Menjawab Buruj Sembari Mempertanyakan Para Pemberhala dan Pengkudeta Tuhan

in #indonesia6 years ago (edited)

Tanya.jpgTiap menulis, aku memulai dengan sebuah hukum yang kuterapkan sebagai sebuah kepastian bagi diri sendiri; “Aku sedang membagi sedikit yang kutahu sambil mempertunjukkan lebih banyak hal yang aku tak tau!”

Jadi, pakem itu kuterjemahkan pula sebagai: “Menulis adalah caraku mempertunjukkan sisi bodoh dari pemikiranku!” bukan sebaliknya. Sebab, aku termasuk golongan manusia yang yakin bahwa menulis adalah proses pencarian, bukan memberi kuliah di ruang yang berisi kambing-kambing yang patuh. Aku lebih senang menghadapi insan sehabitat Kawan Buruj yang kritis dan meutuwah.

Supaya lebih jelas lagi, menulis adalah proses mencari titik-buta (blind-spot) dari beragam aspek penyusun tulisan yang kubuat. Jadi, aku berharap dengan adanya teguran keras dari Kawan Buruj, aku akan menemukan kelemahan dari pemikiranku yang tak seberapamana. Semoga ia menjadi cermin yang jernih bagi diriku untuk mematut diri dan segenap kedangkalan pemikiranku di hadapan segenap ketinggian pengetahuannya.

Jadi, saat menulis aku juga sedang menyampaikan pada pembaca, “Tolong tunjuki aku letak kesalahan dalam tulisanku, dalam buah pikiranku yang kupampang dan kupajang di ruang publik di media apapun!”

Maka, puji dan syukur nyaris tak henti kupanjatkan kepada Sang Pencipta, mengingat Kawan Buruj-lah satu-satunya insan dari sejuta penghuni jagad steemit yang membantah tulisanku yang berjudul Masih Beragama dengan Kalkulator?. Respon balik ini juga kutulis dengan sepenuh kesadaran bahwa aku sedang berada di jenjang yang lebih rendah jika dibandingkan dengan maqam pemahaman Kawan Buruj. Bantahannya telah menunjukkan dengan terang dan jelas bahwa Kawan Buruj memiliki pemahaman yang lebih tinggi dari apa yang kupahami.

Untuk memperutuh dialog, kutempelkan tulisannya menyertai responku agar Sidang Pembaca tak kehilangan konteks. Pun supaya aku tak terkesan memutilasi maksud dari Kawan Buruj. Sebisa mungkin aku akan menunjukkan dukungan terhadap serangan langsung Kawan Buruj atas tulisanku sendiri. Sebagai upaya mengurai perbedaan polapikir kami, aku meng-copy-paste secara utuh tulisannya sebagai bagian dari tulisanku ini dengan tanda Bold dan Italic.

Assalammualaikum ya ahlil steemit...
Terbangun pada jam segini bukanlah karena sesuatu hal buruk, tapi hanya karena hampir terbiasa lantaran sebulan penuh sahur untuk berpuasa di bulan Ramadhan.

Ada hal yang menggelitik hati beberapa minggu lewat dari postingan salah seorang sahabat lama @sangdiyus, namun baru di waktu ini tergerak hati untuk membahasnya.

Lama sudah postingan beliau berlalu, tapi bukan tak mungkin untuk membahasnya. Jadi beliau membahas yang pada intinya ibadah dengan ikhlas tanpa hitung-hitungan, beribadahlah dengan ikhlas tanpa mengharap pahala yang mengantar ke surga apalagi beribadah karena takut neraka, begitulah sekiranya walau beliau sekonyong-konyongnya menulis dengan gaya dialog.

Pernyataan ini sungguh indah dan seakan-akan benar, namun ketahuilah ini pernyataan serius menjerumuskan. Terkadang kata-kata indah dapat membius tak sadarkan diri.

***

Aku berpikir, inilah wujud pertama tingginya maqam pemikiran Kawan Buruj. Namun, sayangnya aku tak menemukan penjelasan mengenai unsur “…seakan-akan benar namun ini pernyataan yang serius menjerumuskan…”.

