Belajar dan Berkeluarga di Shorinji Kempo (Refleksi 12 Tahun dengan Shorinji Kempo)

in #aceh6 years ago

sk-classic (1).jpg

Tanggal 19 Februari, 12 tahun yang lalu, adalah kali pertama saya berjalan ke GOR Sigli untuk berlatih Shorinji Kempo. Apa itu Shorinji Kempo yang lebih sering disingkat dengan Kempo? Awalnya, saya juga tidak tahu. Kalau bukan teman sekelas yang waktu itu memberi tahu kami (saya dan ketiga teman perempuan saya), saya juga mungkin tidak tahu sampai sekarang. Garis hidup saya pun mungkin seperti ini.

Saya bukan berasal keluarga bugar, berstamina, atau dengan kata lain kuat. Saya tidak terbiasa dengan olahraga intens. Gaya hidup saya jauh dari itu. Sewaktu SMP, saya beberapa kali harus absen atau mendadak pitam di pelajaran olahraga. Oleh karena itu, pelajaran olahraga bukan favorit saya. Barulah setelah memasuki SMA, saat saya mulai mengetahui luasnya dunia, saya lebih terbuka dengan hal-hal baru.

Teman sekelas saya waktu itu laki-laki. Mungkin dia sudah lebih dari enam bulan berlatih Kempo di dojo (tempat latihan) GOR Sigli. Dia tidak bermaksud mengajak kami, tetapi kaminya saja yang penasaran. Iseng-iseng melihat dia latihan, sekitar seminggu kemudian, saya dan ketiga teman perempuan saya tadi mendaftarkan diri untuk berlatih Kempo.

Waktu itu Kempo tidak ada gaung-gaungnya sama sekali di kota saya. Beladiri macam apa itu? Kalau Karate atau Taekwondo sih, saya pernah dengar. Walau tidak tahu-tahu amat. Sampai di GOR pun, saya belum begitu paham dengan Kempo. Yang saya tahu hanya Kempo ini berasal dari Jepang.

Shorinji Kempo awalnya dibawa dari India. Lalu pindah ke daratan Tiongkok untuk merantau. Di kuil-kuil Tiongkoklah Kempo mulai terbentuk dan dipelajari, tetapi saat itu lebih dikenal sebagai Kungfu, bukan Kempo yang sekarang. Namun karena agresi kolonial, para pendetanya pindah dan berpencar. Adalah So Doshin, yang menciptakan Kempo ke Jepang dan mulai mengajari orang-orang. Sekarang So Doshin dikenal sebagai pencipta Kempo yang dipelajari seluruh dunia.

Oleh karena itu Kempo lebih mengikuti dinamika falsafah Jepang. Falsafah utamanya adalah jiwa bushido (jiwa ksatria) yang diamini oleh gaya hidup masyarakat Jepang tradisional. Makanya, keutamaan Kempo ini bukan hanya gerakan serangan atau tangkisan, tetapi lebih kepada menegakkan kebenaran. Doktrin Kempo saja adalah “perangilah dirimu sebelum memerangi orang lain”. Pesannya kurang lebih, capailah aktualisasi diri dahulu sebelum menghadapi orang lain.

Saya pribadi juga suka dengan falsafah-falsafah Kempo yang artinya sangat mendalam. Dari titik inilah saya banyak jatuh cinta dengan gaya hidup Jepang. Bahkan saya juga tertarik dengan olahraga-olahraga Jepang lainnya, seperti Judo, Kendo, dan Kyudo. Semuanya mempunyai satu ciri khas: elegan; mawas diri; dan tegas. Kalau-kalau saya punya kesempatan, saya mau ikut latihan semuanya.

Gerakan utamanya terbagi menjadi zuki (pukulan), geri (tendangan), dan uke (tangkisan). Jadi kalau mengikuti doktrin Kempo, setiap gerakan dimulai dengan uke terlebih dahulu kemudian zuki atau geri. Di Kempo juga dikenal meditasi, tapi praktiknya, di sini, lebih kepada pengaturan pernafasan dan image training. In sya Allah halal. Sebelum berlatih gerakan, juga ada sesi pengucapan Janji dan Ikrar. Bagian Janji dan Ikrar ini mungkin akan saya bahas di lain kesempatan.

Kyu (tingkatan) dalam Kempo dimulai dari minarai (paling bawah/putih), manji (kuning), kyu 3 (hijau), kyu 2 (biru), kyu 1 (coklat), Dan 1, Dan 2, dan seterusnya. Kalau melihat senpai-senpai (senior) yang sudah Dan ini memperagakan gerakan, wah, kerennya bukan main. Mungkin karena asalnya dari Jepang, setiap gerakan itu lebih mengedepankan kecantikan dan martabat seorang kenshi (murid/pemain Kempo).

