Perjalanan Menemukan “Pawang” Terakhir “Uwer” di Dataran Tinggi Gayo/ The Journey to Find the Last Keeper of "UWER" at Gayo Highland

in #travel7 years ago

Dear All Steemian...
Akhirnya... setelah istirahat mengirimkan postingan, hari ini aku bisa memosting tulisan kembali......semoga bisa menghibur siapapun yang membaca tulisan ini...

(Bagian I- Pendahuluan)

Setiap berbicara tentang dataran Tinggi Gayo, yang menyeruak adalah Saman, Didong, Pacuan Kuda, keanekaan kuliner dan keindahan wilayahnya. Belakangan ini, peninggalan arkeologi berupa fosil manusia purba Tanah Gayo ikut mewarnai pembahasan tentang masyarakat Gayo. Selain hal-hal tersebut, rasanya sangat sedikit sekali orang tertarik untuk membicarakan bagian lain tentang masyarakat Gayo. Tulisan berikut ini adalah bagian pertama dari 3 hari perjalananku untuk menemukan sisi lain dari masyarakat Gayo bersama dengan beberapa mahasiswa dan kolegaku. Tulisan ini dibuat dalam upayaku untuk mencari tahu tentang “Uwer” sebagai sebuah sistem peternakan Kerbau tradisional orang Gayo. Tanpa kusadari perjalanan tersebut tetap mengantarkanku pada singgungan dengan kekhasan Dataran Tinggi Gayo mencakupi berbagai hal yang telah diungkap di awal mulai dari keindahan alam, keramahan penduduk dan kekhasan kulinernya. Semoga setelah membaca tulisan ini, steemian bisa melihat bahwa masih ada bagian dari kekayaan Masyarakat Gayo yang layak ditampilkan kepermukaan agar dikenal banyak orang.


Koro: Sebutan orang Gayo kepada Kerbau, pusat dari "Uwer" dan Juga Alasan utama Aku melakukan perjalanan ke Dataran Tinggi Gayo

Kisah perjalanan ke dataran Tinggi Tanah Gayo pada dasarnya bermula dari pengalamanku di kisaran menjelang akhir tahun 2010. Saat itu, aku ikut dalam rombongan mahasiswa Antropologi yang lagi melakukan aktivitas di Desa Bintang, Aceh Tengah. Di sela mengikuti kegiatan tersebut, di tepian Danau Laut Tawar, tidak jauh dari lokasi kegiatan aku bertemu dengan seorang pria yang sedang memancing ikan. Seingatku, wajah pemancing tersebut tidak terlalu tua, namun juga jelas tidak bisa disebut muda. Guratan pengalaman terkesan kuat di wajahnya. Taksiranku usia lelaki itu mungkin paruh baya, sekitar 50 ke 55 tahun. Pertemuan dengannya tanpa sadar telah menambah pengetahuanku tentang masyarakat Gayo, terutama menyangkut sistem peternakan tradisional di masyarakat Gayo. Sepulang mengikuti kegiatan tersebut, pengetahuan tentang sistem peternakan kerbau yang dipraktekkan oleh masyarakat Gayo masih menggangguku hingga beberapa waktu kemudian. Seiring dengan aktivitas dan pilihan hidup, di akhir tahun 2011 aku memutuskan untuk kembali hanya bekerja di Medan. Setelah itu, perhatianku akan sistem peternakan kerbau yang secara tradisional dipraktekkan masyarakat Gayo mulai pudar. Namun demikian, takdir berkata lain, di awal tahun 2015 dengan berbagai pertimbangan aku kembali berkarir di Lhokseumawe. Tak sangka sekembali aku aktif mengajar di Lhokseumawe, rasa penasaranku terhadap sistem peternakan masyarakat Gayo kembali muncul. Rasa penasaran itu kemudian kutekadkan dalam hati dengan keputusan bahwa jika aku nanti berkesempatan untuk melanjutkan studi, maka tema tentang sistem peternakan tradisional Orang Gayo tersebut akan ku pilih sebagai topik tugas akhirku.

Menjelang dua tahun sekembalinya aku mengajar di Lhokseumawe, kesempatan untuk lebih mengenal sistem peternakan tradisional Gayopun semakin menguat. Berdasarkan penelusuranku atas publikasi yang ada dan hasil diskusi dengan beberapa orang Gayo, akhirnya kuketahui bahwa tempat beternak kerbau secara tradisional oleh Orang Gayo disebut “Uwer” dan sistemnya dikenal dengan “Pureweren”. Jalan memahami “Uwer” dan “Pureweren” semakin terbuka saat aku punya kesempatan untuk melakukan perjalanan di Culture Area Masyarakat Gayo yang mencakup, Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Gayo Lues.