Sebagai pihak yang mengalami tudingan seserius dan sedalam ini, aku sungguh berharap menjadi orang pertama, bahkan siap menyandang peran sebagai satu-satunya orang yang mendukung hujatan ini. Namun, sayangnya, aku tak menemukan argumentasi yang menjelaskan serangan ini. Jadi, upaya dan kesediaanku untuk mendukung pernyataan ini akan tampak bodoh dan siasia saja adanya. Aku tetap menyalahkan diriku sendiri yang tak mampu menjangkau maqam pemikiran Kawan Buruj tersebut. Sebab, di jenjang pemikiranku yang masih dangkal, setiap tudingan mestilah menunjukkan bukti atau sekurangnya menunjukkan argumen. Apa yang membuat Kawan Buruj menyebutku “…seakan-akan benar namun ini pernyataan yang serius menjerumuskan…”

Kita yakin dan percaya Al Quran adalah kalam Allah atau firman Allah, bagaimana kita menafikan "perkataan" dari Tuhan semesta alam. Beribadah semata-mata karena mencintai Allah katanya begitu, surga dan neraka itu urusan Allah. Bagaimana kita tau mana yang buruk dan mana yang baik jika tak mendapat petunjuk dari Allah, tentu saja dari Al Quran, yang juga disebut Al Furqan pemisah yang baik dan yang batil.

Bagiku yang memiliki kelemahan berpikir, sukar menemukan korelasi antara kalimat pertama dengan kalimat kedua dan ketiga. Kalimat kedua dan ketiga berkaitan, tetapi tidak dengan kalimat pertama. Aku masih bertanya-tanya dalam pikiran, bagian mana dari tulisanku yang menurut Kawan Buruj telah menafikan perkataan dari Tuhan Semesta Alam?

Jika anda adalah seorang pencipta mesin cuci tentu anda akan membuat buku manual penggunaannya "manual book" agar orang lain dapat juga menggunakannya. Allah sebagai pencipta langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya termasuk manusia tentunya, maka Allah menurunkan Al Quran sebagai "manual book" agar hambanya tau cara menggunakan hidupnya.

Sebagai seseorang yang kuduga telah memiliki pemahaman mendalam mengenai ketauhidan, aku salut dengan keberanian Kawan Buruj menggunakan metode-analogi untuk memahami Tuhan; sepengetahuanku, membandingkan Tuhan dengan pencipta mesin cuci atau pencipta mesin apapun butuh keberanian dan pemahaman yang telah mantap. Jelaslah aku yang belum tiba pada tahapan pemahaman seperti yang telah ia miliki.

Di kedangkalan pemikiranku saat ini, mulanya aku hendak mencoba memberi anjuran untuk tak menggunakan analogi dalam memahami Tuhan. Namun, manalah pantas tindakan itu. Segera kubuang jauh-jauh pemikiran selancang dan senista itu di hadapan ketinggian maqam pemahaman Kawan Buruj. Aku cuma bisa memendam sendiri pemahaman bahwa; memisalkan Pencipta dengan hamba berarti menyetarakan Tuhan dengan ciptaan; sepertinya ini rancu. Namun, sebab tak memiliki kompetensi serupa Kawan Buruj, kupendam saja gelisahku sebagai gumaman dalam batin dan benak. Semakin dalam kupendam, semakin kuat pula gagasan itu memberontak.

Dalam otakku gagasan tersebut terus berkata, “Lagipula, kalau kita urai, hasilnya tidak akan sepadan. Sekilas tampak runut ketika Tuhan dimisalkan sebagai pencipta mesin cuci, Al-Qur’an dimisalkan sebagai buku panduan penggunaan mesin cuci dan manusia diumpamakan sebagai mesin cuci. Sementara di sisi lain seorang manusia tak bisa begitusaja dimisalkan sebagai mesin cuci, sebab tiap insan terlahir dengan mengemban kehendak bebas, tak butuh asupan energi dan tombol untuk mengoperasikannya. Jadi, aku adalah golongan yang percaya bahwa memahami Tuhan tidak akan bisa dilakukan dengan permisalan atawa analogi” begitulah sebaris kalimat yang cuma berani kupendam dalam pikiran. Terlanjur ciut nyali saat merenungi kenyataan betapa maqam Kawan Buruj telah jauh melampau diri ini. “Jadi, bagaimana bisa kita memahami Tuhan?” sebaris tanya menggedor lagi dalam kepala.

Tak apalah… setidaknya niat telah kuwujudkan menjadi upaya. Soal ditolak atau diterima, aku sudah beberapa kali mengalaminya. Wekawekawekawekawekaweka…

Masih dari kedangkalan pemikiran, kupikir Tuhan tak mesti dipahami. Sebab, aku belum menemukan ada gunanya memahami Tuhan. Sebab, keberadaan Tuhan melampaui dan melingkupi keberadaan segala ciptaan. Mekanisme kehidupan manusia tidak akan mampu mempermisalkan keberadaan Tuhan. Tak perlu berletih-lelah memahami-Nya sebelum mengenal diri.