Di Aceh sendiri Kempo sudah menjadi olahraga elite selama satu dekade terakhir. Kejuaraan-kejuaraan tertentu rutin dilaksanakan di Aceh. Dari mulai kejuaraan antardojo, Unsyiah Cup, Prapora, sampai Pora. Event yang paling dekat saat ini adalah event Prapora pada akhir tahun di Aceh Besar. Sejak akhir tahun lalu, setiap kontingen sudah mulai melakukan pemusatan latihan untuk pertandingan ini.

Kempo memiliki dua cabang pertandingan. Yang pertama adalah cabang randori. Atau bisa dibilang pertarungan bebas. Ini cabang pertandingan khas beladiri: ada wasit; perlengkapan pelindung tubuh, matras, dan lain-lain. Dua orang berhadapan dari masing-masing sisi matras. Setiap pertandingan randori dibagi menjadi kelas berat badan tertentu. Biasanya satu kelas berat badan berkisar tiga kilogram (45 kg-48, 49kg-51kg, dan seterusnya).

Ada lagi cabang pertandingan embu. Cabang ini adalah cabang peragaan jurus. Wasit menilai ketepatan gerakan jurus-jurus yang diperagakan. Jangan dikira embu lebih mudah daripada randori karena tidak berhadapan dengan lawan. Saya, yang lebih sering bertanding di cabang embu, merasakan betapa sulitnya melatih gerakan sesempurna mungkin. Jika satu otot yang kendor, urusannya berimbas kepada gerakan yang lamban. Tidak tepat. Jadi selama beberapa bulan sebelum bertanding embu, atlet-atlet kadang-kadang diajak untuk diet juga. Belum lagi ketepatan sudut yang menjadi salah satu metode Kempo juga sangat diperhitungkan. Sebuah zuki, misalnya, harus dilontarkan 45 derajat dari titik kelemahan, atau sekian... sekian derajat.

Lalu mengapa saya tulis belajar dan berkeluarga di judul tulisan ini. Paling tidak dua kata itu mewakilkan apa yang saya dapat dari Kempo. Sejak bergabung di kelas 3 SMA dulu, saya mendapatkan banyak pelajaran dari latihan Kempo. Yang paling kelihatan adalah nyali. Nyali saya ditempa habis-habisan di sini. Memiliki pengalaman bullying saat SMP menjadikan saya sebagai remaja tipe pemalu. Atau malah penakut. Tidak percaya diri. Sejak mengikuti Kempo (atau mungkin sejak tidak satu sekolah dengan pem-bully itu lagi) kepercayaan diri saya berangsur-angsur meningkat. Saya melakukan banyak hal sewaktu SMA. Saya lebih girang di kelas, bukannya terdiam terintimidasi di pojokan seperti sewaktu SMP.

Selain itu saya juga merasakan lebih tabah melewati masa-masa sulit. Misalnya lewat kalimat-kalimat lantang pelatih atau tekanan masa-masa sebelum pertandingan/ujian naik tingkat. Masa-masa sebelum pertandingan itu sangat membuat stress lho. Gelisah dengan lawan bertanding, gugup dengan berat badan yang tidak sesuai, senewen dengan serangan lawan yang akan didapat, sampai susah dengan target medali yang sulit tercapai. Cemas sekali. Kecemasan ini juga dialami oleh pelatih dan atlet-atlet yang lain sehingga keadaan latihan pun kadang-kadang semakin berat.

Lalu mengapa saya juga menulis berkeluarga? Karena di sini saya memiliki keluarga baru. Nama organisasi Kempo di Indonesia disebut Perkemi (Persaudaraan Shorinji Kempo Indonesia). Dari titelnya saja sudah diusung kata persaudaraan. Yah, saya memang belum pernah bergabung dengan organisasi olahraga lainnya sih, tapi di Kempo saya merasakan hubungan saya dengan kakak-kakak, abang-abang, dan adik-adik yang sangat akrab.

Memang sih, saya menggunakan kata berkeluarga yang sekilas terdengar seperti memiliki keluarga (baru) atau menikah (KBBI: "berkeluarga: (1) berumah tangga; mempunya keluarga; (2) bersanak saudara (dengan); berkerabat; (3) menikah; mempunyai istri"). Saya tahu makna berkeluarga di sini dapat mengandung banyak arti. Dan saya mengacu kepada semuanya. Memang bergabung di Kempo membuat saya merasa mendapat keluarga baru, tetapi banyak juga yang akhirnya berkeluarga di dalam Kempo. Sesama kenshi banyak menikah, cinta lokasi. Agustus kemarin satu lagi teman saya yang sesama kenshi menikah. Haha.

Mungkin berlaga di atas matras memunculkan daya pikat. Mungkin ber-kiai (kebulatan tekad/teriakan) mengeluarkan kharisma yang mendalam. Atau memang dogi (baju latihan) dan obi (sabuk pinggang) punya pesona tersendiri.

Mungkin menurut saya sih.

Sumber foto: http://eliens.virtualpoetry.tv/sk/

Sort:  

Follow me back yah

Yeah, done