(Kisah) Aku Bilang, Aku Seorang Pelacur

in #story6 years ago

image

Note : ini merupakan cerita yang tidak memiliki unsur kenyataan, harap pembaca memaklumi agar tidak terjadi kesalahpahaman sehingga jika ada tokoh dan tempat serta kejadian yang sama, maka ini hanya kebetulan semata.

Ayahku punya istri empat; dan aku, tentu saja, hanya punya satu ibu. Eliastri, istri pertama ayahku, adalah ibuku. Lantas ayah menghamili ibu dan lahirlah aku. Namaku Maya. Catat, aku seorang pelacur.

Aku punya satu anak, namanya Perempuan. Dia kini masih berusia sepuluh tahun. Jangan bertanya siapa suamiku, karena anakku pun tak pernah aku ajari untuk bertanya siapa ayahnya. Lelakiku banyak. Anakku satu. Tapi aku hanya ingin mengatakan, bahwa lelaki-lelakiku, mereka tak benar-benar mau menjadi suamiku, tak benar-benar mau menjadi bapak bagi anakku.

Setelah ibuku meninggal, aku kini sendiri, maaf, maksudku kini berdua, tentu dengan anak perempuanku. Dia anak yang sangat pendiam. Dia tak pernah bertanya apa pekerjaanku. Dia tak pernah bertanya siapa ayahnya. Karena dia bisu. Tak bisa bicara.

Konon, ayahku menikahi perempuan lain ketika dua tahun sebelumnya menikahi ibuku. Lalu satu tahun kemudian ayahku menikahi perempuan ketiga. Lalu keempat. Setelah itu, ayah tak menikah lagi. Mungkin sudah tua.

Aku tak paham pikiran ibu seperti apa ketika ia dengan mudah memberi ijin pada ayah untuk menikah lagi. Mungkin ibu takut ayah marah dan dicerai. Atau takut miskin. Atau takut dicap sebagai istri yang tak patuh alias durhaka pada suami. Entahlah.

“Aku sangat mencintainya, ” ucap ibu masygul suatu ketika. Tapi kupikir, ayah tak mencintai ibu. Tapi ibu tak suka dulu aku bicara begitu tentang ayah. Dia tersinggung. Dia menangis. Dulu, ibu seperti mencoba memahami ayah dengan hati-hati.

Bicara tentang menangis, aku sering mendapati anak perempuanku menangis diam-diam di kamarnya, bila hari menjelang larut malam. Barangkali dia ingin bermain di luar rumah seperti anak lainnya, tapi aku tak mengijinkannya. Alasannya memang picik, aku kasihan padanya karena dia seringkali diejek anak-anak kampung: ibumu pelacur! Ibumu pelacur!

Atau mungkin karena ia ingin sekolah dan aku tak pernah memberinya kesempatan untuk itu. Alasannya: tak punya biaya, titik! Tapi aku selalu menyuruhnya datang ke rumah Maemunah, anak tetangga. Aku menggajinya. Biarlah anakku belajar menulis dan membaca padanya.

Atau mungkin ia menangis karena mendapati dirinya adalah seorang perempuan yang lahir sebagai manusia yang tak bisa bicara?
Dulu, ibuku pernah berani menangis dihadapan ayah. Dia protes. Aku rasa ia terlambat ketika sudah beberapa tahun akhirnya mulai bicara tentang istri paling tua, cemburu, sakit hati dan sebagainya dan sebagainya.

Pada mulanya aku menduga, di usia yang setua itu, ayah akan menyikapi keluhan ibu dengan bijak dan baik. Tapi dugaanku tak benar. Ayah malah menampar ibu di hadapan ketiga istrinya yang lain. Hati ibu bulat, akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah, dari ayah.

(Lanjut ke bawah )

Hati ibu bulat, akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah, dari ayah. Ibu pindah ke kota lain membawa sertaku. Ketika itu aku masih berusia 9 tahun). Sekolahku tak bisa dilanjutkan lagi. Setelah itu, ibu bekerja jadi pembantu rumah tangga, dan aku—diam-diam—membersihkan kaca jendela mobil di perempatan lampu merah. Tentu, tanpa sepengetahuan ibu.

Dari sanalah, jalanan melahirkanku menjadi seorang pelacur. Beberapa bulan menjadi seorang pelacur, mendadak aku pun hamil. Entah benih siapa yang membengkakkan perutku. Aku lupa. Ketika itu ibu marah besar mengetahui aku jadi pelacur dan hamil. Aku menangis dan takut.

“Menjual harga diri untuk bertahan hidup adalah sebuah kesalahan, ” kata ibu kala itu. Tapi perut yang kian membesar tentu bukan sebuah kesalahan. Biarkanlah anakku lahir, meski tanpa kehadiran seorang bapak, meski tanpa pengakuan dari neneknya.