Pun, memisalkan Al-Qur’an dengan buku panduan mesin cuci. Buku panduan mesin cuci dibuat untuk menjalankan mesin cuci, sementara Al-Qur’an adalah panduan bagi manusia dalam menjalani hidup. Jadi, sungguh berbeda antara ‘menjalankan mesin cuci’ dengan ‘panduan bagi manusia dalam menjalani hidup’; mesin cuci adalah benda mati sementara manusia adalah makhluk hidup; mesin cuci berasal dari daya sentral bersumber listrik, manusia berdaya otonom dari Tuhan. Ini juga berasal dari kedangkalan pemikiranku, tentu berbeda dengan tingginya maqam pemikiran Kawan Buruj.

Setiap umat muslim tentu ada kitab Al Quran dirumah tinggal dibuka dan baca, terjemahan dan tafsirnya, bagaimana Allah perintahkan untuk takut neraka, "takutlah neraka karena bahan bakarnya dari batu dan manusia" dan Allah juga menjanjikan pahala untuk segala bentuk ibadah, walau sebesar biji sawi, dan barang siapa yang mengerjakan perintah Allah balasannya surga, ini janji Allah. Surga dan neraka telah tercipta kenapa ada kata "seandainya surga dan neraka tak pernah ada apakah manusia tetap sujud" ini peryataan sok puitis lagi menentang Allah.

Setelah membolak-balik Al-Qur’an, aku tak menemukan ayat yang menyuruh takut selain kepada Allah. Ada sebuah ayat yang mirip dengan kutipan Kawan Buruj: Surat Al Baqarah Ayat 24. Sayangnya, di mushaf Al-Qur’an yang kupunya di rumah, Ayat itu diterjemahkan sebagai berikut:

“Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.”

Jadi, kutemukan perbedaan mendasar antara “peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir” dengan Kawan Buruj yang mencupliknya menjadi “takutlah neraka karena bahan bakarnya dari batu dan manusia". Tentu saja kalau dugaanku benar bahwa Kawan Buruj telah mengutip Surat Al Baqarah Ayat 24.

Hal pertama yang kutemukan adalah Kawan Buruj telah memotong kutipan ayat yang dipilihnya. Mungkin hal ini tak masalah saat sudah mencapai maqamnya. Hal kedua, Kawan Buruj telah memilih diksi yang secara keilmuan tafsir Al-Qur’an diterjemahkan sebagai “hindarkanlah dirimu dari api neraka” atau “peliharalah dirimu dari api neraka” menjadi kata “takutlah neraka”. Di kedangkalan pemahamanku, esensi dan implikasi penerjemahan tersebut sungguh berbeda, tentu berbeda dengan ketinggian maqam Kawan Buruj.

Berikut kupilah seutuhnya cuplikan Surat Al Baqarah yang diambil oleh Kawan Buruj:

"takutlah neraka karena bahan bakarnya dari batu dan manusia"

Hal ketiga, kutemukan bahwa Kawan Buruj telah memisahkan cuplikan ayat tersebut dengan mencerabutnya dari asbabunnuzul (konteks) turunnya ayat tersebut. Konteks turunnya ayat tersebut adalah tantangan Allah bagi siapa saja untuk mencoba meniru konten dan kualitas Al Qur’an. Hal selanjutnya, aku tak menemukan padanan kata takut selain kepada Allah dalam mushaf Al-Qur’an yang pernah kubaca. Takutnya seorang hamba penganut Islam cuma dibenarkan untuk dialamatkan kepada Allah. Tak boleh takut kepada selain Allah. Sebab, takut kepada selain Allah adalah sama dengan menyekutukan Allah. Surga dengan segala kenikmatannya, juga neraka degan segala perih siksanya adalah ciptaan Allah. Jadi, takut pada ciptaan sama dengan mensyarikatkan Khaliq.

Aku selalu berupaya membuka diri untuk menyepakati pernyataan Kawan Buruj. Namun, jika berkaitan dengan ketauhidan, aku sedikit berhatihati. Jadi berdasarkan ilmu tafsir yang tengah kupelajari secara serius, aku tak punya daya untuk sepakat dengan tindak mutilasi ayat Al-Qur’an dengan mencupliknya secara sepotong-sepotong karena akan menimbulkan penafsiran yang tercerabut dari asbabunnuzul. Aku khawatir, jika sepakat dengan tindakan Kawan Buruj tersebut, aku akan berada dalam golongan orang-orang yang menyianyiakan anugerah tertinggi yang diberikan Tuhan, berpikir.

Berhubungan sosial antara manusia atau ber-muamalah juga ada tertera di dalam manual book, Al Quran, yang menentukan juga ya Tuhan semesta alam, jika ukurannya itu manusia ya tentu saja tidak mungkin, baik menurut manusia belum tentu menurut Allah. Panggilan Allah juga bukan manusia (umat Islam) yang buat-buat, tau darimana umat islam paggilan Tuhan itu Allah, tentu saja dari Al Quran dan hadist Rasulullah. Terkadang umat islam Indonesia ini sok malu-malu menyebut panggilan Allah, entah karena sok pluralisme, entah sok toleransi entahlah, umat islam indonesia lebih suka memanggil dengan sebutan Tuhan daripada Allah.

