Suatu ketika sekitar tiga bulan yang lalu, aku ditugaskan bimbelku mengajar di Pesantren An-Nur. Hampir tiap tahun pesantren ini memang selalu mengadakan bimbel kerja sama guna persiapan UN. Jumlahnya ada enam kelas: 4 kelas untuk SMP dan 2 kelas untuk 3 IPS.
Setiap tahun aku pasti mengajar di sini. Ternyata beberapa pendiri pesantren ini adalah ustazku yang dulu mengajarku di Madrasah Al-Ikhwan, yakni Usatz Fauzi dan Ustaz Yudi. Mereka berdua alumnus Pesantren Darussalam di Gontor, Jawa Timur.
Pagi itu, enam pengajar dan seorang sopir sudah tiba di ponpes An-Nur. Kebetulan, aku dan Defrita mendapat bagian mengajar di kelas 3 IPS. Sebenarnya, mengajar di Ponpes An-Nur menyenangkan karena siswa-siswinya sangat tahu sopan santun. Misalnya saja kalau masuk ke kelas yang khusus santri laki-laki, mereka tidak akan genit-genit, seperti siswa SMK jurusan Kriya di Kabupaten Batanghari atau siswa jurusan Pertambangan di SMK DB.
Salah satu hal yang membuatku agak malas mengajar di bimbel kerja sama sekolah lain disebabkan oleh beberapa siswa yang seringkali kurang ajar terhadapku. Apalagi saat memperkenalkan diri, seringkali dari tahun ke tahun kuamati, salah satu siswa laki-laki mengatakan, “Boleh dipanggil Sayang, gak?” Memang ini hanya candaan, tapi bagiku ini sangat tidak etis.
sumber: pesantren media
Baiklah, kita kembali ke kisah di Ponpes An-Nur. Saat bel pertama tanda usai pelajaran, aku mengunjungi Defrita, pengajar Geografi yang memelihara kucing ras. Kukatakan padanya bahwa aku ingin sekali buang air kecil. Defrita lalu menyampaikan hal tersebut kepada santri perempuan. Beberapa santri perempuan hendak mengantarku ke toilet.
“Toiletnya jauh, Ustaza. Di sana, di dekat asrama kami,” jawab salah seorang santri perempuan sambil menunjuk sebuah bangunan.
“Tidak apa, Dik,” jawabku.
Defrita pun menemaniku. Sekitar sepuluh santri mengawal kami. Perjalanan dari kelas menuju asrama lumayan jauh, memakan waktu lima menit saja. Saat tiba di depan asrama santri perempuan, tiba-tiba kami dikejutkan dengan pemandangan yang sungguh mengiris perasaanku. Sebuah mobil Strada Triton menyerempet kucing kecil berwarna kuning. Usia kucing itu kira-kira baru berusia dua bulan.
Kucing itu pun tergelatak di jalan tanah berpasir sambil mengeong kesakitan dan mobil Strada pun mundur. Di dalam mobil itu hanya ada seorang laki-laki paruh baya yang sedang merokok. Ia tampak tak merasa bersalah saat aku dan Defrita langsung lari menghampiri kucing tersebut. Para santri perempuan langsung mencarikannya kardus dan memasukkan kucing itu. Dari luar memang tak ada darah di sekujur tubuhnya, namun kucing kecil yang kami baringkan itu berkali-kali mencoba berdiri, tetapi selalu gagal.
sumber: Defrita Mardhatillah (Foto Defrita dan kucingnya yang bernama Luhan)
Aku sungguh tak sanggup melihatnya, apalagi mendengar erangan kesakitannya. Saat itu juga aku tiba-tiba lupa bahwa tujuan utamaku adalah ke toilet. Seorang santri mengingatkannya, lantas ia mengantarkanku ke kamar mandi yang berjajar rapi. Kutinggalkan Defrita dan beberapa santri yang menemani kucing kecil.
