Metode Reportase Homer Bigart

in #writing6 years ago (edited)

Sebelum kuceritakan kepadamu tentang Homer Bigart, seorang reporter The New York Times yang memiliki gaya bicara sedikit gagap, jurnalis peliput perang yang handal, dan penyabet dua hadiah Pulitzer karena liputan perangnya, lebih dulu aku akan mengisahkan dua cerita berikut ini kepada kalian.

homer.jpg
Image source

Thomas Alva Edison adalah penemu dan ilmuwan besar (kalian cari saja di Google apa saja penemuannya). Untuk merekrut karyawan atau orang-orang untuk bekerja membantunya, dia tak akan mengajukan pertanyaan ilmiah yang sulit dipecahkan atau ratusan soal yang harus dijawab seperti tes CPNS di tempat kita. Malah, metode perekrutan dan bentuk tes dari Edison sangat mudah. Calon karyawan hanya diminta menghabiskan semangkuk sup. Mudah, bukan?

Edison akan mengundang mereka yang akan diajak bekerja dengannya untuk makan siang bareng, dan kepada yang bersangkutan disajikan semangkuk sup. Lalu, Edison akan memperhatikan cara si calon karyawan itu menikmati sup, apakah membubuhkan garam ke dalam supnya sebelum mencicipinya atau tidak sama sekali.

Apa yang dilakukan Edison ini mengingatkan saya pada cara orang tua gadis Batak mengetes calon suami untuk anak gadisnya. Misalnya, jika kebetulan ada tiga lelaki yang ingin menikahi anaknya, semuanya akan diundang untuk makan siang. Di meja makan, dia akan perhatikan satu persatu cara makan mereka: ada yang bersemangat sekali, ada yang makannya pelan-pelan karena malu (jaga imej), ada yang tidak menunjukkan gairah/selera makan.

Kira-kira siapa yang akan dipilih oleh Edison untuk bekerja dengannya, dan siapa di antara lelaki itu yang bakal diterima oleh orang tua gadis Batak itu sebagai menantunya?

Dalam kasus Edison, si penemu itu tidak akan memilih orang yang membubuhkan garam terlebih dulu ke dalam mangkuk sup sebelum mencicipinya. Orang seperti itu tak akan mendapatkan pekerjaan darinya. Sementara si orang tua gadis Batak itu akan memilih lelaki yang makannya lahap sekali daripada dua lelaki yang makannya pelan dan tak memiliki selera makan.

Kalian boleh menganggap cerita kedua sebagai rekaan belaka, tapi tidak dengan cerita pertama soal Thomas Edison. Sebab, aku pernah membacanya pada salah satu buku koleksi yang kupunya. Sialnya, aku kesulitan mencarinya lagi ketika menggarap tulisan ini. Tapi, intinya memang seperti itu.

Menurut Edison orang lebih terbuka pada berbagai kemungkinan jika dia tidak menggarami sup itu. Artinya, orang seperti ini tidak didikte oleh asumsi-asumsi dasar yang lebih sering menyesatkan. Sementara orang tua si gadis Batak berpikir tentang dua lelaki yang ditolaknya. "Bagaimana mungkin aku memilih mereka, dalam urusan makan saja tidak becus dan bersemangat, apalagi dalam hal kerja, bisa lapar anakku kelak punya suami begitu," mungkin begini argumentasinya.


Kembali ke cerita soal Homer Bigart. Karena inilah inti dari tulisan ini, sementara cerita di atas hanya bumbu pelengkap saja. Boleh jadi, antara cerita di atas dengan kisah Bigart ini tidak ada hubungannya, tapi kalian butuh sedikit perenungan agar menemukan kaitannya.

Metode meliput yang dipraktekkan oleh Homer Bigart, wartawan yang kenyang meliput perang itu sangatlah sederhana: tidak mudah percaya omongan pejabat berwenang. Setiap wartawan memang harus meniru metode ini, agar tidak menjadi tukang ketik omongan orang di media tempatnya bekerja. Menulis ulang omongan pejabat itu pedih, Jenderal!

Dalam Blur: Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi (2012), Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menulis bahwa Bigart tidak gampang menelan apapun yang didengarnya, dan tidak mengutip pernyataan seorang mentah-mentah. "Dia memulainya dengan konsep tabula rasa," tulis dua penulis buku laris The Elements of Journalism itu.

Bigart memulai reportasenya seperti orang bodoh yang tidak tahu apapun, tidak dijejali dengan asumsi-asumsi sesat, dan jika seseorang memberitahunya sesuatu maka dia minta ditunjukkan buktinya.

"Dia datang dengan pengetahuan sedikit tapi lantas menguak semuanya," kata William Prochnau, seperti dikutip Kovach dan Rosenstiel. Prochnau sendiri adalah seorang koresponden perang yang masih muda ketika itu, dan dia banyak belajar dari Bigart dalam hal reportase.

5a4ee78c24653.jpg
Image source

Bigart memang tidak lama meliput perang Vietnam, namun kehadirannya ke Saigon (kini Ho Chi Minh City) memberi pengaruh luar biasa kepada para jurnalis muda yang meliput bersamanya di Vietnam. Bagi kalian yang sudah menonton film The Post, sebuah film yang mengisahkan upaya koran The Washington Post membocorkan Pentagon Papers ke publik Amerika, kalian pasti ingat Neil Sheehan, sebuah nama yang begitu diperhitungkan oleh Ben Bradlee, editor The Washington Post. Bradle bahkan sampai harus mengirim wartawan magang ke kantor The New York Times untuk menelisik apa yang dikirimkan Sheehan dari Vietnam.

