[Sega Na Leqa #03] Berdamai Dengan Badai, Bertahan Hadapi Topan

in #travel6 years ago (edited)

image
Cyclone season is here. Please be prepared!

Demikian pesan teks yang masukke ponsel saya pada tanggal 14 Desember 2013. Dikirim oleh Vodafone, provider selular di Fiji. Negeri kecil di Pasifik Selatan ini rutin diterpa badai atau topan yang dikenal sebagai cyclone.

Fiji, negeri kepulauan dengan 330-an pulau. Beriklim tropis. Memiliki dua musim utama. Musim kering selama bulan Juni hingga Oktober. Musim basah sedari November hingga April. Musim basah atau musim hujan cenderung lebih hangat dan sumuk. Pada musim basah inilah cyclone hadir.

Cyclone menjadi bencana alam paling menakutkan bagi masyarakat Fiji. Rasio kemungkinan terjadi badai setiap tahun mencapai 0,75 %. Kadang Cyclone tidak sendiri. Ia membawa banjir. Sering menerpa Nadi dan Lautoka. Keduanya ada di pantai barat pulau terbesar di Fiji. Viti Levu.

Seberapa besar dampak akibat cyclone? Ronald Rohit Kumar, warga Caubati, tepian kota Suva, hampir kesulitan menjelaskan dengan kata-kata. Pengusaha cinderamata berbahan kayu ini menirukan suara angin. Memperagaan pohon-pohon bergoyang bahkan tumbang. Lalu dengan tubuhnya yang gempal ia peragakan betapa susahnya melangkahkan kaki melawan tiupan angin jika terpaksa keluar rumah.

image

Ronald yang sering mengundang saya bercakap di rumahnya ini menunjukkan sejumlah pohon kelapa di dekat rumahnya. Pokok-pokok nyiur di sana digunduli pucuknya. Yang tertinggal hanya pokok menyerupai tiang. Bila tak digunduli, akan mudah terdorong angin. Tumbang. Bahkan mungkin tercerabut. Menimpa rumah.

Menggunduli pohon kelapa tak ubahnya menggulung layar kapal agar tak menangkap angin. Pohon-pohon kelapa setinggi 5 meter ke bawah dibiarkan tetap berdaun. Demikian pula dengan pohon-pohon kelapa yang tinggi tetapi jauh dari bangunan.

Persiapan menyambut cyclone akan makin sibuk jika pemerintah sudah mengumumkan peningkatan siaga bencana. Jika pemerintah sudah mengumumkan prediksi akurat tentang kemungkinan badai, penduduk Fiji akan menutupi jendela kaca dengan papan di sisi luar rumah. Seringkali angin topan ini menerbangkan potongan kayu, kerikil atau benda-benda padat lain hingga terlontar memecahkan kaca. Agar atap rumah tidak dirobek atau diterbangkan angin, mereka mengikat atap rumah. Cara lain dengan menaruh berbongkah-bongkah kayu besar atau batako di atas atap.

Tentang pohon kelapa yang tumbang atau atap rumah yang diterbangkan badai adalah kejadian umum di Fiji. Ketika saya menyambangi mess pekerja konstruksi asal Indonesia di Nadi, mereka bercerita banyak tentang pengalaman merasakan badai cyclone. Termasuk cara mengurangi dampak bencana cyclone dari sisi konstruksi.

image

Bulan Desember 2012. Ketika itu musim badai. Nana Suhana dan Budi, dua warga Indonesia di Fiji, sedang memantau keadaan dari belakang mess. Di hadapan mereka sebatang pohon kelapa bergoyang hebat diayun angin. Mirip wiper kaca mobil yang sedang bekerja.

“Pohon kelapa itu pasti tumbang, kata saya ke Budi. Beberapa detik kemudian, benar tumbang. Untung jauh dari rumah orang,” kenang Nana.

Lelaki berdarah Sunda – Ogan ini juga bercerita tentang teras depan mess tempatnya yang tercabut hingga tiang-tiangnya diangkat angin. Bangunan teras itu kemudian terbang. Melompati bangunan. Sejauh kurang lebih 20 meter. Pindah ke dekat teras belakang. Bagian teras yang hilang itu kini diganti dengan teras darurat dengan bangunan seadanya.

Nana juga menunjukkan bagian atap ruang tidurnya. Habis dimakan pokok pohon pinus yang terdorong-dorong angin. Jarak antara kulit pohon dan ujung atap hampir lebih dari dua jengkal. Pohon pinus berdiameter 30-an cm itu berjarak sekitar hampir satu meter dari dinding kamar tidurnya. Cukup jauh sebenarnya. Tapi pokoknya doyong tertiup angin, lalu bergoyang. Bergesekan dengan atap.

