Dalam beberapa tulisan berikut saya akan mengupas tentang teori dalam rimba ilmu. Sebenarnya tidak sedikit karya yang mengupas tentang teori. Bahkan dalam filsafat ilmu banyak dikupas tentang teori.
Saya tertarik untuk mengupas hal ini dikarenakan banyak pertanyaan dari rekan-rekan tentang penggunaan teori di dalam penelitian. Ada juga yang bertanya tentang menulis dengan teori. Hal ini tentu saja berbeda dengan “teori menulis” dan “menulis teori.”
Bagi saya teori itu adalah hasil kontemplasi yang menjelaskan suatu gejala atau beberapa gejala dalam satu konsep atau lebih. Itulah teori yang saya pahami. Tidak lebih dan kurang. Apakah sesederhana itu tentang teori? Iya. Akan tetapi untuk sampai pada hasil kontemplasi, mungkin tidak akan sesederhana demikian Mengapa? Kontemplasi itu mengikuti suatu rangkaian pekerjaan yang dilakukan oleh seorang ilmuwan sehingga sadar akan kedirian dan akal pikirannya.
Untuk itu, menemukan teori adalah pekerjaan filosofis yang menuntut kerja akal, jiwa, dan tubuh manusia. Tiga aspek ini menjadi begitu penting untuk dikenali oleh seorang ilmuwan. Karena awal titik keberangkatan intelektual seseorang adalah ada tahapan deskripsi semata, maka proses menemukan teori akan mengalami jalan yang penuh terjal dan onak. Maksudnya, aktifitas teori itu aktifitas setelah mendeskripsikan sesuatu kemudian orang tersebut merenung apa yang sedang diperbuatkannya.
Dalam keterdiamannya, sang teoritikus berusaha untuk memikirkan bagaimana fenomena yang dia teliti, kemudian menemukan saling keterkaitan antara satu sama lain, hingga pada akhirnya, orang tersebut merasakan menemukan pattern dari gejala yang dia dalami. Saat itulah, otaknya berbisik tentang sesuatu (things). Konsep sesuatu ini terkadang dapat dijabarkan oleh secara gamblang dan ada pula yang harus dicari narasi, paling tidak dia mampu memahami untuk dirinya sendiri. Setelah itu, dia akan menulis atau menjabarkan temuan kontemplasi tersebut pada orang lain, melalui bahasa lisan atau tulisan.
Keadaan ini bisa memicu seseorang untuk masuk pada satu pintu gerbang keilmuan dari gerbang-gerbang ilmu di dalam rimba pengetahuan. Gejala yang dikaji dan disajikan bisa jadi fenomena atau pun noumena. Bagi mereka yang hendak masuk ke rimba ilmu, maka kunci-kunci pintu gerbang harus dipunyai, sehingga dia bisa berada di tengah-tengah rimba setelah melewati rimbunan pepohonan berbagai ilmu di dalam hutan tersebut.
Karena itu, menemukan teori bukan pekerjaan satu tahun atau dua tahun. Pekerjaan ini dapat membutuhkan waktu yang bertahun-tahun. Tidak menutup kemungkinan sang ilmuwan bisa mengalami masa transisi dari pengenalan akal ke jiwanya. Proses ini akan membangun kesadaran jiwa. Dia akhirnya akan lebih peka melalui kekuatan rasa yang dimilikinya. Banyak kajian para ilmuwan yang berusaha untuk mengenali jiwa manusia, sebelum dia memperkenalkan sesuatu yang terdefinisikan atau tidak mampu dia definisikan kepada orang lain.
Sang ilmuwan terkadang mengisolasikan diri mereka untuk terus berpikir tentang sesuatu yang belum terpecahkan dalam perjalanan intelektualnya. Saya menemukan beberapa ilmuwan, khususnya dari kalangan ilmuwan Muslim, selalu muncul dari kalangan yang datang dari proses keilmuan yang dikenal dengan tafakkur atau tadabbur. Di sinilah terkadang kita dituntut untuk mencari apa yang membuat sesuatu itu mudah dipahami oleh orang lain. Di sini proses berpikir dan merenung menjadi sesuatu yang penting.
Seorang teoritikus tidak akan berteriak ketika dia menemukan sesuatu di dalam proses intelektualnya. Demikian pula, mereka jarang diam ketika otaknya berteriak akan sesuatu. Kedua proses ini terjadi di dalam keterdiaman sang ilmuwan. Mereka meresapi apapun yang terjadi di dalam alam pikiran mereka. Tidak menganggap sesuatu yang “meledak” di dalam pikirannya sebagai sesuatu yang amat luar biasa.
