Satu Jam Bersama Duta Besar India, Kita Hanya Dipisahkan Air

in #writing6 years ago (edited)

Satu pesan dari aplikasi WA muncul di layar ponselku. Isinya singkat, pukul sepuluh duta besar India bertamu, Abang diminta hadir. Kurang lima menit dari waktu yang disebutkan, aku sudah tiba di gedung Balai Saudagar Aceh, kantornya Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh.

Di meja ruang tamu sudah ada Teuku Sulaiman Badai, ia wakil ketua umum KADIN Aceh bidang organisasi. Ada juga Indra Azmy dan Fahrizal, keduanya juga pengurus KADIN Aceh. Nama terakhir merupakan pria yang mengirim pesan WA kepadaku. “Lagi di jalan, sudah bergerak dari hotel.” Tanpa kutanya ia memberitahuku.

Belum sampai lima menit, satu mobil berhenti di pintu masuk. “Itu dia,” kata Sulaiman Badai alias Ampon Leman. Mereka bergegas ke depan menyambut sang tamu. Sementara aku hanya berdiri di ujung lorong, menunggu mereka masuk ke ruang pertemuan, setelah itu mengikutinya dari belakang.

Kulihat Duta Besar India Pradeep Kumar Rawat berjalan santai, di sisinya berjalan Konsul Jenderal (Konjen) India di Medan Dr Shalia Shah bersama seorang penerjemah. Kami masuk ke ruang Ketua KADIN tempat pertemuan digelar.
3.jpg
Dubes Pradeep Kumar Rawat menoleh ke Konsul Shalia Shah. [Foto: Dok Pribadi]

Pertemuan dibuka dengan menyerumput segelas kopi. Dubes Pradep mengambil gelas berisi kopi di meja depannya, menyerumput sekali tarikan nafas, “Kopi Gayo” katanya dengan logat India. Ampon Leman yang duduk di sisinya mengiyakan.

Setelah masing-masing merasakan hangatnya serumput kopi panas itu, pembicaraan diawali tentang kedekatan Aceh dan India sejak dulu. Aku membatin, ya. Dulu salah satu Mufti Kerajaan Aceh merupakan orang India, Syeikh Nuruddin Ar Raniry. Namanya ditabalkan pada Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry di Banda Aceh sekarang.

Orang India lainnya yang berkaitan dengan sejarah Aceh adalah Ramasami. Imigran India yang lari dari perang. Untuk bertahan hidup, satu-satunya keahliannya waktu itu hanyalan main sulap. Ramasami akhirnya memutuskan menjadi muslim. Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap mualaf, raja Aceh mempekerjakannya di pelabuhan. Namanya diganti menjadi Muhammad.

Karena ia tinggal di gampong Tibang, maka ia dipanggil Muhammad Tibang. Sosok yang kemudian dikenal sebagai Pang Tibang, pengkhianat terbesar dalam sejarah Aceh, karena menyerah kepada Belanda saat ditunjuk menjadi diplomat ke Singapura pada tahun 1873.
2.jpg
Pradeep dan Ampon Leman serius bicara investasi. [Foto: dok pribadi]

Ah, kok sudah melayang jauh ke masa silam. Kembali ke Pradeep. Aku kaget ketika mengetahui, ia begitu paham tentang bagaimana orang Aceh berlomba-lomba berobat ke Penang, Malaysia dan Singapura. Selanjutnya, sebagai diplomat, ia mulai memainkan jurus diplomasinya.

“Kita bisa kerja sama dalam bidang peningkatan infrastuktur dan teknologi medis,” katanya dalam bahasa Inggris. “Bukan hanya orang Aceh, orang luar Aceh juga bisa kita tarik untuk berobat ke Aceh,” lanjutnya.

Dari kesehatan, pembicaraan kemudian mengalir ke ranah lain, mulai dari pembangunan infrastruktur pelabuhan, sumber daya minyak di Aceh, hingga industri biji besi dan CPO. Pembicaraannya santai saja, sambil sesekali menyerumput kembali kopi hangat yang masih tersisa. “Besok saya ke Sabang,” Pradeep memberitahu kami.

Pembicaraan pun beralih ke Pulau Weh itu. Secara geografis pulau Rondo sebagai pulau terluar dari Sabang, juga pulau paling luar Indonesia di ujung barat, sangat dekat dengan kepulauan Andaman dan Nikobar, India. “Hanya beberapa ratus mil saja, kita hanya dipisah oleh air,” Pradeep begitu semangat bercerita.

India kata Pradeep, sedang gencar-gencarnya membangun Andaman. Tapi, mereka kekurangan bahan bangunan, seperti semen, besi, dan kaca. Ia menawarkan peluang bisnis itu kepada pengusaha Aceh.
1.jpg
Sesi pamitan setelah satu jam pembicaraan. [Foto: doc pribadi]

Di ujung pertemuan, pembicaraan kembali ke sejarah hubungan baik Aceh dengan India. Ampon Leman menunjuk Fahrizal. “Itu dia keturunan India,” katanya kepada Pradeep. Dubes India itu mengalihkan pandangannya kepada orang yang dimaksud.

Entah karena penasaran, ketika hendak pamit, Pradeep bertanya kepada Fahrizal. “India mana?” Yang ditanya tersenyum simpul. “Kakek saya Kapoor,” jawabnya. “Ooooo…Punjab,” kata Pradeep. Ternyata kawanku itu satu marga dengan sederetan bintang dan produser film Bollywood; Kareena Kapoor, Karisma Kapoor, Ranbir Kapoor, Anil Kapoor, Sonam Kapoor.

Kemudian seseorang berseloroh, “Kalau kamu?” tanyanya padaku. Aku hanya menjawab, “Margaku rencong,” membalas kelakarnya.

Sort:  

Wow dahsyat ini, sudah masuk acidyo, selamat dan ini menjadi sinkron dengan tulisan Taufik @acehpungo, luar biasaa....

He ehe eh shengkiyu Brader @munaa atas peuneutohnya. semoga terus meningkat ke depannya.

Kemudian seseorang berseloroh, “Kalau kamu?” tanyanya padaku. Aku hanya menjawab, “Margaku rencong,” membalas kelakarnya.

Nyam inti tulisan nyak kaoy

sit ka meuho meunyoe bak brader @andifirdhaus kalheun kupi? jep kupi ilei karena life begin after coffee

Dua poin penting yang saya dapati. Pertama, nama Muhammad Tibang alias Panglima Tibang rupanya Ramasami (pengetahuan baru dan terima kasih).
Yang kedua, yang paling penting dan fenomenal; saya baru tau kalau di aceh ada marga rencong, asalnya darimana itu bang @isnorman
Hahahahahahahahahaha

Ya nama Ramasami saya dapat dari kumpulan makalah Aceh Dalam Lintasan Sejarah PKA II Agustus 1972. Kompilasi makalah para sejarawan Aceh. Soal marga "rencong" itu rahasia perusahaan he he he he.

Biarlah marga rencong itu menjadi rahasia terbesar abad ini. Hahahahahaha

ya, kalau sebut rencong orang pasti langsung ingat Aceh, maka rencong satu-satunya "marga" yang jitu untuk menyatakan identitas kita di laur Aceh ke ke ke