Belajar dari maling

in #esteem6 years ago

IMG-20180522-WA0022.jpg
Di masjid, sehabis shalat Subuh hari Kamis kemarin, pak RT berkata pada saya, “Tingkatkan keamanan rumah ya. Biasanya bulan Ramadhan begini, pencurian meningkat.” Saya Cuma mengangguk dan mengiyakan pesannya.
Dan keesokan harinya, ketika semua lelaki di komplek saya Jum’atan, rumah tetangga yang persis di depan rumah saya dibobol maling! Sang penghuni sedang mudik sejak awal Ramadhan kemarin. Di hari biasa, rumah tetangga saya ini di bawah jam 12, memang kosong setiap harinya.
Rupanya, di hari yang sama, ada 3 rumah di komplek sebelah yang dibobol maling juga. Entah kalau dilakukan oleh orang yang sama, atau satu komplotan. Karena ciri-cirinya mirip, salah seorang pelaku menggunakan sarung, baju koko, dan kopiah, untuk mengesankan mau berangkat/pulang Jum’atan.
Apa yang bisa dipelajari dari para maling ini?
Saya ingin mengajak kita belajar tentang “mengamati pola” dari mereka. Para maling itu adalah para pengamat pola yang professional. Apa yang dimaksud dengan pola? Dalam konteks ini, definisi saya mengenai pola adalah sebuah perilaku berulang yang dilakukan seseorang sehingga menghasilkan keteraturan.
Misal : Sebuah rumah yang berisi 5 orang ; ayah, ibu, dan 3 orang anak. Memulai aktivitas jam 5 pagi. Sang ibu menyiapkan sarapan, mencuci dan lain sebagainya. Sang ayah menyiapkan pakaian anak-anak untuk sekolah. Jam 7, setelah semua siap, mereka semua berangkat. Anak-anak diantarkan ke sekolah, lalu ayah dan ibunya berangkat ke kantor. Jam 13 anak-anak pulang dijemput oleh ibunya. Sampai rumah jam 13.30.
Begitu setiap hari. Ini adalah pola.
Sejak jam 7 sampai jam 13, rumah itu kosong. Dengan kata lain, rumah itu kosong setiap hari mulai jam7 sampai jam13. Bagian ini adalah pola yang akan diamati oleh maling. Para maling professional, pasti mengamati aktivitas rumah ini secara detil. Siapa saja yang keluar masuk rumah, jam berapa rumah ada aktivitas dan nggak ada aktivitas. Semua akan tercatat detail oleh sang maling.
Biasanya mereka juga mengamati pola aktivitas para tetangga, untuk memastikan bahwa ketika mereka beraksi nanti, mereka akan aman.
Kejadian pencurian di rumah tetangga saya kemarin, para maling itu sengaja mengambil momentum Jum’atan. Karena polanya, setiap jumatan, komplek rumah saya pasti kosong oleh lelaki. Jadi tetangga nggak akan terlalu sadar dengan aksi mereka.
Saya ingin bilang, HATI-HATI DENGAN POLA. Para maling itu bisa beraksi leluasa, karena para korban telah membuat pola yang sistematis untuk para maling. Pola yang membantu maling untuk melakukan aksinya. Tanpa pola, mereka nggak akan berani beraksi. Makanya, rumah yang terlalu acak aktivitasnya, nggak bisa ditebak jam berapa isi atau kosongnya, nggak bisa ditebak siapa saja yang masuk dan keluarnya, cenderung lebih aman.
Dalam konteks rezeki, kita juga bicara tentang pola. Orang-orang yang begitu-begitu saja rezekinya, nggak jadi lebih baik kondisi finansialnya, biasanya adalah orang-orang yang tak memahami bagaimana cara kerja pola. Mereka paham kondisi finansialnya nggak berkembang, begitu-begitu saja, tapi mereka tetap melakukan aktivitas yang itu-itu saja. Bertahun-tahun, bahkan berpuluh tahun, mereka melakukan aktivitas menjemput rezeki yang sama. Kemungkinan besar, mereka tak menyadari bahwa mereka sedang membuat sebuah pola. Ya, pola untuk hidup yang begitu-begitu saja.
Tugas kita sebenarnya adalah mengubah pola. “Kalau saya melakukan kerja A, dan saya tau selama ini bahwa kerja A selalu menghasilkan B, maka saya perlu mencoba melakukan kerja C, karena mungkin bisa menghasilkan D.“
Mungkin itu kenapa kata Albert Einstein, “Adalah sebuah kebodohan, ketika seseorang melakukan hal yang sama terus menerus, tapi mengharapkan hasil yang berbeda.”
Karena untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda, seseorang perlu merusak polanya, menggantinya, melakukan sesuatu yang baru.
Kita butuh keteraturan, tapi kita juga butuh ketidakteraturan. Artinya, kalau kita sudah sangat terbiasa melakukan sesuatu, kita perlu mengganti yang kita kerjakan itu, agar kita memiliki probabilitas hasil yang berbeda. Meski dalam konteks tertentu, kita tetap sangat butuh keteraturan. Misal, bangun pagi tetap perlu teratur. Kalau terbiasa bangun sebelum subuh, ya nggak perlu diubah jadi bangun setelah subuh :D
Menurut saya, otak manusia, pada dasarnya nggak didesain untuk melakukan pekerjaan yang sifatnya rutinitas. Karena otak punya peluang untuk jenuh. Dan karena ada banyak sinaps atau sambungan jalur kabel di otak kita yang perlu disambungkan. Membuat sebuah rutinitas hanya akan menghabiskan umur kita untuk menyambungkan satu jalur kabel saja.
Bagi saya, rutinitas hanya boleh terjadi dalam konteks ibadah. Untuk ibadah, kita butuh rutinitas. Karena rutinitas akan menghasilkan pola. Dan pola dalam konteks ibadah, dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah konsistensi. Istiqamah. Meski kita tetap punya peluang untuk membuat variasi dari rangkaian aktivitas ibadah itu. Misal, kalau ada 3 jalan menuju masjid, gunakan ketiga jalan itu secara bergantian. Jangan hanya satu.
Kalau kondisi rezeki kita begitu-begitu saja. Silakan periksa aktivitas pekerjaan kita, apakah kita melakukan yang itu-itu saja? Apakah kita sedang membuat pola yang sama selama bertahun-tahun? Kalau iya, wajar hasilnya segitu-segitu saja.
Selamat merenung!


Sort:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
http://www.jendralgagah.com/belajar-dari-maling/