Ketika saya datang ke mess mereka, dahan-dahan si pohon pinus tampak baru dipangkas. “Supaya aman kalau-kalau tahun ini cyclone datang tahun ini,” jelas Nana.

Mimpi Buruk Jelang Natal


Masih bulan Desember 2012. Hotel dan resor wisata di Nadi sudah siap menyambut perayaan Natal. Selain untuk menjamu turis, penduduk Fiji memang mayoritas beragama kristen (58%). Semua pohon sudah dihias dengan lampu-lampu aneka warna.

Tiba-tiba cyclone yang dijuluki Badai Evan, datang. Menyapu semua pohon menjadi gundul. Jangankan lampu hias, daun-daun pun tidak ada yang tersisa. Pepohonan yang semula hijau, berubah mirip pohon-pohon merangas. Pokok, dahan, dan ranting berwarna kecoklatan.

Badai Evan melalui Fiji saat itu berkecepatan 270 km per jam. Setara dengan kecepatan Shinkansen, kereta super-cepat di Jepang. Berdasarkan skala Saffir-Simpson, badai Evan yang mendera Fiji kala itu tergolong tingkat 4. Skala terendah 1, dan skala tertinggi 5.

Meski tak ada korban jiwa, badai Evan meluluh-lantakkan banyak hal. Kerusakan bangunan membuat sekitar 8.000 warga Fiji, termasuk turis, terpaksa dievakuasi. Kerugian di sektor pertanian, perikanan, kehutanan, bahkan membatalkan sejumlah acara pariwisata dan penerbangan, dan lain sebagainya. Kerugian ekonomi yang amat besar bagi negeri berekonomi rendah ini.

Jaringan listrik dan air mati. Badai terburuk telah membenamkan Fiji ke malam-malam yang gelap. Karenanya pemerintah Fiji kemudian membatalkan perayaan natal nasional tahun itu. Badai menjadi mimpi buruk jelang perayaan natal tahun 2012. Berubah menjadi bencana nasional.

Sekitar tiga minggu setelahnya, barulah pemandangan kembali menghijau. Tahun sudah berganti.

Adaptasi konstruksi

image

Dari para “duta” konstruksi ini saya memahami bagaimana bencana alam yang rutin terjadi di Fiji mempengaruhi konstruksi bangunan di sana.

image

Aslinya, rumah tradisional penduduk asli Fiji yang disebut “bure” (baca: mbu-re) yang terbuat dari kayu-kayu besar dan beratap daun pandan-pandanan atau palm. Rumah tradisional ini tergolong adaptif terhadap iklim setempat. Termasuk ketika berhadapan dengan badai, sekalipun beratap tinggi dan mengerucut. Selain kekuatan bahan berupa kayu-kayu yang kuat dan teknik ikat yang tepat, keseimbangan alam pada masa lalu memungkinkan bure tetap bertahan meski cyclone datang.

Rumah penduduk Fiji masa kini umumnya memiliki atap landai dengan sudut lebar. Tidak mengerucut seperti kebanyakan rumah di Indonesia. Berbahan lempeng seng.

image

Merendahkan sudut atap dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan terjangan angin. Tetapi lembaran seng yang lebar dan solid relatif mudah terangkat oleh angin kencang. Karena itu, pemasangannya dilakukan dengan ekstra-kuat. Setiap dua cekungan seng dipaku ke kayu rangka atap. Sambungan kayu penyusun rangka pun diikat dengan pelat besi supaya tak mudah lepas. Seringkali pemilik rumah masih harus mengikat keseluruhan atap pakai kawat sling yang dipasak kuat ke tanah atau pokok pohon.

Pemasangan dinding berbahan bata pun diberi pengamanan ekstra. Jika susunan bata dianggap baris (mendatar) dan kolom (vertikal), maka setiap tiga baris dan satu kolom bata diberi “tulang” berupa besi behel.

image

Informasi dan Penanganan


Badai Evan yang menyapu Fiji pada akhir tahun 2012 telah menyebabkan kerugian sekitar 170 juta dolar Fiji (FJ$). Ditambah lagi dengan kerugian ekonomi jangka pendek berkaitan dengan bencana ini ditaksir mencapai FJ$ 73 juta.

Meski demikian, untuk pertama kalinya dalam sejarah kontemporer Fiji, tak ada korban jiwa akibat badai atau cyclone besar menghantam negeri ini. Bandingkan dengan Samoa yang pada saat yang sama juga dilalui badai Evan. Korban tewas mencapai 14 orang, dan 10 orang pelaut dinyatakan hilang. Samoa juga menderita kerugian ekonomi sebesar 200 juta dolar Australia.