Ada peraturan membuka alas kaki untuk memasuki kamar mandi. Saat aku hendak membuka sepatu docmart cokelatku, santri yang menugguiku melarangnya. Bisanya kalau begini, aku akan tetap mematuhi peraturan dan tetap membukanya, namun entah apa yang merasuki kepalaku, aku pun menuruti saran siswaku itu.
Saat aku kembali menemui Defrita dan melihat kucing kecil itu, ibu si kucing sudah berada di dalam kardus. Sambil mengeong, ia menjilati anaknya. Namun suaranya yang begitu pilu sungguh menambah kekalutan yang kurasakan. Mobil Strada itu pergi saat perempuan penjaga kantin masuk ke mobil. Aku, Defrita, dan beberapa santri yang kasihan dengan nasib kucing ini hanya bisa mengelus dada dan tiba-tiba saja bel berbunyi. Kami pun berjalan menuju kelas.
“Kucing itu kasihan sekali, Fi. Kakak tidak tega melihatnya. Apa yang harus kita lakukan, Fi?,” tanyaku kepada Defrita. Santri-santri perempuan berjalan di belakang kami. Sambil setengah berbisik, Defrita pun menjawab.
“Kak, bagaimana kalau kita bawa ke dokter saja kucing ini saat kita usai mengajar? Tapi Kak, untuk biaya operasinya bagaimana? Kemungkinan mahal lo kak, bisa sampai Rp3jutaan kak. Estimasiku segitu, Kak,” jawab Defrita.
“Itu ide yang bagus. Kalau masalah uangnya, kita bagi dua saja bagaimana?” tanyaku sambil mengingat-ingat bahwa di tabunganku masih ada sisa hadiah menang sayembara penulisan cerita anak dari Badan Bahasa.
“Kakak serius mau? Alhamdulillah, nanti setelah pulang dari An-Nur, kita bawa langsung kucing ini Kak, temani aku ya Kak ke dokter hewan dekat kantor!” ajak Defrita. Aku pun mengatakan kepada Defrita bahwa aku tak bisa menemaninya bukan karena tidak mau, namun karena aku sudah ada janji untuk mewawancarai Fatin Hamama (perihal puisi esai) via telepon. Kukatakan padanya ia naik gocar/grabcar saja biar nanti ongkosnya kutanggung saja. Defrita pun menyetujui.
Saat usai jam kedua di kelas santri perempuan, kukatakan maksud kami untuk menyelamatkan kucing itu dan akan mengembalikannya setelah ia pulih. Para santri pun menyetujuinya. Di perjalanan pulang, teman-teman pengajar pada heboh. Kukatakan kepada mereka bahwa Defrita memang sangat baik. Ia adalah malaikat penolong bagi banyak kucing.
Aku sungguh senang ketika persepsi teman-teman, satu-satunya penolong kucing itu adalah Defrita. Bagiku, kebaikan yang benar-benar tulus tak perlu diketahui banyak orang dan kali ini aku mengatakannya kepada kalian untuk menceritakan bahwa di dunia ini masih ada orang baik seperti Defrita. Masih ada orang yang peduli pada kucing kampung meski Defrita memelihara kucing persia. Defrita sungguh beda dengan temanku yang satu lagi, pemelihara kucing ras juga, yang terkadang sering menghina kucing kampungku.
sumber: Defrita Mardhatillah
Pukul 14. 15 WIB aku kembali ke kantor dan tiba-tiba Defrita menemuiku. Ia memberikan kuitansi hasil berobat. Berdasarkan diagnosis dokter, kucing itu mengalami patah kaki sehingga kakinya harus diperban. Seminggu setelah ini, kucing ini akan dioperasi dan dimasukkan pen penahan agar tulang yang patah menyatu kembali. Defrita bilang kucing yang ia beri nama kunyit itu diletakkan di kandang kucing persianya. Sementara kucing-kucing persianya, ia letakkan di dalam kamar.