Ketika anakku menginjak umur satu tahun, ibu meninggal dunia. Kemudian aku sering ziarah ke makamnya. Tapi aku kesulitan untuk menerima kenyataan bahwa setelah ziarah ke makam ibu, aku masih kembali didekap puluhan lelaki di malam-malam yang dingin. Hari-hari yang belakangan membuatku muak. Engkau harus tahu, bagiku acapkali hidup butuh uang lebih, dan aku harus belajar menerima pekerjaanku.

Usiaku kini 29 tahun. Barangkali; dan anakku hari ini—seharusnya dia tahu berapa umurnya. Anakku berusia tujuh belas tahun, atau mungkin lebih.

(Lanjut ke bawah )

Anakku berusia tujuh belas tahun, atau mungkin lebih. Dia tumbuh menjadi perempuan yang cantik, tapi sayang, bisu. Mungkin dia mulai yakin dia kesepian. Tapi aku suka puisi-puisinya. Meski ditulis dengan tulisan-tangan yang jelek, tapi aku dapat membacanya--aku tak jarang mengkhayal dia membacakannya untukku.

Setiap malam dia tampak menulis puisi. Sendirian. Bahkan aku senang dalam beberapa puisinya, dia jatuh cinta pada seorang lelaki. Dia sudah percaya diri dengan perasaannya sendiri. Aku tak tahu siapa lelaki itu, toh dia tak pernah bisa bicara padaku. Sudah aku bilang, dia bisu.

Barangkali diapun tak tahu siapa nama lelaki itu, atau mungkin dia hanya melihat lelaki itu lewat depan rumah, dan dia melihatnya diam-diam dari jendela. Entahlah.

Aku sadar, aku telah cukup tua. Akhir-akhir ini aku seperti merasa tubuhku menabung penyakit yang sewaktu-waktu siap meledak. Belakangan ini, aku punya niat berhenti jadi pelacur. Kalau aku jujur, ternyata menjadi seorang pelacur banyak menerima resiko buruk. Aku ingin sehat jasmani dan rohani, baik-baik saja.

Hidup ternyata tak cukup utuh dibeli dengan uang. Aku enggan anakku merasa kesepian, dengan keadaanku yang akan membuatnya tak nyaman. Atau setidaknya, keadaan sehat dan baik-baik saja lebih beruntung ketimbang merasa ngeri harus menerima usia yang mulai menua, dengan jiwa yang lepuh, pikiran yang rapuh.

(Lanjut ke bawah )

Atau setidaknya, keadaan sehat dan baik-baik saja lebih beruntung ketimbang merasa ngeri harus menerima usia yang mulai menua, dengan jiwa yang lepuh, pikiran yang rapuh.

Tapi aku terkadang merasa tak yakin sudah tua ketika suatu hari seorang lelaki, yang baru aku kenal di bis kota, sering datang ke rumah (dia lebih muda dari saya) dan akhirnya mengajak saya menikah.

“Saya benar-benar ingin menikahimu, Maya.” Ucapnya berwibawa. Tapi aku bilang, aku seorang pelacur. Mendengar itu, dia sejenak terlihat sedikit resah.

“Sekarang pulanglah,” ucapku dingin, “kalau kamu benar-benar ingin menikahiku dengan keadaan mantan pelacur dan punya anak satu, datanglah besok.”

Keesokan harinya, dia tak muncul. Aku tebak pasti dia merasa tertipu.

Tapi kejadian itu, dalam beberapa hari kemudian, sempat mengganggu pikiranku. Benarkah aku akan terus sendiri, tanpa suami? Masihkah aku dalam usia setua ini dapat menarik hati lelaki? Atau adakah lelaki yang mau punya istri mantan seorang pelacur?

Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran dalam ruang benakku. Pertanyaan-pertanyaan itupun sekaligus menghukum diriku ketika aku tak kuasa menolak impian tentang seorang lelaki yang mau menikahiku, dengan melupakan pengalaman burukku yang sudah-sudah, mengajakku mengisi rumah yang sederhana, dan menyayangi anakku. Ya, apakah aku tak ingin hidup normal?

(Lanjut ke bawah )

Ya, apakah aku tak ingin hidup normal?

Bicara tentang hidup normal, aku ingin cerita tentang anakku hari ini. Di umurnya yang ke 20 tahun, anakku itu sudah mulai hidup normal, maksudku, dia sudah punya gairah pergaulan. Aku senang dia sudah pandai merawat diri, berdandan dan tersenyum sendiri di depan cermin. Bahkan sesekali dia sudah mulai menulis keinginannya dalam sehelai kertas dan menyerahkannya padaku.