Sebelum The Washington Post membongkar Pentagon Papers itu, koran The New York Times lebih dulu menulis soal perang Vietnam itu termasuk mengabarkan tentang kebohongan pemerintah mengenai perang. Penulisnya adalah Sheehan, wartawan yang belajar banyak pada Bigart. Sekiranya The Times tidak dihukum berupa pelarangan terbit, mungkin bukan The Post melainkan The Times-lah yang bakal membongkar skandal Pentagon Papers itu. Entahlah.


Bigart sebulan berada di Saigon, dan Neil Sheehan selalu bersamanya. Dalam waktu empat pekan itu Sheehan banyak mempelajari tentang metode tabula rasa atau portable ignorance (ketaktahuan portable) Bigart. Kata Sheehan, jurnalis lain hanya mempersiapkan diri alakadarnya ketika diajak oleh militer Amerika meliput ke desa-desa. "Sebelum kami turun ke lapangan, Homer meneliti pertanyaan yang akan diajukan ke para penasehat Amerika," katanya. Dia akan bertanya, apa yang ingin anda temukan, berapa unit di area, dari kesatuan mana. Dan, kenang Sheehan, pertanyaan Bigart itu tidak akan habis-habisnya.

Seusai meliput ke lapangan itu, dalam perjalanan pulang ke Saigon, Sheehan mengeluh bahwa dua hari liputan ke desa itu sia-sia saja dan tidak ada satu pun cerita menarik. "...Demi Tuhan, Homer, kita menghabiskan dua hari berjalan melewati persawahan padi dan kita tak punya satu pun cerita," Sheehan mengeluh ke Homer Bigart. Bigart lalu memandang jurnalis muda itu, dan mengatakan, "Kamu belum mengerti, ya? Mereka gagal. Program ini tak berjalan," katanya seperti dikutip Kovach dan Rosenstiel dalam Blur.

100book-blur.jpg
Image source

Alhasil, tulisan reportasi yang ditulis Bigart berbeda dengan tulisan reporter lain termasuk dari Associated Press (AP). Jika media lain memuat cerita berdasarkan pengarahan dari militer, maka Bigart menulis berdasarkan reportase lapangan. Dia membangun laporan lapis demi lapis berdasarkan kejadian yang dia saksikan langsung, dipadu dengan fakta lain yang didapat dari para tentara yang sedang berperang.

Praktis tak ada fakta dari tangan kedua dalam laporan reportase Bigart, karena dia lebih percaya pada apa yang disaksikannya langsung alih-alih mendengar klaim pejabat militer dalam pengarahan pers. Bigart menunjukkan bukti bahwa Amerika telah kalah dalam perang Vietnam, yang di kemudian hari terbukti.

"...Itulah Homer, tak mau menerima apapun begitu saja," kata Sheehan.

Apa yang dapat kita pelajari dari metode Bigart? Sebagai jurnalis, hendaknya kita tidak menelan mentah-mentah pernyataan dan omongan narasumber. Jika berkesempatan mewawancarai mereka, bersikaplah 'seolah-olah bodoh' dengan bertanya apapun. Verifikasi omongan dia dengan fakta yang bisa kita cari dari tempat lain. Ingatlah, wartawan itu memang menulis dan mengetik berita, tapi bukan menjadi tukang ketik pejabat!

Sort:  

Renyah dan penuh isi, malah hampir tumpah sangking penuhnya.

that na teuh...

Bacaan penting!

pane penteng...ka le that cerita, ka harus pake ilme sunglap, bah meukait haha

Nah ileumee sunglap lam teumuleh, nyan leubeh peunteng lom. Hahaha

Ka tuha tanyoe harus le meu-en sunglap, han ek le kontemplasi jinoe

A post full of information that can be taken a lot of knowledge of various things. Thanks for sharing:

Salam @mpugondrong

Thanks a lot @mpugondrong. Tulisan ini juga untuk arsip pribadi biar tidak lupa

Keras om

Biasa saja. Lembek malah haha

Baru tahu tentang Bigart ini. Pernah juga berkeinginan jadi jurnalis, tetapi nampaknya sulit ya...

Tak ada hal apapun yang sulit, pikiran kita-lah karang2 yang membuatnya sulit.

Saya rasa sekarang banyak wartawan yang lebih tahu dari narasumber. Info yang ia dapatkan pun entah dari mana datang... Hahaha. Oh iya bang, sedikit tambahan bahwa edison tidak pernah menemukan apapun karena semua karya cipta termasuk lampu ditemukan oleh karyawan super pintarnya, Nicola Tesla 👍

Iya, apalagi hadirnya google membuat kita bisa riset apapun, bisa belajar apa saja.

Edison tidak pernah menemukan apapun? Oh ya...baru tahu saya.

Iya bang.. Bisa saling sharing ilmu

Tapi saya suka film "good morning vietnam". Tulisan ini memang genit, namun mencerahkan

Aleh pat diduek genit, that na teuh. Rusak film asai troh komen droe keuh Andy. Syi tanyong bak nyak kaoy @isnorman na genit tulisan nyoe?

Bernas dan meuasoe that bang.

Teurimong geunaseh Tgk Miswar. Pane meu-asoe, ka abeh meuruwah dum haha

Yups, aku setuju kali dengan pernyataan "tidak mengetik apa saja yg dikatakan pejabat, tapi mencari buktinya". Reportase dengan menghidupkan tempat kejadian sepertinya lebih menarik dibandingkan hanya mengutip omongan orang lain.

Benar sekali, bu. Orang lebih tertarik membaca tulisan yang bisa menghidupkan suasana, dan mampu membuat pembaca tidak berjarak dengan setting yang diceritakan.

Loading...