Labelisasi hijab, dan hijrah ekstrem

in #esteem6 years ago (edited)

Selamat pagi semua sahabat steemian, satu kebahagian buat saya masih bisa bersama kalian semua sampai dengan hari ini, silahkan ikuti tentang perjalanan hidupnya yang saya urai kan dibawah ini.

Fenomena hijrah pemuda-pemudi zaman now, cenderung dilatarbelakangi karena ingin move on dari ketragisan kehidupan lama ataupun kepentingan yang dianggap kurang islami menjadi lebih islami atau lebih religius. “Perempuan yang berjilbab belum tentu baik, namun perempuan baik sudah pasti berjilbab”. Kutipan ini tentu tidak asing kita baca, akhir-akhir ini penuh ajakan untuk “berhijrah” bagi para muslimah. Berhijrah yang dimaksud tentu bukannya melakukan perjalanan dari Mekkah ke Madinah seperti yang pernah dilakukan Rasulullah SAW, namun bergerak dari tidak berjilbab menjadi berjilbab. Istilah kekinian tu “hijab”, bukan lagi “jilbab”.
Bentuk hijrah dengan mengubah gaya penampilan, berpakaian, perempuan dengan kerudung biasa menjadi jilbab besar, laki-laki yang biasanya memakai celana di atas mata kaki dan berjenggot. Perubahan lainnya adalah tata bahasa; dari ‘aku’ menjadi ‘ana’, ‘kamu’ jadi ‘antum’, dan bahasa Arab lainnya yang dianggap lebih religius dibanding bahasa lokal. Dimanakah adab dan etika mereka untuk menghargai bahasa ibu (bahasa lokal) ? . Tren hijrah juga sampai pada aspek sosial para generasi milenial. Para pelaku hijrah tersebut menjadi asosial terhadap lingkungan mereka sebelumnya.


#source

Kampanye mengajak perempuan muslim, khususnya di Indonesia untuk menutupi aurat dengan hijab tentu bukan hal yang buruk, mari kita telaah kutipan diatas agar tak berkesan membingungkan. Pertama, mungkin memang benar bahwa banyak perempuan berhijab di Indonesia belum tentu baik, dalam hal prilaku. Kedua, gelombang komoditi industri hijab dalam dan luar negri belakangan ini begitu eksplosif di negri Indonesia, dengan maraknya selebritis tidak berhijab, lalu berhijab dalam endorse-endorse dengan warga wow. Mereka mengklaim diri mereka telah “berhijrah”. Sehingga perempuan Indonesia ikutan latah berhijab ataupun menjadi pelaku bisnis perhijaban, lalu berhijab setelah tren "hijrah busana" tanpa diikuti semangat hijrah pendalaman ilmu menuju hijrah prilaku adab dan etika yang mencerminkan keislamannya. Begitu banyak kasus-kasus yang menyeret prilaku menyimpang dari pemakai hijab dari cermin adab-etika keislaman. Semisal dari lepas pasang hijab, bolong-bolong shalatnya, kasus mesum, bergunjing, korupsi sampai aksi terorisme. Maka, saya sepakat bagian dari ungkapan “Perempuan berjilbab belum tentu baik.” Disayangkan kalimat berikutnya yakni “Namun perempuan baik sudah pasti berjilbab”, mengandung ambiguitas yang dalam. Melihat fakta dan bukti penyimpangan prilaku kaum hijabers dari adab etika keislamannya. Kutipan yang tidak adil, seperti menempatkan perempuan-perempuan muslim yang tidak berhijab sebagai perempuan yang "tidak baik" karena "yang baik sudah pasti berhijab". Contoh : Malala Yousafzai. Di tahun 2014 ia mendapatkan penghargaan Nobel di bidang perdamaian dan menjadi penerima Nobel termuda di dunia karena saat itu ia masih berusia 17 tahun. Gadis Pakistan ini adalah aktivis yang bergerak di bidang pendidikan untuk anak-anak, terutama anak perempuan. Ia pernah ditembak di pelipis kirinya oleh anggota Taliban karena vokal memperjuangkan pendidikan, namun berhasil selamat dan melanjutkan perjuangannya, berbicara pada dunia tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak dan perempuan. Sehari-hari, Malala hanya mengenakan kerudung yang tidak menutupi rambutnya secara utuh. Di Indonesia ada Zannuba Ariffah Chafsoh (Mbak Yenny Wahid), Direktur di The Wahid Insitute, lembaga yang meneruskan cita-cita Gus Dur untuk menciptakan toleransi, demokrasi, dan multikulturalisme di Indonesia, bahkan dunia. Cita-cita terciptanya toleransi antar umat beragama diwujudkan Yenny salah satunya dengan berbagai dialog antaragama yang membuka kesempatan untuk kesalingpengertian dan penghormatan. Usaha-usaha tersebut ingin menunjukkan wajah Islam yang damai. Ada Najwa Shihab, jurnalis cerdas yang bahkan tidak menutupi kepalanya sama sekali, lalu ada aktivis perempuan Nawal El Saadawi. Serta kita dapat menemukan dengan mudah perempuan yang tidak berjilbab, tapi baik. Juga tidak sedikit ditemukan perempuan-perem
puan istiqomah berhijab yang baik, murah senyum, ringan tangan dan sesuai tuntunan adab etika keislaman. Saya pikir kutipan “Perempuan berjilbab belum tentu baik, tapi perempuan baik pasti berjilbab” cara berfikir rancu dalam melabeli warna-warni dunia sebatas foto hitam putih saja, lebih elok dihapus saja.