Aku sangat ingat hari itu, ya.. Jum’at tanggal 21 April 2107. Sebelum sholat Jum’at, aku telah berulang kali menelepon Murhaban, salah seorang mahasiswaku yang baru saja tamat dan kebetulan bekerja di sebuah perusahaan penjualan mobil bekas. Selainan menjual mobil, tempat ia bekerja juga memberikan layanan penyewaan mobil. Seteleh aku mendapat kepastian adanya mobil yang bisa disewa untuk tiga hari ke depan, akhirnya aku dan Murhaban sepakat untuk berangkat ke Datarang Tinggi Gayo setelah selesai sholat Jum’at. Akhirnya dengan segala hambatan pekerjaan yang ada, aku dan Murhaban berjumpa sekitar pukul 14.10 WIB di kampus. Hari itu hujan gerimis telah menggangu banyak aktivitas termasuk aktivitasku aku. Sesaat sebelum berangkat aku mengusulkan bahwa sebaiknya aku membawa teman yang kenal dengan wilayah Tanah Gayo. Murhaban setuju saja. Memang beberapa hari sebelumnya aku sudah mengontak dua orang. Satu orang adalah mahasiswa senior, Munawar namanya dan seorang mahasiwa yang berasal dari dataran Tinggo Gayo bernama @sadramunawar. Saat bersamaan aku juga menawarkan kepada kolega seniorku Bang Ibrahim Chalid untuk ikut. Dengan senang hati, bang Ibrahim menyanggupi. Keluarga Bang Ibrahim telah lama tinggal di Kabupaten Aceh Tengah yang juga bagian dari Dataran Tinggi Gayo. Saat menjemput Bang Ibrahim, kami juga berjumpa dengan kolegaku lainnya yang bernama Bang Ari. Ia juga tertarik untuk ikut bersama kami. Setelah semua berkumpul dan bersiap, akhirnya sekitar pukul 17.00 WIB kami bereenam memulai perjalanan ke Dataran Tinggi Gayo.


Munawar, Murhaban, Sadra: Sebagian Tim Berpose di Dataran Tinggi Gayo

Menurut rencana dan sesuai dengan bahan bacaanku tentang sebaran wilayah orang Gayo, aku memperkirakan bahwa kami akan mengunjungi tiga kabupaten yang dihuni oleh orang Gayo. Kebupaten pertama yang dihuni oleh Orang Gayo yang akan kami sianggahi saat kami berangkat dari Kota Lhokseumawe adalah Bener Meriah. Perjalanan menuju Bener Meriah kami putuskan melalui rute atau jalur baru. Jalur baru ini akan bisa menyingkat waktu perjalanan dengan bonus suguhan pemandangan yang menarik. Rute atau jlur ini dikenal dengan jalur PT. KKA. PT. KKA sendiri adalah akronim dari PT. Kertas Kraft Aceh, yaitu sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi kertas. Perusahaan inilah yang dahulu merintis jalan ini sebagai jalan opersional mereka untuk melakukan penebangan hutan.


Sumber: http://lintasgayo.co/2016/03/09/
Ruas Jalan KKA Aceh Utara- Bener Meriah

Perjalanan dari Lhokseumawe menuju Dataran Tinggi Gayo melalui jalur ini benar-benar mengasyikkan. Kondisi jalur semuanya menanjak dan kita akan dihidangi dengan pemandangan yang indah. Pada beberapa bagian di pinggiran badan jalan telah dibangun pondok-pondok yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat beristirahat dan memandang ke bentangan bukit dan gunung. Namun sangat disayangkan, dalam perjalan sore itu kami tidka bisa menikmati pemandangan karena hujan yang mengguyur. Hujan telah membatasi kami untuk melihat pemandangan yang ada di kanan dan kiri jalan. Di salah satu bagian rute lintasan ini, terdapat satu kawasan yang oleh masyarakat dikenal dengan bukit atau juga kerap disebut Gunung Salak. Aku tidak tahu kenapa kawasan itu disebut Gunung Salak. Apakah dahulu di daerah tersebut banyak pohon Salak atau tidak? Tak seorangpun yang ikut rombongan perjalanan bisa menjawab. Di sebuah tikungan pada lintasan di kaki Gunung Salak ini terdapat sebuah tempat untuk memandang yang lokasinya relatif telah tertata. Sekalipun gerimis, kami memutuskan untuk singgah sekedar meminum kopi. Sebagianteman yang lain memanfaatkan waktu istirahat untuk merokok. Ini dikarenakan selama perjalanan aku melarang mereka untuk merokok.Suasana di tempat pemberhentian di Gunug Salak itu memang sangat menarik. Dari salah satu sudut lokasi pemberhentian tersebut kita bisa memadang dengan leluasan ke hamparan hutan dan ladang yang ada di sekitar.


Kabut Menyelimuti Pegunungan: Panorama Biasa di Gunung Salak

Waktu istirahat kami di Gunung salak hanya sebentar. Perjalanan kami lanjutkan ke Simpang Tiga Bener Meriah. Kami berencana akan menginap di rumah salah satu seniorku saat di Pesantren dulu, Kabir Zulkifli aku menyapanya. Karena hujan masih mengguyur, perjalanan dari Gunung Salak ke Simpang Tiga kami jalan dengan sedikit lambat dan menjelang Sholat isya sekitar jam 20.00 WIB barulah kami tiba di Simpang Tiga dengan terlebih dahulu sholat di sebuah mesjid yang menurutku indah. Mesjid Istiqomah bangunannay tidak begitu besar namun cukup nyaman. Air yang kami gunakan untuk wudhu begitu dingin terasa. Mungkin karena air lansung bersumber dari mata air, maka kesegarannya begitu terasa. Tidak lama setelah sholat, kamipun akhirnya bertemu dengan seniorku tersebut dan kami menuju rumah untuk bermalam di sana.


Sumber: lintasgayo.co/wp-content/uploads/2017/04

Bersambung...

Semoga ada yang bersedia menunggu lanjutannya...he...he...:-)

Sort:  

Last uwer in the world

Iya..english version on preparation

Sepertinya tulisan ini tidak bisa dilamakan lanjutannya bang hehe

keren pak @akhyarnasution tulisannya (y) sangat menginspirasi o saya tunggu lanjutannya pak ^_^

On progress kak...

Congratulations @akhyarnasution! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of upvotes received

Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here

If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

By upvoting this notification, you can help all Steemit users. Learn how here!

Postingan yang bagus

Congratulations @akhyarnasution! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :

Award for the number of upvotes

Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here

If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word STOP

By upvoting this notification, you can help all Steemit users. Learn how here!