Once upon a time

in #life6 years ago (edited)

Biasanya setelah melakukan transaksi sek ganjil, si lelaki membawanya ke sebuah kafe yang terletak di bundaran persimpangan. Di dalam kafe itu mereka minum jus. Kemudian si lelaki memanggil becak, dan si gadis naik becak, pulang sendirian.

Karena tidak merasa nyaman tinggal di situ, aku pindah ke asrama lainnya. Di asrama baru itu hampir tiap malam aku melihat sebuah mobil berhenti di depan sebuah rumah kost putri yang letaknya di samping asrama kami. Mobil itu berhenti sekitar 10 menit.

Tiba-tiba keluar seorang perempuan dari mobil itu, diikuti seorang lelaki; aku menduga mereka sepasang kekasih. Di depan pintu rumah kos putri itu, sebelum si perempuan masuk, mereka kembali berciuaman hebat seperti dalam film Hollywood. Aku melihat adegan itu dari lantai dua sambil menghisap rokok.

Aku juga pernah tinggal di Gedung Juang samping Pendopo Gubernur saat bulan puasa. Selepas tarawih, sebuah motor berhenti di samping gedung itu. Mereka tidak tahu kalau di dalam gedung itu ada aku dan beberapa mahasiswa lain. Si lelaki mengenakan peci, dan si perempuan masih mengenakan mukena. Mereka bercumbu di situ sekitar 15 menit, peluk-pelukan dan ciuman-ciuman liar dengan tergesa-gesa. Akhirnya kami menghidupkan lampu luar dan mereka panik langsung pergi.

Saat itu aku juga mulai mencium gelagat wanita-wanita yang doyan berondong. Kasus ini terbongkar dan diberitakan di koran dengan judul Arisan Berondong Terbongkar.

Aku juga pernah mendapati dua gadis tanggung yang berjalan saling bergandengan tangan. Salah satunya berpenampilan seperti lelaki. Mereka berbicara mesra sekali.Kehadiran anak-anak punk yang menjadi polemik, pengemis yang bergentayangan, dan lembu-lembu yang berkeliaran pada malam hari di kota pelajar memenuhi halaman koran setiap hari.

Yang paling mengesankan adalah Wak Alu, rambutnya gimbal seperti musisi reggae. Dia hanya mengenakan sehelai handuk yang melilit di pinggangnya. Sering kelayapan dari Jembatan Lamnyong hingga depan gedung ACC Dayan Daud. Aku sering memberinya sebatang rokok. Satu waktu, Dda jongkok, aku juga ikut jongkok menyalakan rokoknya. Saat jongkok, dia menodongkan sebuah revolver ke arahku. Pelurunya cuma dua, gagangnya besar dan sedikit berdebu. Dia tidak mengenakan celana dalam. Biasanya mahasiswi akan menjerit-jerit dan lalu tertawa saat melihat kejadian langka ini. Aku juga sering keluyuran ke Rise Up Cafe, di depan Fakultas Ekonomi Unsyiah. Kafe itu milik orang Libanon. HERMES Palace; sepertyinya hotel ini hebat sekali. Banyak musisi dan orang penting bermalam di sini. Aku bukanlah orang penting atau musisi, tetapi pernah bermalam di situ saat namanya masih Swiss Belhotel, di akhir bulan saat anak-anak kos merebus mie instan.

Di situ ada seorang kawan yang bekerja sebagai penjaga gudang; menjaga ketersedian barang dan bahan makanan. Karena kerjanya bagus, pihak hotel memberinya kupon, semacam undangan, boleh mengundang salah satu keluarga untuk menginap di situ selama sehari semalam. Dia tidak punya keluarga di Banda Aceh dan dia juga belum beristri, maka undangan itu diberikannya untukku.

Mewah sekali di dalam, banyak orang asing. Yang paling mewah adalah toiletnya; tidak ada air, kecuali tisu. Sehingga untuk buang hajat aku harus pulang ke asrama. Pihak hotel menyediakan taksi—dan dalam hidup cuma sekali itu saja aku naik taksi. Menginap di Swiss Belhotel, rasanya seperti orang kaya saja. Di dalamnya seperti ada tempat hiburan, mirip Budha Bar.