#source

Hijrah terilhami oleh peristiwa perpindahan Nabi Muhammad dari Mekah menuju Yatsrib (Madinah), yang berdampak bagi perkembangan Islam di tanah Arab, puncaknya peristiwa Fathul Makkah (pembebasan Makkah). Hal itu menjadi sebuah pembuktian bahwa hijrahnya Nabi bukanlah sebuah pelarian, namun metode strategi dakwah dengan damai. Ada banyak hal yang luput dari cara mereka memahami hijrah. Hijrah Nabi tidak hanya dalam misi membawa pesan syiar agama, namun juga misi sosial. Fakta dan bukti tindakan Rasulullah SAW, pertama yang dilakukan nabi ialah mempersaudarakan dua kelompok besar, yaitu kelompok Muhajirin (orang-orang yang hijrah dari kota Makkah) dan kelompok Anshar (yaitu penduduk kota Madinah). Kedua, mengeratkan persaudaraan di antara kabilah-kabilah tadi menuju keharmonisan pergaulan.


#source

Langkah Nabi selanjutnya ialah menerapkan hukum yang diajarkan Allah secara bertahap (ada proses pembelajaran, pembengkalan ilmu, adaptasi sosial). Nabi, dalam menghadapi masyarakat yang plural, tidak melangkah cenderung ingin mengubah dengan ala dakwah siap saji, melainkan secara bertahap.
Maka hijrah tidak boleh monoton pada bagaimana kita hidup lebih agamis kemudian melalaikan misi sosial kemanusiaan yang memporak-porandakan budaya yang berlaku dalam interaksi sosial, apalagi mengubah budaya luhur yang baik yang tak bertentangan dengan syariat adab etika keislaman.
Seperti dicontohkan oleh Nabi, yang ketika berhijrah tidak hanya membangun agama, tapi juga membangun tatanan sosial. Membangun sebuah masyarakat jahiliah yang tak bermoral menjadi masyarakat berperadaban. Membangun masyarakat Arab yang semula tak diperhitungkan kekuatannya, hingga membuat kejutan dengan berbagai penaklukkan. Lihatlah secara utuh. Bahwa hijrah bukan berarti asosial, namun hijrah harus sampai pada tingkat kesalehan sosial. Bukan asosial, namun bagaimana ikut mewarnai lingkungan yang lama untuk bisa lebih baik. Hijrah yang menuju lebih islami tidak boleh dipahami dengan cara mengislamkan Indonesia yang berlandaskan UUD 1945 dan Pancasila, yang lantas dianggap kurang islami dan harus diganti dengan landasan Islam. Hijrah yang seperti itu adalah hijrah ekstrem menuju yang radikal.
Ironi dinamika, sebagian besar ingin berhijrah namun hijrahnya menuju lebih radikal, dengan memahami agama sebagai sebuah ideologi. Indikasinya adalah dengan memahami agama secara tekstual tanpa dasar keilmuan yang berkapasitas mumpuni dan pembimbing spiritual yanng matang berkompetensi otoritas dibidangnya baik sanad ilmu dan nasabnya.
Dikutip dari Magnis Suseno, ciri dari ideologi adalah selalu dimuat dalam kehidupan sehari-hari, diterapkan dalam tingkah laku, kalau tidak dilakukan tidak boleh. Ketika agama sudah menjadi sebuah ideologi, maka akan menjadi kaku dan gahar. Harus dipahami seperti apa agama ini ? Menurut Gus Dur, agama semestinya dijadikan seperti budaya. Dengan begitu, agama akan menyatu dalam tingkah laku. Maka, para penganut agama pun akan lebih moderat dan toleran. Satu diantara faktor seseorang menjadi radikal adalah karena latar belakang pendidikannya bukanlah agama, melainkan eksakta. Lalu, ia belajar agama dari seorang guru yang memahami agama secara literal. Dari sanalah benih-benih radikalisme bermula.

Kemudia, orang radikal akan cenderung menutup diri dari lingkungan sekitar. Mereka juga menolak berdiskusi dengan orangtua, teman, tetangga, dan orang lain yang berbeda pemahaman. Fase selanjutnya adalah mulainya klaim atas kebenaran tunggal, yang berbeda pandangan dengannya dianggap salah/kafir. Bila orang sudah pada fase ini, maka akan mudah disusupi oleh pemahaman jihad yang eksklusif, iming-iming surga dan bidadari, ujung-ujungnya adalah memahami mati syahid sebagai tujuan hidup.

Terimakasih

Follow @alikumis

Sort:  

Source
Plagiarism is the copying & pasting of others work without giving credit to the original author or artist. Plagiarized posts are considered spam.

Spam is discouraged by the community, and may result in action from the cheetah bot.

More information and tips on sharing content.

If you believe this comment is in error, please contact us in #disputes on Discord