“Alhamdullilah, hanya habis Rp80.000,00, Kak. Akan tetapi, ini belum masuk biaya operasi. Seperti yang kubilang tadi pagi, biayanya agak mahal, Kak,” ucapnya.
sumber: dokumen pribadi
“Sudah, jangan kaucemaskan. Uang Kakak inshaa allah masih cukup untuk menebus operasinya. Semoga kita bisa menolongnya ya, Aamiin,” ucapku. Kupikir uang di tabunganku akan jauh lebih berharga kalau dipakai menolong kucing ini sebab aku yakin, kelak akan mendapat ganti yang lebih, asalkan ikhlas dan tidak pamrih.
“Oh iya, Kak. Tiga hari lagi aku akan ke Jakarta menemani ibuku, nanti aku nitip si kunyit ya!” pinta Defrita.
Aku pun mengangguk sambil memutar kepala, kalau si Kunyit di rumahku, ia akan punya teman. Kebetulan empat kucing kampung yang induknya hilang dicuri orang besarnya sama dengan si kunyit.
Sehari berikutnya, Defrita bilang kalau semalam si Kunyit tidak mau makan. Aku selalu menanyakan perkembangannya melalui WA. Defrita bilang kalau si kunyit butuh susu khusus kucing, tadi Defrita sudah mampir ke dua Petshop, tapi susu kucing sedang habis.
“Kebetulan sekali, kemarin Kakak beli dua kotak susu khusus kucing. Masih ada satu kotak, nanti malam kakak antar ya ke rumahmu! Sambil menebus uang perban kemarin,” kataku.
sumber: Defrita Mardhatillah
Malamnya aku ke sana mengantarkan susu, Defrita menolak aku membayar uang itu. Kuyakinkan padanya bahwa uang ini tidak bernilai pamrih, memang khusus buat si Kunyit, tapi Defrita tetap menolak dengan alasan ditukar dnegan susu. Selang tak beberapa lama menatap si Kunyit yang berbaring tak berdaya di dalam kandang, aku pun bergegas pulang. Di sela-sela itu, Defrita bilang perban di kaki Kunyit sudah dibuka atas perintah dokter via WA.
Minggu itu matahari berada dua depa dari atap rumahku. Aku dan kekasihku berangkat ke mal guna membeli titipan ibu sekaligus aku hendak mencari jaket levis. Sebab jaket levisku hilang saat aku ke Jakarta Oktober tahun lalu. Di sepanjang perjalanan ke mal, aku tak bisa berhenti memikirkan si Kunyit. Tadi pagi Defrita mengabari kalau kaki si Kunyit bengkak sangat besar dan pesan dokter si Kunyit harus cepat-cepat dibawa ke klinik untuk segera dioperasi.
Defrtita juga mengatakan bahwa ada komunitas pencinta kucing jalanan yang membantunya di klinik. Komunitas itu bekerja sama dengan dokter hewan di klinik tersebut. Semua kucing kampung yang hendak dioperasi akan dibantunya “open donasi”. Jadi, semua penanganan si Kunyit diserahkan kepada komunitas kucing itu.
Karena dua hari lagi Defrita akan ke Jakarta, si Kunyit pasti akan kujaga dan kurawat, jadi setelah pulang dari mal aku akan menuju ke sana, sekaligus transfer donasi ke ATM.
Usai membeli pesanan ibuku dan hendak mencari yang kuincar, tiba-tiba HP-ku berdering. Ada bertubi-tubi pesan di WA dari Defrita yang menagbarkan kematian si Kunyit. Defrita mengatakan bahwa aku tidak usah transfer uang karena si Kunyit telah berpulang. Semua pemakaman sudah ia serahkan ke komunitas kucing itu.
Aku yang merasa berdosa tiba-tiba seperti ingin menangis, air mata yang sudah membasahi mata kutahan agar tidak jatuh. Aku sungguh malu kalau kekasihku tahu bahwa aku menangisi hal-hal yang menurutnya tidak terlalu penting.
