali kontak, saya meminta untuk bertemu, tapi selalu saja gagal.

FYI, orang Indonesia yang tinggal di luar negeri itu beragam. Ada yang malas bergaul dengan sesama orang Indonesia. Ini beneran lho, saya sering lihat dan dengar sendiri, bahkan ada yang bilang kalau orang Indonesia itu ngeselin dan suka ngerepotin, makanya lebih baik bergaul dengan bule aja. Ada juga yang mau kumpul dengan komunitas Indonesia kalau agendanya senang-senang, misalnya. Kalau giliran dimintai tolong, langsung kabur. Ada yang kalau ketemu sesama Indonesia di jalan buang muka. Ada, semua itu ada.

Makanya memang gak bisa berharap sama manusia di sini.

Jujur pas di awal itu sempat mempengaruhi saya. Saya sampai berhenti minta tolong atau mengatakan kesulitan saya pada siapapun. Sampai ketika kontrak flat saya habis dan saya terancam tidak punya tempat berteduh selama seminggu (karena biasanya kontrak flat baru dimulai awal bulan), saya diam dan tidak memberitahu siapapun, walau saya punya beberapa orang teman di sini.

Ketika bertemu dengan teman saya itu, saya keceplosan cerita... Dan saya dimarahi,

"Ade, kamu gak bisa gitu. Kamu tahu, kita di sini itu sedikit. Jauh dari keluarga. Kalau bukan teman sebangsa, seagama, siapa lagi yang bisa kita andalkan? Jangan takut minta tolong, jangan takut bilang kalau ada kesulitan. Percayalah, rata-rata orang akan berusaha menolong."

Saya terharu banget ketika itu. Di saat saya merasa begitu sendiri, ada yang mengingatkan, bahwa saya tidak sendiri.

Kata-kata seorang teman lain juga senada, karena tahu kebiasaan saya yang diam-diam aja kalau kesulitan,

"Ade, kalau kangen, hubungi, bilang. Kalau kesepian, sedih, pingin pelukan, bilang. Kalau perlu bantuan, bilang. Mungkin tidak semua orang bisa membantu, namun pasti akan selalu ada yang mau dan bisa membantu. Jangan takut bilang. Kalau tidak... Nanti hatimu keras."

Saya terdiam lagi, mengangguk.

Dan orang-orang inilah, yang selalu Allah kirimkan kepada saya untuk menghibur, dalam pengasingan ini.

~Heidelberg, ketika rindu, katakan saja

Sort:  

hi want more 100 upvotes and curation reward just follow link
https://steemfollower.com/?r=6713

Selalu ada sisi gelap yang tidak nampak kalau dilihat dari jauh, keep spirit mama bear 🐻

Makasih Bang, kadang pingin curcol gini biar disemangati juga 😕

Aku paling suka nih baca-baca curhatan kekgini. Kan kami orang dusun yang terlalu lama di Indonesia ga tau cerita-cerita tinggal di luar negeri kekmana. Itu orang-orang bunuh diri di kereta, mahasiswa Indonesia apa orang lokal, De? Ditunggu cerita-cerita hidup di Jerman lainnya.