Resensi Novel Islami ‘Namaku Naura’ Pesan Yang Sedikit Menyesatkan Umat

Judul Novel : Namaku Naura
Pengarang : Alfina Dewi
Penerbit : Diva Press
Tebal : 454 Halaman
Tahun Terbit : 2012

Novel ini mengangkat tema tentang kehidupan rumah tangga yang islami, Alfina Dewi menyajikan sebuah novel yang berjudul ‘Namaku Naura’, Tokoh utama dalam certita novel ini yaitu Naura Dewi, seorang gadis cantik yang sholeha, yang tanpa ia sadari ia telah jatuh cinta pada seorang ustadz muda yang begitu tampan, soleha, anggota legislatif, sekaligus putra dari seorang kiai terpandang yang bernama Muhammad Fariza, Namun begitu disayangi, cinta Naura tidak berjalan mulus, cinta yang begitu rumit, karena mencintai lelaki yang sudah beristri dan mempunyai dua orang anak. Sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan terjadi dalam kehidupan rumah tangga Fariz bersama istri, pasangan suami istri ini memiliki konflik dalam rumah tangannya yang tidak dapat dibendung lagi, meskipun Fariz sudah berusaha untuk meredakan konflik dalam rumah tangga mereka, tapi apa daya hubungan mereka tetap saja tidak harmonis. Dengan keadaan rumah tangganya yang memanaskan hati, ustad muda tersebut pun jatuh hati pada Naura, ia merasakan berada dilembar yang baru bersama Naura, seperti ada yang mentransfer kebahagiaan pada Fariz. Seiring berjalanhya waktu cinta mereka semakin mekar tanpa disadari, seperti remaja yang sedang dimabuk cinta, kisah cinta merekapun berunjung pada pernikahan yang diam-diam antara Fariz dan Naura, tentu tanpa seizin istri pertamanya. Sejak berstatus sah menjadi istri dari Fariz, perjuangan panjang dari Naura Dewi yang mempertahankan cinta dan agamanya. Dalam Novel ‘Namaku Naura’ sang penulis Alfina Dewi berusaha menyampaikan pesan tentang ketabahan dan kesabaran seorang wanita sholeha yang berjuang dalam garis takdir yang pahit dan manis yang telah digariskan Tuhan. Mengamanatkan perjuangan dari seorang wanita dalam mendidik anak-anaknya, juga mempertahankan cinta yang telah ia tanam dalam hatinya.

Dari sudut pandang orang pertama, Alfina Dewi sepertinya berhasil membawa para pembaca kedalam suasana pada pondok pasantren milik Naura yang begitu teduh dan menentramkan. Penulis mampu menggambarkan dengan baik keadaan dalam lingkungan tempat tokoh Naura tinggal, sehingga para pembaca seakan-akan ikut merasakan berada di pondok pasantren tersebut. Alfina Dewi juga berhasil membangun keterkaitan emosi antar tokoh secara syahdu.
Namun yang sangat disayangkan sekali dari novel ini, pesan-pesan ‘islam’ yang menjadi ‘sampul’ dari novel ini hanya sebuah pesan yang kosong. Diibaratkan sebuah buku novel ‘Namaku Naura’ hanyalah sebuah buku bersampul cantik, tanpa isi yang bermanfaat. Wajah islam yang hakiki yang berusaha ditampilakan Alfina Dewi dalam buku ini, nyatanya hanya pesan kosong. Alfina Dewi justru menyesatkan pemahaman para pembaca melalui beberapa adegan yang ia tulis.

Beriku petikan dari isi novel ‘Namaku Naura’ yang menyimpang :
Mata kami saling menatap sepenuh rasa, sepenuh kangen, rindu, sayang, cinta, seolah semua rasa yang ada di dada kami terwakili oleh tatapan mata kami. Dia mendekatiku. Napasku kutahan, bibirku kugigit dan tangannya meraih kedua tanganku, pelan diletakkannya ke dadanya. Tanganku merasakan degup jantungnya. Aku tidak bisa mengungkapkannya, Dik, biar kau sendiri yang merasakannya.
Diraihnya kepalaku ke dadanya. Aku tidak bisa lagi mendefinisikan rasaku. Yang kurasa hanya melayang. Di dadanya yang kokoh aku begitu damai dalam lembut rangkuhannya. (Hal 49 dan 50).
Perlu diketahui bahwa dalam adegan diatas. Saat itu Ustad Fariz belumlah sah menjadi suami dari Naura Dewi, Ustad Fariz juga masih beristri dan perilaku yang mereka lakukan diatas sama saja dengan berselingkuh, apa lagi keduanya bukan muhrim, namun keduanya bermesra-mesraan dengan berlebihan. Padahal jelas dalam agama islam, perbuatan yang dilakukan di atas sangat dilarang oleh Allah SWT.
Sebuah hadits menyatakan :
“janganlah salah seorang dari alian berkhalwat (berdua disuatu tempat tanpa ada orang lain) dengan seorang wanita tanpa ada mahram wanita tersebut karena setan menjadi yang ketiga di antara mereka berdua” (Hadits Riwayat Ahmad).

Namun novel yang berjudul ‘Namaku Naura’ yang bersampul ‘islami’ sama sekali tidak mengandung nilai-nilai ajaran agama islam ini tidak perlu dibaca kalangan dengan ilmu agama yang masih sangat minim, karna dikhawatirkan bahwa novel ini akan memberi pemahaman yang salah terhadap umat. Namun novel ini perlu dibaca oleh para cendekiawan muslim maupun aktivis dakwah, sebagai bahan pembelajaran dalam rangka meluruskan permasalahn yang salah.
IMG-20180103-WA0018.jpg