Keterbatasan kemampuan dan ilmu yang kumiliki membuat aku sedikit bingung dengan isi paragraf ini. Namun, jika tak salah tangkap, Kawan Buruj bermaksud mengkritik penggunaan kata Tuhan karena semestinya menggunakan kata Allah. Sebagai pertimbangan pertama, aku menggunakan diksi Tuhan (dengan T kapital) adalah untuk menjadikan tulisanku sebagai konsumsi umum di kalangan umat beragama, bahkan tak beragama sekalipun. Itu sebab aku menggunakan foto simbol beragam agama dalam tulisanku yang dikomplain oleh Kawan Buruj.

Tuhan yang menjelaskan entitas tunggal (Esa/Ahad) untuk menjelaskan Pencipta Semesta dan segala isinya. Kupikir karena dalam Bahasa Indonesia kata Tuhan masih menempati Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Umum Bahasa Indonesia, bukanlah dosa menggunakannya. Alasan kedua, kata Allah untuk menggambarkan Tuhan umat Islam tidak tepat karena Umat Kristen juga menggunakan kata Allah untuk menggambarkan Tuhannya. Jadi, kata Tuhan kupilih karena mewakili bentuk umum dari pencipta semesta dan segala isinya.

Mengharap pahala dalam ibadah tidak merusak keikhlasan, karena ibadah dan pahala satu kesatuan (sepaket) begitupun berbuat dzalim sepaket dengan dosa. Bagaimana pula kita memilah apalagi memisah-misahkan hal tersebut, takut neraka juga adalah perintah Allah. Lantas ada pernyataan "surga dan neraka adalah hak prerogatif Tuhan" jadi kita tidak boleh berbicara si fulan di neraka dan si fulan di surga, sungguh konyol sesungguhnya. Di Indonesia lucu, saat ada orang berbicara tentang surga dan neraka kebanyakan di bully, di olok-olok, dan semacamnya apalagi berbicara tentang agama, maka hujatanlah yang diterima sok alim sok suci dan sok-sok yang lainnya.

Ini adalah paragraf yang menarik, karena kutemukan dukungan Kawan Buruj terhadap tulisanku, sebab aku tak pernah menyatakan bahwa “mengharap pahala dalam ibadah akan merusak keikhlasan”. Paragraf ini menguatkan dugaanku bahwa sesungguhnya Kawan Buruj tengah mendukungku secara tersembunyi. Dengan perkataan lain, ia sedang pura-pura menyerangku untuk meningkatkan popularitasku saja. Padahal, aku sungguh tak tergiur dengan popularitas karena terbukti banyak orang selain aku yang tak nyaman dengan popularitas.

Di paragraf ini pula pertentangan pendapat di antara kami muncul. Pada kalimat pertama, kita dapat lihat sendiri pendapat Kawan Buruj “Mengharap pahala dalam ibadah tidak merusak keikhlasan, karena ibadah dan pahala satu kesatuan (sepaket) begitupun berbuat dzalim sepaket dengan dosa.”

Jadi, blue-print Kawan Buruj dalam beragama dengan blue-print-ku dalam beragama mengalami perbedaan esensial di titik ini. Kupikir tak jadi soal. Sebab, bagiku, beragama bukanlah soal mengharap pahala. Aku senang melakukannya karena melaksanakan perintah Tuhan adalah bagian dari syahadatku, bagian dari keberimananku. Aku tak peduli lagi dengan pahala yang kudapat karena Tuhan sudah berjanji, aku samasekali tak meragukan janji-Nya. Justru, aku merasa meragukan janji-Nya saat aku mengharapkan pahala, apalagi menyiakan waktu menghitung-hitungnya. “Ngapain sih, mengharapkan yang sudah dijanjikan?!” Apa lagi, yang berjanji itu Tuhan. Sepertinya, bagiku, tak lagi penting mengharap dan menghitung-hitung pahala saat telah melaksanakan amal-ibadah. Masa’ sih sebagai Muslim aku ragu dengan janji Tuhan yang kusembah?!

Seingatku, makna takwa adalah melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Jadi, sebagai orang yang sedang berupaya bertakwa, aku mencoba untuk memenuhi syarat takwa yang telah kuimani itu, bukan menghitung apa yang kudapat. Aku lebih peduli dengan apa yang semestinya kubuat ketimbang menghitung apa yang sudah kulakukan dan sudah kudapat.