Saat aku hendak mengunjungi Kunyit ke komunitas kucing itu, Defrita mengatakan bahwa ia juga tidak tahu di mana tempatnya sebab Defrita juga tidak mengikutinya. Setelah ia yakin si Kunyit aman ditangani komunitas itu, Defrita langsung pulang ke rumah. Saat itu Defrita berusaha menenangkanku agar ikhlas menerima keadaan.
sumber: Defrita Mardhatillah
Di perjalanan pulang, aku memaki diriku sendiri karena telah salah mengambil langkah. Harusnya aku klinik dulu kemudian ke mal. Namun mau bagaimana lagi? Nasi telah menjadi bubur.
Hari Jumat ketika kembali mengajar di Ponpes An-Nur pada jam pertama, aku memohon maaf kepada santri perempuan karena Tuhan lebih sayang kepada Kunyit. Mereka pun memaklumi.
Saat mobil kami hendak ke luar dari Ponpes, puluhan santri perempuan tiba-tiba saja sengaja menunggui mobil kami dan melambaikan tangannya seolah Jumat depan aku tak akan datang kembali. Tak ada Defrita Jumat kali ini.
Pertanyaan Defrita Minggu lalu begitu terngiang-ngiang di telingaku.
“Kak, Ponpes An-Nur ini lumayan jauh dari Kota Jambi, kakak tahu kan letaknya di Kabupaten Muaro Jambi, bagaimana kelak kita mengembalikannya jika Kunyit sembuh? Aku kan tidak bisa naik motor, kalau naik taksi online pasti mahal, Kak.”
“Ah, gampang saja. Nanti biar Kakak yang akan memboncengmu naik motor, kau mau kan?”
“Hahahahaha, boleh kak. Apa kakak tidak capek nantinya?”
“Jauh dan dekat itu hanya ada dalam pikiran. Seberapa jauh pun tempatnya kalau sudah niat, pasti akan sampai kok,” ucapku seolah mengingkari realitas.
Saat ban mobil menancap di lubang jalanan, tiba-tiba aku tersadar bahwa niat yang hendak kami tunaikan itu tidak sampai.
“Bukan tidak sampai, hanya belum sampai,” kata orang lain dalam tubuhku yang tiba-tiba saja muncul di saat yang selalu tak pernah kuinginkan.
Semakin lezat karyamu dik @puanswarnabhumi
Nah, ini buat GR 😄
Saya selalu mengapresiasi apa adanya jika memang tidak asyik saya akan katakan tak asyik dengan alasannya salam kreatif buatmu @puanswarnabhumi dikau maju pesat saya mengamatimu semenjak di medsos
Trims banyak, bang😝💪
Semakin menarik aja storynya, jadi pengen di jadiin tokoh dalam cerita yang akan datang.
Benar bang jadi pengin daftar ya @alhidayat
Ckckckckck
Boleh2 bang. Hihihihi
Storytellingnya kuat. Bisa mengingat hal-hal detil, seperti Kunyit butuh susu. Hm. Ini asik dibaca. Lancar dan mengalir saja. Selamat jalan ya Kunyit. Terima kasih buat Defrita yang tulus, dan kamu yang ikhlas.
Berarti dikau mengamati juga kemajuan @puanswarnabhumi memang teman yang asyik dikau @apilopoly
Jangan bosen mampir ya, Bang😝
Sama2 bang. 😫😥
cerita yang apik gaya bahasanya, tidak membosankan
Makasih kak😘
Cerita kehidupan yang bagus.
Ig nya bleh di follow ga ya? hee....
Boleh. Ntar difolbek kok. Hihi
Ok, makasih aku follow ya... Hee
Siapppp
Terharu bacanya.. Kita harus saling menyanyangi termasuk dengan hewan.
Trims bang. Bener itu, Bang.