Gambaran para ilmuwan sejati ini terkadang harus berhadapan dengan racun, tiang gantungan, dan bahkan kekuasaan, ketika dia menjelaskan temuan-temuan ilmiahnya. Adakala nya hasil perenungan sang ilmuwan baru dapat dipahami, setelah sang ilmuwan tersebut meninggal dunia. Ketika sang ilmuwan sudah berada di balik jeruji atau di tiang gantungan. Sejarah para ilmuwan yang menjadi maha guru, terkadang tidak selalu berakhir indah.
Mereka dulunya tidak ada award (penghargaan). Tidak ada seminar yang membuat mereka terkenal. Tidak ada dana yang membuat mereka kaya raya. Semuanya hidup penuh keserhanaan. Mereka hidup dengan idealisme yang ada di dalam alam pikiran dan batin masing-masing. Hasil penalaran akal dan batin itulah yang kemudian disebut sebagai teori. Tidak mengejutkan hasil-hasil renungan mampu melawan suatu rezim atau bahkan meruntuhkan peradaban suatu bangsa. Saya banyak membaca bagaimana para ilmuwan membangun dan meruntuhkan suatu peradaban bangsa di dunia ini.
Teori tersebutlah yang kadang kala mampu mencerahkan orang lain. Mampu membuka jalan kehidupan bagi suatu kaum. Mampu memberikan alternatif-alternatif bagi suatu bangsa di dalam merekayasa peradaban. Tidak mengherankan bahwa peradaban-peradaban besar di dunia ini diberikan fondasi oleh para ilmuwan. Kadang kala, setelah mereka memberikan dasar-dasar bagi bangsa dan kaumnya, dia sama sekali tidak berada di tengah-tengah kehidupan bangsanya sendiri.
Begitulah dampak dari kebesaran hasil perenungan manusia. Ada filosof yang mengatakan ‘aku berpikir maka aku ada.’ Saya merasa ungkapan ini ada benarnya. Hasil perenungan membuat seseorang menjadi ada di alam semesta ini. Hasil perenungan pula yang mampu membelah balutan kepompong peradaban sesuatu yang masih banyak mengandung dan mengundan misteri.
Karena itu, proses teoritisasi sangat dekat dengan diviniti. Dulu kala aktifitas divinitas ini sangat terhormat. Mereka terus berpikir tentang apa yang harus dijalankan oleh kaumnya. Mereka mempertanyakan segala sesuatu di dalam pikiran mereka, sebelum kemudian menuliskan hasil dialog yang terjadi di alam pikiran ke publik. Tulisan mereka cenderung menggunakan tidak hanya bahasa akal, tetapi juga bahasa batin. Karena itu, hasil perenungan tersebut ada yang dituangkan dengan simbol, angka, atau bahkan dengan kata-kata yang penuh sastrawi.
Kita sulit mencerna dampak dari ledakan dari sang pemikir tersebut. Kadang kita mengatakan keliru, karena akal kita tidak sanggup mencerna. Sulit dimengerti, karena bahasa-bahasa yang dihasilkan mengandung misteri. Tidak hanya itu, terkadang teori juga merupakan suatu teka teki yang sengaja dibuat oleh sang perenung. Datanglah para penafsir dan pentakwil untuk menjabarkan hasil ledakan dalam perenungan sang begawan ilmu.
Paparan di atas merupakan narasi bahwa tidak mudah menghasilkan teori. Ada banyak dampak dari penemuan suatu teori. Tidak sedikit kepentingan rezim pada satu teori. Banyak yang gila di dalam menghasilkan atau memahami teori. Kegilaan (madness) di kalangan kelompok ini agak tipis bedanya dengan kemunculan kesadaran penuh, yang menyebabkan seorang itu merasakan agak berbeda dengan orang di sekitarnya.
Karena itu, dulu para ilmuwan atau filosof merupakan orang-orang yang “aneh” dan “gila.” Hal ini disebabkan mereka sedang mencari jawaban dari sekian pertanyaan yang muncul di dalam pikirannya masing-masing. Sehingga ketika hasi “kegilaan” berakhir, dia mampu membuat orang lain berpikir atau bahkan menempuh pola-pola “kegilaan” yang pernah dialami oleh sang penemu teori.
Bersambung...
Luar biasa pak, sebegitu jelimetnya menemukan teori.
Berteori itu adalah proses
Ijin Resteem ya Prof.
Sangat tercerahkan efek sebuah perenungan.
Silahkan. Smg ada manfaatnya..
Mantap pak. Semoga mahasiswa-mahasiswa membaca tulisan ini, biar semakin paham bahwa berteori itu ga bisa ecek-ecek. :D
Semua dimulai dari ecek ecek Bu. Ttp harus seriusss
Ternyata butuh perenungan panjang menemukan sebuah teori. Pertanyaannya, apakah ada org yg bercita2 menjadi filosof atau mereka lahir dg sendirinya melalui pergulatan batin yg hebat?
Ada given ada juga by achievement...