Namun, Kawan Buruj tetaplah kawan yang bagiku paling memahami diri ini (bahkan lebih memahami aku ketimbang diriku sendiri), meski kami berdua mengalami perbedaan pandangan di titik ini. Percayalah, kami berdua memiliki lebih banyak persamaan variabel ketimbang perbedaan… Jika menganalisis kami berdua dengan Diagram Venn, yakinlah kalian akan menemukan kami berada di perpotongan himpunan dengan bagian arsiran terbanyak.

Kalimat kedua dari paragraf ini juga sungguh membingungkanku. Sebab seingatku aku mengajak pembaca untuk memilah antara ibadah dengan pahala, bukan memisahkan. Ibadah adalah tindakan, pahala adalah konsekuensi. Demikian juga kejahatan dengan dosa. Tindakan dan akibat adalah 2 hal yang berbeda, namun tak terpisah.

Isi kalimat ketiga dan kalimat selanjutnya dalam paragraf ini membuat aku bingung dan pilu. Kawan Buruj seolah ingin menyeretku ke dalam golongan orang yang menurutnya aneh, padahal, menurut pikiranku, aku tak pernah melakukan hal-hal yang dibenci semacam memperolok pola beragama orang lain dalam tulisan yang diresponnya itu dalam tulisanku yang diresponnya, baik yang seagama maupun saudara sesama manusia yang berbeda agama. Aku cuma menceritakan mengenai proses metamorfosa motivasiku dalam beragama. Itu saja!

Soal ketidaksepakatannya mengenai fakta bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Tuhan, sungguh membingungkanku. Soalnya, sejak aku belajar beragama secara serius, setiap Ustadz, Teungku maupun Syech yang mengajar selalu mengatakan hal tersebut. Para pemberi ilmuku menceritakan juga mengenai para ahli ibadah yang amalnya sudah sangat besar, banyak dan tinggi tetapi tetap bertempat di neraka. Contoh nyatanya adalah Iblis dan Syech Bal’am. Juga riwayat yang kerap diceritakan kepadaku mengenai pelacur yang masuk surga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan. Atau, jangan-jangan tiap pengajar agama yang kutemui telah memberiku ajaran yang salah. Jika itu terjadi, aku akan menemui Kawan Buruj agar ia bersedia menunjukiku guru agama Islam yang layak untukku mengumpulkan ilmu.

Soal keberatannya tak bisa bicara bahwa si Fulan masuk neraka atau si Fulin masuk surga juga tak dapat kuikuti. Sebab, sebagai penganut Islam, aku masih bergelimang kelemahan, sehingga tak kusediakan diri meluangkan waktu untuk membicarakan peluang si Fulan masuk kemana atau si Fulin masuk kemana. Sebab, Tuhan telah memberikan juklak jika ingin masuk neraka atau masuk surga. Sebab, aku tak punya kewenangan dan waktu membicarakan kebersurgaan atau kebernerakaan seseorang. Ada kesan bahwa Kawan Buruj marah dengan orang-orang yang memperolok orang lain yang berbicara tentang neraka dan surga. Percayalah, aku tak sepakat dengan mereka, tapi tak meluangkan waktu untuk marah pada golongan tersebut, sebab aku yakin faedahnya tak relevan dengan tak ’kan ada gunanya. Wekawekawekawekawekaweka…

Kita telah diberi petunjuk untuk mengetahui golongan penghuni surga dan neraka, kafir dan munafik pasti di neraka, yang punya surga dan neraka yang bilang bukan ustadz ini dan ustadz itu, Allah yang katakan "berfirman" apakkah kita bisa pungkiri?! Ibadah semata-mata karena cinta kepada Allah tetapi pungkiri firman ganjaran pahala dan surga dari dzat yang dicintai ini sungguh konyol.

Lantas kalau kita sudah tahu mengenai ciri dan syarat penghuni surga atau neraka, ciri dan golongan kafir dan munafik yang pasti menghuni neraka dari firman Allah, lalu mau diapakan fakta tersebut? Digunakan untuk membenci? Atau dijadikan acuan agar tak menjadi golongan tersebut? Atau, mau kita bunuhi mereka yang tergolong kafir, fasik dan munafik? Aku berada pada barisan species yang percaya bahwa nilai akhir seseorang di hadapan manusia dan di hadapan Tuhan diukur ketika hidupnya telah berakhir. Sebelum nyawa meninggalkan tubuh, selama hayat masih di kandung badan, setiap manusia masih memiliki peluang untuk memperbaiki keburukan atau berubah dari orang yang suka berbuat baik menjadi insan yang mengingkari segala bentuk nikmat Tuhan.