Keberhasilan Fiji menghadapi bencana cyclone tanpa korban jiwa menandakan bahwa setiap individu, keluarga, kelompok masyarakat, dan pemerintah sudah sigap. Tanggap bencana. Mulai dari perencanaan yang baik.
Penanganan bencana oleh pemerintah juga dilakukan secara cepat dan tepat. Pengumuman awal tentang ramalan waktu maupun skala bencana yang mungkin timbul, pembangunan pusat-pusat evakuasi, serta edukasi bagi masyarakat yang telah dilakukan sebelum bencana datang.

Akrab dengan bencana membuat warga dan pemerintah Fiji siaga menghadapinya. Informasi menjadi kunci awal keberhasilan mereka. Begitu masuk musim penghujan, melalui media massa (televisi, radio, dan koran), pemerintah mengingatkan masyarakat agar mewaspadai datangnya cyclone. Informasi juga dikirim secara langsung melalui pesan teks ke setiap pengguna ponsel di Fiji. Community post yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah di setiap kampung pun turut andil dalam penyebaran informasi layanan masyarakat terkait “siaga bencana”.

Informasi akurat tentang kapan badai diramalkan akan datang, biasanya diumumkan 3 hari sebelum kejadian. Jika sudah begitu penduduk akan sibuk mempersiapkan diri. Jendela-jendela kaca akan ditutupi dengan papan agar tak pecah terhantam benda-benda padat yang diterbangkan angin. Atap rumah yang umumnya terbuat dari seng ditimpa dengan bongkah-bongkah batako agar tak mudah diterbangkan angin. Bahkan atap pun diikat dengan tali yang dikaitkan ke pasak yang tertancap kuat di tanah atau ke pokok pohon yang kuat. Serta memangkasi cabang pohon yang berlebihan di dekat rumah atau jalan.

“Setelah menerima informasi akurat terkait ramalan badai, toko-toko dan supermarket ramai kelewat. Orang-orang di Fiji menyiapkan perbekalan selama badai berlangsung. Terutama bahan pangan kering dan air minum,” cerita Erwin Rudianto, staff KBRI di Suva. Biasanya, seluruh warga Indonesia diminta berkumpul di Wisma Indonesia, rumah duta besar RI untuk Fiji. “Di sana ada bunker. Tempat evakuasi yang aman.”

Selain bahan makanan dan minuman, warga Fiji juga mengemas perlengkapan penting. Di antaranya, senter, baterai, obat dan alat P3K, pakaian hangat, dan selimut. Kartu identitas juga penting untuk selalu dibawa. Terutama saat evakuasi. Radio, ponsel dan nomor telepon penting termasuk yang perlu disiapkan sekali pun kebanyakan pada saat badai berlangsung di Fiji, semua jaringan komunikasi mati. Listrik pun padam.

Masih banyak hal yang perlu diperhatikan orang-orang Fiji menghadapi cyclone datang. Tergantung juga dengan keadaan di sekitar rumah dan sektor. Bagi para pemilik kapal atau perahu, misalnya, harus memastikan bahwa perahu bersandar dengan kuat dan layar dalam keadaan tergulung. Terlihat bertapa seluruh manusia di negeri Fiji cukup sigap menghadapi bencana. Dengan itu mereka bisa bertahan hadapi topan sekaligus berdamai dengan badai.

Kembali saya teringat pada pesan teks yang terbaca di ponsel. “Cyclone season is here. Please be prepared!” Persiapan yang baik memastikan keberhasilan penanganan bencana. Masyarakat dan pemerintah Fiji sadar akan hal itu. Sekalipun persiapan sudah dilakukan, saya sendiri tetap berharap musim cyclone yang sekarang sedang berlangsung tidak berujung pada bencana.

Sebagian teks dan foto pernah dipublikasikan di Kembangdesa ditambah foto tambahan diambil dari catatan Cech Gentong.

Sort:  

"Bure" bagus sekali itu ya.
Duh jadi pengen kesana buat foto.
Apa daya...

sederhana tapi sesuai dengan keadaan setempat. sebenarnya mirip dengan rumah-rumah tradisional di beberapa wilayah di Nusantara, mbak.


Postingan ini telah dibagikan pada kanal #Bahasa-Indonesia di Curation Collective Discord community, sebuah komunitas untuk kurator, dan akan di-upvote dan di-resteem oleh akun komunitas @C-Squared setelah direview secara manual.
This post was shared in the #Bahasa-Indonesia channel in the Curation Collective Discord community for curators, and upvoted and resteemed by the @c-squared community account after manual review.

Terima kasih atas apresiasi @c-squared atas catatan ini.