Aku tahu dia ingin main ke rumah. Aku tahu dia ingin sendirian di dalam kamarnya. Aku kini jadi mudah membaca keinginan-keinginannya. Dia sudah pintar menulis. Tapi dia lebih dekat dengan Maemunah anak tetangga ketimbang ibunya. Itu berarti Maemunah lebih tahu perihal persoalan pribadi anakku ketimbang aku, ibunya.

Maklumlah, dulu aku terlalu keras padanya, terlalu cuek. Mungkin dia masih takut padaku. Tapi kata Maemunah, anakku kini tengah dekat dengan seorang lelaki. Lelaki itu seorang mahasiswa yang rumahnya di ujung jalan dekat mesjid agung alun-alun. Aku tak tahu, apakah mereka pacaran atau tidak.
Tapi aku bahagia mendengar kabar terakhir itu; anakku sudah punya gairah hidup, gairah bergaul…

Tiga minggu berlalu. Malam ini, aku melihat anakku menangis lagi. Aku menghampirinya perlahan. Aku berharap perempuan dapat memberitahuku kenapa dia menangis. Selalu saja, dia masih tak terbuka padaku. Selalu saja, dia enggan sekedar berkeluh-kesah padaku tentang air matanya.

(Lanjut ke bawah )

Selalu saja, dia enggan sekedar berkeluh-kesah padaku tentang air matanya. Dia kini hanya menangis, tak lebih dari itu. Tapi aku yakin, Maemunah dapat memberitahuku apa yang membuat anakku belakangan ini menangis.

Maemunah bilang, dia kehilangan cinta seorang lelaki—aku tak tahu, apa kata “kehilangan” itu bearti anakku putus cinta atau cinta yang tak sampai. Entahlah, Maemunah juga tak tahu persis.

Tapi aku hanya sedikit tertawa mendengar kabar dari Maemunah itu.

“Kegagalan cinta itu hal yang biasa, sayang, ” ucapku pada anakku keesokan harinya.

Beberapa hari kemudian, kondisi fisikku ternyata lebih baik dibanding ketika aku masih menjadi seorang pelacur. Aku jadi merasa sehat, dan cukup tidur. Anakku juga sudah mendingan kadar sakit hatinya karena asmara.

Dengar, menurut kabar terbaru dari Maemunah, anakku sudah mulai banyak teman, ah, meski aku tahu dia tak bersekolah dan bisu sekalipun—mungkin karena dia cantik (aku selalu gembira dengan ucapan itu).

Lihat anakku lebih riang dalam beberapa hari ini. Aku berharap kehidupan kami akan berjalan baik dan normal. Aku juga harus mulai belajar bersikap lembut pada anakku.

Untuk itu, diam-diam aku terkadang menyelinap ke dalam kamarnya. Tentu saja, ketika dia tak ada di rumah. Kupelajari puisi-puisinya. Kubuka buku hariannya. Kupahami keinginan-keinginannya. Aku ingin tahu sifat-sifatnya—Wah! Aku suka puisi anakku yang satu ini:

(Lanjut ke bawah )

Wah! Aku suka puisi anakku yang satu ini:

---Berabad aku diam dalam bisu-sepi malam
Disinilah gemetarku mencinta kata-kata
Ibuku, ibuku, gema rahasia yang melambat
di kelu lidahku.---

Aku membaca puisi itu berulang-ulang. Aku masih tak mengerti apa maknanya. Tapi aku senang dan yakin puisi itu bercerita tentangku.

Lalu buku hariannya itu lebih bercerita tentang catatan kesepian, kebisuan, cinta, terutama laki-laki…

Hm, mungkin catatan tanggal ini yang beberapa hari yang lewat sempat membuat anakku menangis.

10 November:

---Dari banyak laki-laki yang kukenal, aku jatuh cinta pada Bima. Sungguh tak kuduga, diapun mencintaiku. Dia terus mengejarku, ingin mendapatkan cintaku. Tapi karena cintaku ini, aku ingin jujur. Lalu kukatakan padanya lewat surat bahwa aku bisu, dia bilang: biarin. Lantas dalam surat kedua, aku bilang, aku seorang pelacur. Dia mendadak tak ingin dekat denganku lagi…---

Dadaku tiba-tiba terasa remuk membaca usai catatan itu. Perempuan, anakku yang bisu itu, seorang pelacur?


TAMAT

Sort:  

Hi! I am a robot. I just upvoted you! I found similar content that readers might be interested in:
https://manuskripkesunyian.wordpress.com/2004/11/10/aku-bilang-aku-seorang-pelacur/