Aku dengan segala kerendahan pemahamanku jadi bingung dengan “Ibadah semata-mata karena cinta kepada Allah tetapi pungkiri firman ganjaran pahala dan surga dari dzat yang dicintai ini sungguh konyol”. Sebab, tak kutemukan pernyataan dalam tulisanku yang menunjukkan bahwa aku telah memungkiri firman ganjaran pahala. Di sini kadang aku merasa bingung dan cenat-cenut. Apakah tak mengharap ganjaran dari Allah atas amal-ibadahku sama dengan memungkiri firman terhadap ganjaran pahala? Wekawekawekawekawekaweka…

Aku jadi ngakak karena bingung. Jadi ngakak aku karena bingung. Bingung aku karena jadi ngakak. Ngakak jadi karena aku bingung. Bingung jadi karena aku ngakak. Bingung ngakak karena aku jadi. Wekawekawekawekawekaweka…

Mohon maaf, Sidang Pembaca yang Budiman… aku suka ngakak kalau sedang bingung. Jadi, bagi para ahli-hisap (perokok), silakan sulut lintingan tembakaunya, bikin kopi, ngupil ataupun cucimuka. Biar santai sikit... Kalau mau ikut ngakak boleh juga, selagi gratis.Wekawekawekawekawekaweka…

Baiklah, kita lanjutkan lagi. Jangan lupa bernapas, sedot rokok, sruput kopi dan nikmati hidup…
Jadi, selama ini selain Guru Agama Islam, Guru Bahasa Indonesiaku juga salah. Soalnya menurut Kawan Buruj dengan maqam pemahamannya yang telah jauh melampauiku, “tak mengharap ganjaran pahala” sama artinya dengan “memungkiri ganjaran pahala”. Sementara, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesa dan para Guru Bahasa Indonesiaku, “tak mengharap” tidak sama dengan “memungkiri”. Inilah enaknya membaca respon Kawan Buruj, ia menyadarkanku bahwa selama ini aku telah belajar dari sumber yang salah. Atau, mungkin respon otakku terhadap informasi yang salah sensor. Wekawekawekawekawekaweka…

Ada apa dengan ibadah hitung-hitungan, bukankah setiap perbuatan itu memang dihitung baik perbuatan baik dan buruk semua ada ganjarannya, Al Mizan nanti semua akan dihitung. Ibadah di sebuah tempat juga dihitung, untuk mengetahuinya juga wajib ada dalil, sholat di Masjidil Haram dan Madinah lebih afdol misalnya. Bukan di kuburan syekh anu dan syekh anu atau di tempat keramat anu dan keramat anu, semua butuh dalil dan semua adalah hitung-hitungan. Surga dan neraka juga memiliki tingkat-tingkat sesuai dengan hitungan bagi penghuninya.

Paragraf ini kupandang sebagai kesetujuan, persetujuan dan kesepahaman di antara kami, aku dengan Kawan Buruj. Soalnya, disinilah aku dan dia sama-sama percaya bahwa amal-ibadah sudah ada yang menghitung. Sudah ada pesuruh Allah bernama Malaikat dengan tugas khusus tersebut yang melaksanakannya. Ngapain kita capek-capek menghitung sementara petugasnya sudah ada. Premis “Manusia adalah tempatnya salah dan dosa” kupandang cocok untuk disematkan ke konteks ini. Jadi, untuk menghindari kesalahan perhitungan dan dosa atas kesalahan perhitungan tersebut, tentu tak perlu kita menghitung amal-ibadah. Belum lagi dosa karena meragukan janji Tuhan. Atau, jangan-jangan, di maqam Kawan Buruj, Tuhan bakal menggunakan juga hitungan amal versi manusia?!

Jika ada perselisihan diantara umat kembali kepada Al Quran dan Hadist, jelas sekali itu. Tidak berandai-andai tidak bermain kata-kata, tidak pula berhayal.

Wallahu alam bishawab...
Buruj ck

Terimakasih telah mengingatkanku untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits saat ada perselisihan, meski aku tak sedang berselisih dengan siapapun, melainkan cuma menceritakan isi pikiran dari beragam peristiwa yang kualami.
Memang asyik jika kita bisa membahas masalah ketauhidan sambil kekeh-kekeh dan ngakak bersama. Itu juga tak ada salahnya, sebab menurut mushaf Al -Qur’an di rumahku, setidaknya ada 3 ayat yang berasal dari 3 surat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa kehidupan di dunia hanyalah senda-gurau belaka (Surat Al-An'Am ayat 32, Surat Al-Ankabut ayat 64 dan Surat Muhammad ayat 36).

