Orang-orang basah di musim kemarau dan orang-orang kering di musim hujan

in #indonesia6 years ago

Ada beberapa tokoh fiktif polisi yang sangat terkenal dalam film India, misalnya Chulbul Pandey, Bajirao Singham, Ajay Mehra dan lain-lain. Namun yang lebih realistik, saya rasa hanyalah Shivani Shivanji Roy, dan ia adalah perempuan. Bulan ini saya kebanyakan nonton film India, soalnya tidak ada hiburan lain. Biasanya saya mendapat pinjaman novel bagus dari seorang teman, tapi ia sudah pergi ke Surabaya untuk menempuh hidup baru. Sementara menunggu film-film terbaru, butuh waktu lama, belum keluar versi yang jernih, misalnya Equalizer, Ant-Man dan lain-lain. Rupanya di India sana, nama Roy identik dengan perempuan, misalnya Arundhati Roy, novelis. Apa benar jika seorang islam yang memiliki nama tidak islam, lantas harus menunggu lama di hari persidangan kelak sebelum diadili? Di Timur Tengah sana cukup banyak orang Arab non islam yang bernama islami. Di Aceh, seringkali nama seseorang sangat bagus, tapi ketika dipanggil tidak sesuai harapan, misalnya Ismail, Yunus, Yakup, Yusuf, Ibrahim, ketika dipanggil nama-nama cantik ini menjadi: Mae(e) dicuap sengau, Noh, Kop, Suh, Him(Bram).

Membangun cerita melalui dialog tokoh itu sulit dan rumit, apa lagi jika dialog tidak kuat dan keterangan bahasa butuh si tokoh tidak detail. Penulis yang cukup berani melakukan itu(dan tentu saja berhasil) adalah Haruki Murakami. Dalam Novel 1Q84, ia membangun alur cerita melalui dialog-dialog panjang para tokohnya. Filsafat yang rumit seringkali ia tuturkan dengan dialog panjang melalui tokohnya secara sederhana dan mudah dipahami.

Di FB saya pernah menjumpai beberapa kali postingan tentang bernarasi melalui dialog, postingan itu adalah tulisan Dany Siregar yang dibagikan oleh warga FB. Tidak bermaksud ingin membandingkannya dengan Haruki(apa mungkin ia suka karya Haruki?)

Saya melihat ia membangun narasi tentang politik agak mirip seperti itu, walau pun sudut pandang politiknya hanya berupa spekulasi atau hipotesa belaka.

Saya merasa bosan dengan bahasa model formal ala skripsi mahasiswa, atau semisal opini-opini di harian lokal. Jika menulis gaya formal semacam itu tanpa kedalaman esensi dan perspektif jauh ke depan, tentu akan membosankan. Saya pernah mendapati artikel opini yang ditulis oleh Gabo, mengenai Shakira dan payung. Gabo memakai gaya reportase sastra jurnalisme; fiture, yang membuat pembaca ketawa. Ia menulis bahwa sesungguhnya fungsi payung adalah untuk menampung air hujan bukan untuk melindungi manusia dari hujan. Saya juga berpikir bahwa parabola jaring itu untuk menampung berkah dari langit, maksud saya berkah dari satelit. Memang sih parabola jaring itu tidak bisa menambung air hujan, tetapi para pemirsanya justru basah gara-gara saluran TV, begitu menjalang pemilu atau saat pemilu, banyak sekali orang-orang yang basah di musim kemarau dan orang-orang kering di musim hujan (jay that dum ureung buluet).

Apa lagi saat ini nyaris tidak ada media yang bebas intervensi dan berimbang. Kuasai media itu artinya kuasai warga penduduk negeri, karena itu adalah mesin cuci otak massal. Inilah alasan saya ogah; agak sulit mempercayai media apa pun. Agak sulit mempercayai artinya bukan tidak percaya sama sekali, masih bisa dijadikan untuk melihat berita dunia olah raga, referenci film, musik dan beberapa hal lainnya.