Di sini kutemukan Kawan Buruj terperangkap jebakan offside tanpa pernah aku berusaha memasang perangkap apalagi berupaya menjebaknya. Tulisanku bukan khayalan, tetapi uraian mengenai peristiwa yang kualami dengan peristiwa, perbincangan dan pemikiran. Tolong tunjuki aturan mana yang kulanggar saat aku menguraikan peristiwa, perbincangan dan pemikiran tersebut dalam tulisan. Mungkin ada yang luput dari perhitunganku saat berpikir tak ada hal yang kulanggar. Tak ada sedikitpun pengandaian yang kutemukan melainkan ketika Kawan Buruj mengumpamakan Allah dengan Pencipta Mesin Cuci, Al-Qur’an dengan Buku Panduan Penggunaan Mesin cuci dan manusia sebagai mesin cuci.

Aku lumayan percaya (bukan beriman) bahwa Kawan Buruj tak memahami secara utuh apa yang kutuliskan karena maqam pemikirannya jauh melampaui jenjang tempat aku berpijak kini. Melalui tulisan ini, kuungkapkan dengan bahasa yang gamblang, tulisan yang dikomplain oleh Kawan Buruj adalah gambaran mengenai fase kebertuhanan, keberagamaan dan keberimanan yang kualami. Bisa saja di kehidupan ini ada orang yang mengalami fase serupa, bisa pula ada orang yang mengalami fase berbeda.

Jika Kawan Buruj tak sepakat dengan ungkapan Rabi’ah al Adawiyah tersebut, aku juga tak kaget di sisi lain ada orang yang sepakat, termasuk aku. Toh… sepakat atau tidak, ungkapan itu telah berjalan melintasi zaman berhias dengan kesepakatan dan ketidaksepakatan atasnya; Sepakat atau tidak, matahari akan tetap terbit di ufuk Timur dan terbenam di penjuru Barat. Simple, bukan? Aku juga tak memiliki kewenangan dan tak akan membuang waktu hidupku dengan memaksa orang untuk sepakat atau tidak sepakat dengan ungkapan tersebut. Lagipula, kita kerap bersepakat tentang banyak hal. Jadi, tak ada salahnya jika kita tak sepakat dengan satu hal ini atau beberapa hal lagi; juga tak ada aturan yang kita langgar seandainya kita berdua sepakat untuk tak sepakat sekalipun, bukan?!

Lagipula, Rabi’ah Al Adawiyah mengajukan sebuah pertanyaan dalam upayanya mendekatkan diri pada Sang Khaliq. Ia mempertanyakan motivasi beribadah yang mungkin baginya sudah tak relevan lagi, meuheut pada Surga dan takut pada Neraka.

Aku tak punya daya untuk meragukan betapa pasti janji Tuhan sehingga aku tak mau buang waktu hidup yang dianugerahkannya untuk menghitung amal atau kejahatan.

Meski di akhir kalimat pertama paragraf 6 tulisannya, Kawan Buruj berkata, “…baik menurut manusia belum tentu menurut Allah”; Aku tetap berupaya berbuat baik sesuai dengan panduan Al Qur’an dan Hadits beserta azas pergaulan hidup berupa aturan hukum, adat-istiadat maupun norma-kebiasaan. Misal, aku tak ‘kan lagi menyibukkan diri dengan smartphone saat sedang ngopi bersama kawan; atau bercita-cita membeli mobil agar cuaca tak jadi hambatan berpindah-tempat meski tak ada anjuran untuk memilikinya dalam ajaran Islam.

Beragama dengan sistem kompetisi juga tak menarik minatku. Sebab, syarat dan ketentuan berlaku (SKB) surga dan neraka terhadap tiap hamba telah tertulis. Kata seorang tukang kebun yang kukagumi kebijaksanaannya, “Surga, dengan segala jenjangnya, bukanlah sebentuk piala yang diperebutkan dengan batasan jumlah pemenang. Jadi, tak perlu berlomba, penuhi saja syaratnya!”

Aku cenderung memilih percaya dengan ungkapan tukang kebun tersebut karena segitulah yang mampu kupahami; karena ungkapan model itulah yang mampu kusepakati.

Di jenjang pemahamanku yang masih rendah ini, aku masih meyakini bahwa esensi keber-Tuhan-anku sangat dipengaruhi oleh caraku memperlakukan manusia. Tentu saja berbeda dengan Kawan Buruj yang telah mencapai maqam pemahaman yang menurutku lebih tinggi. Jadi, anggaplah aku masih berada di level playgroup dalam memahami agama, maka yang kutuliskan adalah pemahaman di jenjang playgroup pula. Jika memang pemahaman Kawan Buruj saat ini sudah berada di maqam yang lebih tinggi. ku yakin, suatu saat aku akan sampai di anak-tangga serupa. Jikapun aku tak mampu menggapainya, setidaknya aku yakin, Tuhan Maha Tahu bahwa aku telah berupaya.

Melalui jawaban ini pula, aku menyatakan diri bahwa untuk saat ini aku menolak menjalankan perintah agama dengan ketakutan, sebab, bagiku, jika Tuhan menyandang kata Maha dari semua kata sifat, aku masih yakin, Tuhan juga punya sifat Maha Asyik jika hambanya menjalankan perintah dan menjauhi larangannya. Jadi, aku sedang memilih beragama dengan asyik-asyik saja untuk menjangkau Ridha dari Sang Maha Asyik. Di jenjang ini pula, bagiku beragama dengan ketakutan itu tak ada asyiknya.

Sejauh ini, hidup adalah anugerah tertinggi yang bisa kupahami. Dengan hidup aku mengalami segala hal yang mengaduk perasaan. Riang, gembira, sedih, duka, lelah, segar, sesak, lega dan beragam pengisi pun penghias ruang batin lainnya. Bayangkan, dari tiada aku diciptakan dan dilahirkan menjadi ada. Bagiku, nikmat ‘ada’ saja belum ada taranya, belum cukup kusyukuri. Kupikir-pikir (dengan kapasitas otak yang belum maksimal kupakai ini), lebih banyak hal yang mesti kusyukuri ketimbang hal yang kutakuti; meskipun tak sekejappun kupungkiri bahwa aku melandasi iman dan takwaku di atas rasa takut pada Tuhan.. Sejauh ini masih lebih banyak hal yang mesti kusyukuri ketimbang kutakuti. Tercipta, lahir, ‘menjadi ada’ dan ‘mengalami’ kudapat tanpa perlu melakukan apapun! Itu sesuatu yang warbyasah!

Jadi, kupikir-pikir, lebih baik aku terhindar dari dosa dan laknat karena berupaya mengkudeta Tuhan;

  1. Mengisi hidup yang dianugerahkan-Nya dengan mencabut nyawa orang atas nama-Nya (Membunuh atas nama Tuhan); dan
  2. Mengatasnamakan Tuhan untuk meraih kekuasaan.

Lagipula, ini soal perbedaan perspektif dan motivasi saja adanya. Aku sungguh percaya bahwa tak ‘kan ada perbedaan substantif di jenjang penerapan ajaran agama yang sama-sama kami yakini. Sebagai hamba yang dha’if dan insan berlumur dosa, aku sungguh hendak menghindarkan diri dari tindak pemberhalaan Tuhan; melaksanakan nilai Ilahiyah tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan nilai kemanusiaan.

Mengakhiri jawabanku atas hujatan Kawan Kawan Buruj, aku hendak mengutip ungkapan dari Imam Syafi’ie Rahimahullah, “Aku bersedia berdebat selama tujuan dari perdebatan adalah untuk mencari kebenaran yang sepenuhnya milik Allah…”.

PS: Tulisan ini kuketik dengan HP Nokia 3315. Bagi yang tak percaya fakta tersebut, berarti masih menggunakan akal sehatnya. :P

Sort:  

Busyeeettt..... Panjang bener ini pembahasan... Harus meet-up ini pembahasan...

Bg @sangdiyus, itu soal Abang ngetik pake hape 3315 gak percaya.. klo ada rencana mau ngetik lagi, aku live ya...

Keren Bg,... Aku kapan2 akan nulis juga lah tentang ini menurut yang aku tau... Hehe..

Aku 'kan masih di level pemahaman playgroup, jadi harap maklumi kalau tanggapanku sesuai dengan jenjang pemahamanku juga.

Syukurlah kalau engkau tak percaya. Senang juga mendengar kabar rencana menuliskan tema serupa.

Sama kita Bg @sangdiyus, masih di level play group..

Tapi aku malu juga ni, takut kalau gak kesampaian, jadi sebelum gak kesampaian mohon maaf dulu ni.. hehe

Memohon maaf tanpa berbuat salah adalah tindakan yang bikin aku makin pening...
Hahahahahaha...

dan aku kebingungan

Mari bingung bersama agar tak merasa sendiri... :p

Memanglah, Sang Melegenda

Sangsang mantong melegenda, peudahay meusipade than...
:P

Emanglah.. per paragraf dikupas... luar biasa.
😃 menunggu kelanjutannya (jika masih ada respon untuk tulisan ini)

Hehehehehehe...
Biar asyik dan runut. Supaya aku bisa makin banyak belajar dari yang lebih tau, Bro...

Panjang benerr bahasannya, Om. Kalah panjang fred gitar hahaha

Hehehehehehe...
Mari kita buat project memanjangkan fret gitar, Ketua...

Mas tolong masukin saya ke komunitas stemit Indonesia...
Saya pendatang baru di steemit

Lon hana meuphom chit cara tamong KSI, Ngon...

Achi lakee arahan dari Rakan Kemal.

Udah diajak ngopi belum, bro? ;)

Belum, Bang...
Semoga bisa ngopi, meskipun cuma ngopi-darat...
Hehehehehehe...